Welcome...Selamat Datang...

Minggu, 15 Juli 2018

Menulis dengan Bijak


Apakah ada orang yang menulis tetapi tidak dengan bijak? Ada. Inilah yang akan saya sampaikan dalam tulisan kali ini. Bukan sebuah artikel yang penting apalagi ilmiah namun sekedar curhat keprihatinan menyikapi perilaku menulis di media sosial saat ini. Secara khusus para penulis Indonesia yang asal njeplak di media sosial.

Media Sosial, terutama Facebook dan Twitter, merupakan media yang seolah tanpa batas bagi siapa pun untuk menyampaikan pemikiran yang ilmiah sampai dengan hanya sekedar mengeluh lagi 'bete' di akun yang bersangkutan atau di grupnya. Tentu saja ini merupakan bentuk kebebasan berpendapat di era komunikasi modern saat ini. 

Begitu mudah dan sederhana tak perlu kemampuan tata tulis formal ilmiah, tak perlu melampirkan fotokopi identitas diri seperti kalau kita mengirim surat pembaca di surat kabar. Bahkan menggunakan akun seenaknya bukan sesuai jatidirinya pun bisa.

Namun kebebasan ini sering digunakan secara sembarangan dan mengacaukan bahkan cenderung merusak. Seperti saya amati setiap kali situasi politik memanas menjelang pemilu di negeri ini, banyak akun-akun baru bermunculan dengan nama-nama yang aneh-aneh dan saya yakin akun pengecut karena tidak menampilkan identiitas secara terbuka. 

Jika apa yang mereka sampaikan hal-hal yang positif dan mendidik saya kira bukan masalah, tetapi apa yang mereka sampaikan di akun-akun mereka cenderung fitnah atau tuduhan serta celaan tanpa dasar dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Tuduhan maupun fitnah terhadap pribadi tertentu atau terhadap pemerintah yang senyatanya merupakan pemerintahan yang sah dipilih rakyat.

Lebih memprihatinkan dan bahkan sangat memalukan tulisan ungkapan kebencian (tidak layak disebut kritik karena disampaikan dengan vulgar) tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan bahkan berprofesi sebagai pendidik. 

Salah satu contoh yang mencemaskan adalah tatkala yang bersangkutan menganjurkan untuk yang ingin mengungkapkan kebencian seperti yang dia lakukan agar jangan menggunakan nama atau jatidiri asli. Dia menyarankan untuk tidak menggunakan nama sendiri yang oleh orangtua mereka sesungguhnya memang mengarah agar terkesan agamis. 

Tatkala saya tanggapi, yang bersangkutan mengatakan bahwa itu pengarahan untuk kalangan mereka sendiri. Wooow, emang ini media sosial milik moyang lo doang, bro? Ini media sosial bukan papan informasi kelompok tertentu saja. Inikah contoh perilaku beradab seorang pendidik yang semestinya berperilaku ilmiah dan mendidik?

Menulis di media seyogyanya memang harus dengan bijak. Media sosial memang bisa saja jadi media untuk mengungkap keluh kesah dari masalah sakit kulit, panu, bisul sampai kanker. 

Bisa juga untuk mengungkapkan kegalauan, kesedihan atau kegembiraan. Tetapi tentu saja berbeda dengan buku harian yang biasanya memang untuk dibaca secara pribadi oleh pemiliknya. 

Media sosial dibaca secara sangat luas dan berdampak sangat massive, maka fitnahan dan tuduhan dalam bentuk apa pun akan berakibat yang tidak sederhana, bisa berakibat pada pembunuhan karakter seseorang atau bahkan mengguncangkan stabilitas pemerintahan serta meresahkan masyarakat.

Menyampaikan kritik kepada siapa pun tentu boleh saja tetapi sebaiknya disampaikan secara santun. Secara sederhana bisa dalam status kita di media sosial. Bisa juga dalam bentuk tulisan formal, misalnya di blog Kompasiana ini, kalau belum mampu menulis di media mainstream

Hanya dalam bentuk puisi pun bisa kita sampaikan kritik kita. Lebih menarik dan berbobot lagi melalui artikel yang dilandasi dengan data serta fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

Alangkah indah serta nyamannya apabila kita membaca ungkapan kritik, saran atau keluhan tetapi dengan cara dan bahasa yang santun serta elegant. Siapa pun atau apa pun yang kita kritik bisa menyikapinya dengan tanpa tersulut emosi. Tetapi memang bersikap bijak itu pilihan dan hanya bisa dilakukan oleh siapa pun yang memahami peradaban, bukan kebiadaban.

Salam kritis penuh cinta.

***
Solo, Sabtu, 6 Januari 2018
Suko Waspodo 
ilustrasi: juragancipir doc.

0 comments:

Posting Komentar