Welcome...Selamat Datang...

Padi organik petani hasil pendampingan kami

Padi Rojolele organik

Lokomotif tua di kota kecil Cepu, Blora

Lokomotif tua yang sekarang kadang-kadang digunakan untuk kereta wisata di lingkunagn perhutani Cepu-Blora.

SATE BUNTEL KHAS SOLO

Lezat dan bikin kita ketagihan.

Jajanan khas Jawa

Jajanan khas Jawa ini sekarang sering disajikan dalam acara formal maupun informal. Lengkap, rasanya bervariasi dan sehat.

Para peserta LDK di Tawangmangu

Latihan Dasar Kepemimpinan diikuti oleh sekitar 30 mahasiswa Surakarta di Tawangmangu pada tahun 2011.

Di Tanah Lot Bali

Refreshing di Bali pada tahun 2010, bersama teman-teman dosen.

Sabtu, 26 November 2016

Buni Yani 'Man of The Year 2016'



Aksi Damai puluhan ribu umat Islam  di Jakarta pada hari ini,  4 November 2016 tak bisa lepas dari peran besar satu orang hebat tahun ini. Dia bukan Habib Rizieq dengan FPI nya yang sudah kita ketahui selama ini melainkan Buni Yani, seorang dosen yang mungkin hanya dikenal di tempat dia mengajar saja.

Kita layak angkat peci atau sorban atas tindakan dosen ini. Setelah dia mengunggah ulang video pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok , dimana dia menghilangkan kata ‘pakai’ dalam transkripnya sehingga transkripnya mengatakan “... dibohongi surat Al Maidah “ padahal ucapan Ahok “..... dibohongi pakai surat Al Maidah” dan itu mempunyai makna yang sangat berbeda menurut ilmu bahasa. Maka seperti bola salju unggahan ulang video dengan transkrip versi Buni Yani itu ditanggapi secara massive dan menimbulkan kemarahan sebagian umat Islam serta menganggap bahwa telah terjadi penistaan agama yang dilakukan dengan sengaja oleh Ahok.

Walaupun Buni Yani sudah meminta maaf atas penghilangan kata ‘pakai’ dalam transkripnya tetapi bagi kita yang jeli pasti yakin bahwa ketiadaan kata ‘pakai’ tersebut bukan kelalaian melainkan kesengajaan. Kalau Ahok bisa dianggap sengaja melakukan penistaan agama, maka kita juga bisa yakin bahwa Buni Yani juga sengaja menghilangkan kata ‘pakai’ dan lalu mengunggahnya untuk menggerakkan kemarahan umat Islam.

Sebagai seorang dosen senior dan bahkan konon katanya juga mantan wartawan, sangat tidak mungkin bahwa penghilangan kata ‘pakai’ itu bukan kesengajaan. Dia pasti sangat yakin dan paham bahwa jejaring media sosial dan kemajuan tehnologi informasi saat ini bisa menjadi senjata yang ampuh untuk mempengaruhi opini dan menggerakkan masa. Terbukti, sebagian umat islam terpengaruh dengan unggahan penggalan pidato Ahok oleh dosen cerdas ini.

Pernyataan permintaan maaf dia di salah satu acara televisi swasta dan di media sosial hanyalah bentuk kerendahhatian dia agar tidak terlihat sombong karena sudah berhasil mempengaruhi masa. Sekali lagi kita layak mengakui kehebatan dia dalam hal ini.

Kita patut menganugerahi Buni Yani sebagai ‘Man of The Year 2016’. Dari hanya seorang dosen yang tidak terkenal bisa menjadi orang yang begitu populer menggerakkan sebagian umat islam untuk marah dan bahkan beringas.

Seandainya dikemudian hari Buni Yani tidak tercapai menjadi seorang Profesor sebagai puncak karirnya, paling tidak dia sudah tercatat dalam sejarah perkembangan demokrasi negeri ini sebagai seorang Provokator. Salut untuk Buni Yani. Mari kita angkat seluruh jempol kita untuk dia.

***
Solo, Jumat, 4 November 2016
‘salam hangat penuh cinta’
Suko Waspodo
http://www.kompasiana.com/sukowaspodo_99/buni-yani-man-of-the-year-2016_581c99950123bdda78b78f36

Tuhan Tidak Butuh Dibela


(Sebuah Renungan)

Begitu banyak orang merasa tersinggung, demikian juga aku, manakala agama atau simbol-simbol keagamaan dilecehkan atau seolah-olah direndahkan. Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan diriku? Mengapa aku harus tersinggung? Mengapa aku harus marah-marah dan mengancam siapa pun yang melakukannya? Apakah kualitasku sebagai manusia yang mengaku beriman menjadi berkurang apabila agamaku dilecehkan? Lalu, benarkah  aku harus bertindak bengis dengan alasan bahwa pelecehan itu berarti sama dengan melecehkan Tuhan?

Aku mencoba merenung dan mengendapkan diri terhadap apa yang aku alami. Benarkah aku membela Tuhan? Bukankah apa yang terjadi adalah ungkapan emosi terhadap kesombonganku, keegoisanku belaka. Kalau aku marah, bukankah itu menunjukkan bahwa keimananku masih dangkal. Aku masih belum bisa rendah hati dan pemaaf.

Padahal Tuhan sungguh pemaaf dan murah hati. Apakah Tuhan akan terhina kalau agamaku dilecehkan? Setelah aku renungkan, aku yakin Tuhan tetap Maha Pengasih. Tuhan tidak butuh dibela. Dia terlalu Maha Kuasa untuk aku bela. Penghinaan terhadap agamaku, pastilah bukan suatu yang penting bagi Dia. Dia mengajarkan cinta kasih dan kedamaian. Mengapa aku harus tersulut kemarahan, padahal Tuhan sendiri tidak pernah marah.

Mestinya aku sadar bahwa tidak akan ada kerendahan hati tanpa penghinaan. Aku belum rendah hati kalau aku masih belum bisa menahan diri terhadap penghinaan.

Ampuni aku Tuhan karena aku justru telah melecehkan Engkau dengan memusuhi sesama ciptaan-Mu. Selama ini aku selalu sok pahlawan dengan menganggap diri sebagai pembela-Mu. Aku terlalu sombong dan menganggap Engkau lemah dan butuh dibela. Betapa bodoh dan piciknya aku.

Tuhan jadikanlah aku pembawa damai.

***

Solo, Jumat, 4 Nopember 2016
‘salam damai penuh cinta’
Suko Waspodo
antologi puisi suko
kompasiana
pepnews