Ketua Umm PDIP Megawati Soekarnoputri tak mempermasalahkan soal politik dinasti.
Namun, sembari menyindir dinasti Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, dirinya tak setuju jika dinasti bertujuan meraup
keuntungan lewat kepemimpinan daerah.
Megawati menyatakan pertimbangan
hubungan keluarga bukanlah faktor utama penentuan seorang pemimpin. Menurutnya,
semua calon pemimpin harus dilihat dari kapasitasnya, tanpa memandang ikatan
kekerabatannya. Meski jika ada ikatan kekerabatan, itu tak menjadi persoalan.
Jika satu keluarga besar
menguasai kepemimpinan daerah, kemudian keluarga itu berusaha melakukan cara
culas demi meraup untung, maka Mega menilai itu adalah persoalan korupsi
semata. Artinya, modus korupsi memang bermacam-macam, termasuk dengan
memanfaatkan nepotisme.
Pernyataan-pernyataan Megawati
tersebut sungguh menarik untuk dicermati.
Sebagai Ketua Umum sebuah partai yang mencantumkan kata demokrasi , Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, maka pernyataan dia sungguh kontradiktif dengan
apa yang semestinya diperjuangkan partainya.
Dinasti adalah sistem reproduksi
kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya
bebarapa orang. Oleh karena itu di dalam dinasti tidak ada politik karena peran
publik sama sekali tidak dipertimbangkan. Dengan itu, dinasti juga menjadi
musuh demokrasi karena dalam demokrasi,
rakyat lah yang memilih para pemimpinnya. Jadi, politik dinasti adalah proses
mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan di suatu negara.
Politik dinasti muncul dalam
dimensi yg halus, berupa gejala dinasti politik yang mendorong sanak keluarga
elite-elite lama untuk terus memegang kekuasaan di pemerintahan yang diturunkan
secara demokratis oleh pendahulu mereka. Pada gejala ini, penyesuaian terhadap
etik demokrasi modern dilakukan dengan mempersiapkan putra-putri yang
bersangkutan dalam sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang sedemikian
dini. Jadi, saat mereka muncul, kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan
oleh faktor darah dan keluarga,
melainkan oleh faktor-faktor kepolitikan yang lebih wajar dan rasional. Meskipun
terkadang ‘gelar pendidikan’ mereka dapat dibeli dengan nama keluarga mereka.
Namun demikian politik dinasti juga dapat tampil dalam bentuk
yang lain, lebih vulgar dan identik dengan otoriterianisme. Ia muncul dari
suatu sistem politik modern yang sudah ada sebelumnya dan yang sudah dibekukan
dan selanjutnya dikondisikan sedemikian
rupa sehingga rakyat melalui wakilnya, hanya bisa memilih anak atau istri dari
keluarga yang sedang berkuasa. Dengan demikian, yang sebenarnya terjadi adalah
politik dinasti yang dipilih bukan secara sukarela oleh rakyat, tetapi secara
represif.
Kecenderungan politik seperti
itulah yang terjadi di Golkar pada era presiden Soeharto. Seluruh keluarganya
terlibat di partai dan pemerintahan serta wakil rakyat. Pemilu hanya menjadi
formalitas demokrasi semu dan bahkan palsu. Otoritarian dinasti Soeharto yang
dibungkus dalam kemasan seolah demokrasi Pancasila.
Situasi politik seperti itu juga
yang sekarang diulang dilakukan oleh PDIP dan Partai Demokrat, dinasti Soekarno
dan dinasti SBY. Meski apa pun alasan yang disampaikan oleh Megawati tentang
politik dinasti dan dia merasa tetap demokratis tapi faktanya tetap terjadi
yang namanya ‘petunjuk ibu Ketua Umum’ dan dia memanfaatkan budaya ‘pekewuh’
yang ada dalam kultur budaya Jawa. Maka tidak tercapailah situasi demokratis
dalam hal ini. Lebih lanjut maka demokrasi dalam PDIP benar-benar ‘hanya perjuangan’ terus tanpa menjadi
demokrasi yang sesungguhnya.
Tulisan sederhana ini hanya
sekedar ingin berbagi wawasan tentang betapa mencemaskannya apabila politik
dinasti ini terus dibenarkan. Negeri ini akan semakin tidak demokratis dan itu
berarti bertentangan dengan Pancasila. Semoga kecemasan ini tidak menjadi nyata
tetapi negeri ini menjadi semakin demokratis dengan tidak menerapkan politik
dinasti.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Jumat, 15 November 2013
Suko Waspodo