Dalam pemilihan umum penduduk
miskin tidak mempunyai posisi tawar dalam memperjuangkan nasib mereka karena
diperlakukan sebagai komoditas politik belaka, kata pengamat.
Hal tersebut terbukti dari dampak
kunjungan para calon anggota legislatif selama masa kampanye ke kampung-kampung
kumuh di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam kunjungan tersebut,
para caleg memberikan sumbangan.
"Mereka sadar mereka tidak
bisa hanya menjual iklan pengentasan kemiskinan," kata Direktur Eksekutif
Charta Politika, Yunarto Wijaya dalam siaran persnya pada Rabu, 2 April 2014.
"Para caleg tidak bisa
menarik simpati orang-orang miskin ini hanya dengan memamerkan program.
Akhirnya dilakukan pemetaan bagaimana orang-orang miskin ini diberi entah
sembako, entah money politics, entah barang-barang yang dianggap itu kemudian
bisa mengubah preferensi politik mereka."
Yunarto Wijaya menyebut hal itu
sebagai politik transaksional dan menyebabkan golongan miskin apatis.
Uang Muka
"Rakyat miskin melihat
kecenderungan pemilu-pemilu tidak banyak mengubah nasib mereka. Mereka
cenderung menganggap perilaku korup yang sama saja siapapun yang
terpilih," jelasnya.
Yang mampu membedakan antara
caleg satu dengan lainnya, lanjutnya, adalah besaran uang muka.
"Manakala ada yang berani
memberikan sesuatu di depan mereka tidak peduli terhadap program selama lima
tahun caleg yang bersangkutan."
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Surakarta, Jawa Tengah, peneliti sosial dari Lembaga Pemberdayaan
Sosial dan Demokrasi, Musni Umar, menyimpulkan adanya politik beli putus.
"Pada saat pemilu politikus
membayar dengan uang, memberi sembako tetapi setelah pemilu dia bilang kami
sudah bayar," katanya.
Kedua peneliti sependapat mengatakan
politik transaksional atau beli putus membuat suara rakyat miskin tidak
dipertimbangkan dan cenderung diabaikan.
Sebagai contoh, seorang pemilih
di Nusa Tenggara Timur, Mateos Taebenu, menuturkan banyak politikus mendatangi
desanya dan menawarkan sejumlah perbaikan. Namun, lanjutnya, mereka tidak
kembali ke desa setelah pemilihan untuk mewujudkan janji-janji mereka.
Inilah kenyataan nasib rakyat
miskin negeri ini. Dari pemilu ke pemilu, sejak negeri ini merdeka hingga
sekarang, mereka tetap berkubang di lumpur kemiskinan. Mereka hanya bisa berharap
tampilnya pemimpin baru negeri ini yang
berpihak kepada mereka dan memperbaiki kehidupan mereka. Semoga.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 5 April 2014
Suko Waspodo
http://politik.kompasiana.com/2014/04/05/suara-rakyat-miskin-diabaikan-644934.html
0 comments:
Posting Komentar