Wacana pembentukan poros baru
partai politik berbasis Islam seperti poros tengah tahun 1999 ditentang Nahdlatul
Ulama. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj
beralasan bahwa hal itu dapat menimbulkan dikotomi.
“Kita tidak ingin ada dikotomi
koalisi partai Islam dan non-Islam, karena kesannya menjadi primordial,” kata
Said Aqil di Jakarta, Sabtu, 12 April 2014 dalam siaran persnya.
Menurut kiai lulusan Universitas
Ummul Qura Mekkah itu, hubungan antara agama dan negara sudah selesai di
Indonesia. Sehingga menurut dia, tidak relevan lagi dikotomi di antara kelompok
agama dan kelompok nasionalis.
“Di Indonesia, persoalan mendasar
kenegaraan tersebut sudah selesai, tinggal bagaimana menyejahterakan rakyat,”
katanya.
Hal itu, lanjut dia, berbeda
dengan di Timur Tengah, dimana hubungan di antara agama dan negara belum
menemukan titik temu sehingga sering sekali terjadi konflik di antara agama dan
negara.
“Yang penting kepentingan bangsa
didahulukan, karena kalau negara maju, umat Islam sebagai mayoritas juga akan
maju,” tambah Said Aqil.
Saat ditanya apakah PBNU akan
mengusulkan capres atau cawapres kepada partai politik, dia menegaskan PBNU
tidak ikut dalam politik praktis.
“Itu urusan PKB, tetapi tentu
dengan tidak meninggalkan PBNU, tetap menjaga komunikasi dan tukar pendapat,”
katanya.
Said Aqil mengatakan NU memiliki
agenda yang lebih besar dari partai politik karena urusan NU bukan soal
kekuasaan, melainkan soal kebangsaan.
Di bawah komando Amien Rais,
partai-partai Islam berkoalisi dan membentuk poros tengah tahun 1999 dan
berhasil mendudukkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden,
mengalahkan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan yang dilakukan di MPR.
Langkah NU selayaknya kita apresiasi,
inilah contoh langkah yang bijak, cerdas dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Semoga hal ini bisa diteladani dan diikuti oleh ormas maupun partai yang lain.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Selasa, 15 April 2014
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar