Inilah fenomena yang saat ini
sering terjadi, seseorang, komunitas atau partai tertentu dalam aktifitasnya
melakukan tindakan karitatif, berbagi
kebutuhan bagi rakyat tapi ternyata semuanya adalah hasil manipulasi dan
korupsi. Itulah yang terjadi di negeri
ini hingga saat ini.
Pada era Orde Baru sungguh tak
terbilang pejabat yang melakukan korupsi dan tidak diadili atau mengembalikan
uang hasil korupsinya. Tetapi anehnya justru banyak yang mengelu-elukan
mereka manakala mereka menyembunyikan
perilaku busuknya dengan mendirikan yayasan-yayasan sosial dan membagi-bagikan
beasiswa. Cermati yayasan-yayasan yang dimiliki oleh mantan pejabat-pejabat
Orde Baru yang korup pada saat mereka
masih menjabat.
Demikian pula di era Reformasi
ini, korupsi semakin menggurita baik secara perorangan pejabat maupun secara
berjamaah di lingkup partai dan bahkan di departemen agama yang seharusnya
menjadi penjaga moral. Korupsi dilakukan secara massive tetapi ditutupi dengan gerakan-gerakan karitatif perorangan
atau kolektif partai. Partai-partai tertentu berkedok agamis dan melakukan
kegiatan yang katanya untuk kesejahteraan rakyat tetapi ternyata melakukan
tindakan korupsi dan manipulasi. Contoh yang masih aktual adalah Partai
Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Terkait masalah ini menarik apa
yang disampaikan oleh Paus Fransiskus tentang perilaku korupsi oleh umat
Katolik. Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma ini menyampaikan kutipan yang
ada dalam Injil Lukas di Perjanjian Baru, “Yesus berkata 'Lebih baik jika batu gerinda dikalungkan ke
leher mereka, lalu lemparkan mereka ke lautan',". Tegas sekali
pernyataannya bahwa korupsi tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Paus asal Argentina itu
mengingatkan bahwa umat Katolik yang mendonasikan uangnya untuk gereja tetapi
di saat bersamaan mencuri uang negara, tetap dianggap berdosa dan harus
dihukum.
Tanpa menyebut langsung korupsi
yang menggerogoti Gereja Katolik, Paus, dalam khotbahnya itu, menggambarkan,
jika dilihat dari penampilannya, para koruptor itu terlihat sangat baik. Namun,
di dalamnya penuh kebusukan.
Paus juga mengkritik para
orangtua yang mendapatkan penghasilan dari hasil korupsi. Paus menyebut mereka
sudah kehilangan harga diri. "Orangtua yang mendapatkan penghasilan dari
korupsi, sudah kehilangan harga diri dan memberi 'roti kotor' untuk anak-anak
mereka," ujar Paus.
Paus bahkan menyamakan suap dan
korupsi seperti obat-obatan terlarang yang membuat orang kecanduan
melakukannya.
Pernyataan Paus ini tentu menarik
jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Korupsi sudah demikian
akut dan mewabah di negeri ini. Entah
berapa ribu orang yang mesti dikalungi batu gerinda di lehernya dan kemudian
dilempar ke laut.
Perilaku korupsi tidak bisa
ditutupi dengan perilaku karitatif. Tangan kiri mencuri, tangan kanan berbagi.
Tindakan karitatif harus dilakukan dari hasil perilaku halal. Tidak berlaku
prinsip Robin Hood atau maling budiman. Membantu rakyat kecil dengan uang hasil
rampokan. Koruptor harus dihukum seberat-beratnya. Negeri ini tidak akan
beranjak maju kalau korupsi masih merajalela dan sanksi hukumnya begitu ringan.
Rakyat harus kritis dan tidak terbuai dengan kegiatan karitatif para koruptor
yang menutupi kebusukannya.
Akhirnya tulisan ini hanya
sekedar ungkapan keprihatinan terhadap perilaku korup dan manipulative sebagian
besar penyelenggara negeri ini serta harapan untuk kehidupan rakyat kecil yang
semakin baik. Semoga bisa menjadi bahan refleksi kita bersama.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 14 November 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar