Entah tatkala aku sedih, atau ketika
ku tersenyum di depan meja rias yang buram tak bening lagi menatapku. Tape
recorder bass minimalis pun setia mengalunkan dentingan piano Yanni dalam
hari-hariku. Selalu itu, instrumentalia yang menyelusup di liang gendangan tak
jemu. Mengalunkan simfoni, harmoninya masuk di telingaku.
Siang atau setengah siang, sepuluh
lebih sepuluh, detik waktu berjalan di putaran jam dinding di ujung kamarku.
“Kenapa dia tak pernah lelah ya?“
Tanya bodohku dalam hati. Dia selalu
tepat dalam menempatkan jarum-jarum detiknya.
Tak-tik-tak-tik-tak-tik
Tak pernah berhenti, dan tak pernah
ingkar janji.
“Bagai merpati saja”
Pikirku.
Apa dia punya ilmu gendam ya, atau
sejenis hipnotis. Perlahan tapi pasti kuikuti langkah mantapnya, ke atas ke
arah angka tiga, empat, sembilan.. dan.. ah.. biarkan saja dia berjalan sesuai
keingiannya.
Biarkan dia menunaikan tugasnya.
……………
“Ooh”
Aku tercekat.
Lembut belaian jemari itu mendarat di
pipiku. Membelai rambutku yang sedikit tersibak di bahu.
Tatap mata itu lekat disampingku.
Mengalahkan perhatianku pada jarum berdetak-detik sepintas lalu.
Seperti sang pangeran yang mengajak
sang putri berdansa. Menurut saja aku digamitnya. Lengan kuat itu lembut
dipinggangku. Jemarinya menyibak rambutku. Mengelus pipiku sepenuh cintanya,
setulus hatinya.
Senyum itu, ohhh...
Lesung pipitnya yang kecil tak mampu
ia sembunyikan diantara senyumnya.
Rapi giginya menyembul dari balik bibir
merah keabu-abuannya.
Tak ada sejengkal hidungku di
hadapnya.
Andai jam dinding itu tak menatapku,
pasti aaahhh.....
“Tak ada angin tak ada hujan, inboxpun
engkau sudah tak pernah lagi. Dan engkau di sampingku sekarang. Ada apa?”
Dan dia hanya tersenyum.
Semakin dekat, semakin menyesak aku di
dadanya... mata kami beradu...
Perlahan kupejamkan mata ini, semakin
lembut jemarinya di pipiku.
Detak-detak waktu mengantarkan
naluriku...
Kusambut, lenganku ingin memeluknya,
tak sampai.
Perlahan aku buka mataku.
Aku cari dia. Di sampingku, tidak ada.
Aku sapukan pandanganku, dia tidak
ada.
Aku terduduk. Sekali lagi aku melirik ke
jam dinding itu. Masih sama jarumnya mengitari angka-angka pasti yang menempel
padanya.
Jarum itu menunjuk dua belas nol satu.
Aku termangu.
“Mimpikah aku? Tapi dia nyata di
sampingku”.
Aku usap pipiku, masih sama. Tak ada
jejak yang ia tinggalkan untukku.
Ian... ya iansaja@yahoo.com hadir di
sisiku. Peng-inbox One Man’s Dream di
emailku setahun yang lalu.
Aku yakin, itu dia.
.................
Aku meraih tabletku …
“OMG!”
“ iansaja@yahoo.com”
11.03 WIB
setiap
kali kumenatap potretmu
semilir
berdesir kangen hadir
setiap
kali kumaknai senyummu
hasrat
kuat hangat mengalir
indah
rikmamu tergerai santun
menyentuh
pipi indahmu ranum
jernih
netramu syahdu menuntun
maknai
hatimu dibalik senyum
terdendang
lirih senandung pedih
untaian
syairmu bernada sendu
tegar
tampakmu menyimpan sedih
terpaan
jalan hidup menguji kelu
tergetar
ungkap masa lalumu
kagumku
terukir dalam putih
bergetar
terucap janji berpadu
tulus
memelukmu dalam kasih
Dadaku berdegup kencang.
“Ada
rasa kangen yang semakin menghebat semenjak perjumpaan sapa kita lewat YM kita
saat itu. Hadir keinginan kuat untuk menemuimu. Namun aku selalu termangu dalam
kerendahdirianku. Hanya One Man’s Dream Yanni. Sebuah tindakan nekat untuk
mencoba meraih hatimu. Namun setelah itu pun aku kembali tergugu dalam ragu.
Tak ada keberanian untuk mengungkapkan kegundahanku. Bahkan hampir setahun aku
abaikan semua email darimu maupun sapaan YM mu. Aku terkungkung dalam rasa
minderku”
...............
Hhhh....
Berat helaan nafas ini tersengal.
Menahan bening di sudut mataku.
Ungkapkan kekagumannya padaku,
pendidikanku dan karirku di chatting YM masih tersimpan di daftar inboxku.
“Aku hanya pria seniman yang mencoba
meraih mimpi untuk menjadi penulis syair lagu. Namun belum pernah mencetak lagu
hit bagi penyanyinya”.
Entah sudah berapa larik baris yang
aku baca...
“Namun
siang ini aku mencoba memberanikan diri
untuk mengungkapkan kejujuran perasaanku padamu lewat puisi. Semoga engkau
memahami maksud hatiku. Maafkan aku, aku tak mampu lagi menahan rasa kangenku
dan inginku untuk berjumpa denganmu. Kuharap engkau berkenan membalas emailku
ini. Aku yang merindukanmu.”
Terkatup bibir tak mampu aku ucapkan
lirih saja.
Rintik hujan mengiringi luruhnya titik
air bening di sudut mataku.
“Ian...
Perjumpaan yang tak kunjung ada tak
menyurutkan kangen rinduku padamu”
***
Solo_Magelang, Senin, 17 Februari 2014
Suko Waspodo & Umi Azzurasantika
ilustrasi: ArtPics On Fb
1 comments:
Terima kasih Umi atas kesempatan kolaborasi yg luar biasa ini. Salam hangat.
Posting Komentar