Membicarakan soal seks dan
seksualitas, mungkin kita lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat
Centhini, karya sastra Jawa kuno yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal
‘manual’ versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan ‘menantang’.
Seks dan seksualitas, dalam
pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau
banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual
(panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya
sejak dahulu kala.
Nun jauh dari India, di tanah Jawa
pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini,
yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada
sekitar tahun 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu
Yasadipura, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas
perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini yang terdiri atas
722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan
seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi termasyhur, bahkan di
kalangan para pakar dunia.
Seorang kontributor sebuah surat
kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak, misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam
bahasa Prancis dengan judul Les Chants de
l'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Blak-blakan
Meski kebudayaan Jawa di masa
kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, dalam bidang seksual ternyata
sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Masalah seksualitas muncul dalam
ekspresi seni, terutama sastra dan tari. Dalam Serat Centhini, misalnya,
masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan
terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Ini sangat berlawanan dengan etika sosial
Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks.
Masalah seksual dalam serat itu
diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. Misalnya, menyangkut masalah
pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata cara bermain seks,
gaya persetubuhan, dan lain-lain. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya
dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah doktrin
filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi atau
satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
Dalam Centhini II (Pupuh
Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal ‘ulah asmara’ yang berhubungan
dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks.
Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah
agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu dalam Centhini IV (Pupuh
Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan
dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan
tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe
pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang
sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu
digambarkan pasrah, nrima kepada
lelaki.
Hal itu tampak dalam Centhini V
(Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam
menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para
perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan
pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta
masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Salah satu percakapan itu
misalnya seperti ini, "Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, benar
dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk
saja, eh lepas mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya.
Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati." Disambut dengan
tawa cekikikan.
Tipe Perempuan
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan.
Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu
hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah
demikian. Adanya sistem budaya katuranggan
jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu.
Dalam sejumlah karya sastra Jawa
maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini. Dalam
kaitannya dengan perempuan, katuranggan
dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan
lahiriahnya.
Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas
lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya
disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan,
amurwa tarung, atau mutyara.
Sebagai gambaran, perempuan
bertipe surya sumurup itu perempuan
yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan.
Ada sinom (rambut yang tumbuh di
dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal
sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum
lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ia tipe
perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.
Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya
dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna.
Disebutkan bahwa ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain,
bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil,
pandangan dan wajahnya nguwung (agak
melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom
menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya
panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.
Tentu saja tidak semua tipe
perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang
merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keseluruhan
tiap-tiap tipenya.
Memang rumit dan kompleks, karena
seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata.
Tata Krama dan Jamu
Ritualisasi seksual juga
diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama dalam melakukan
hubungan seksual antar suami-istri.
Dalam berhubungan, misalnya,
harus empan papan. Maksudnya,
mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan
keinginan bersama.
Selain mendasarkan diri pada tata
krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi
Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi
terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai,
berdoa lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.
Masyarakat Jawa juga mengenal
kalender seksual. Hal ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang
berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari
organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah tempat, sesuai
dengan tinggi rendahnya bulan - ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan
mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara
bersama-sama.
Selain diungkap mengenai tata
cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana)
diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya
dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan
bersama-sama. Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun
perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi,
dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah.
Dalam Serat Centhini IV (Pupuh
Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi berhubungan seksual sebagaimana
ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe
perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba
baunya bunga); lir bremana ngisep sekar
(laksana kumbang mengisap madu); lir
lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (seperti
kapal layar turun ke tengah laut) dan sebagainya.
Dalam masyarakat Jawa lalu
dikenal pula berbagai resep jalu usada
(pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air
mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam
Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula).
Tulisan sederhana ini tidak
bermaksud menilai bahwa budaya Jawa vulgar,
melainkan hanya berbagi pengetahuan tentang kekayaan tradisi kita. Tradisi dan
budaya Jawa yang lengkap, termasuk dalam masalah seks.
Salam hangat penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 21 Januari 2015
Suko Waspodo
Ilustrasi: kompasiana.com