Welcome...Selamat Datang...

Rabu, 28 Januari 2015

Seksualitas ‘Serat Centhini’


Membicarakan soal seks dan seksualitas, mungkin kita lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, karya sastra Jawa kuno yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal ‘manual’ versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan ‘menantang’.

Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.

Nun jauh dari India, di tanah Jawa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar tahun 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.

Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia.

Seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak, misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de l'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).

Blak-blakan

Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.

Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari. Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks.

Masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).

Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal ‘ulah asmara’ yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.

Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.

Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.

Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.

Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, "Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati." Disambut dengan tawa cekikikan.

Tipe Perempuan

Ada pendapat yang mengatakan bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan. Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu.

Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.

Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.

Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.

Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna. Disebutkan bahwa ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.

Tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keseluruhan tiap-tiap tipenya.

Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata.

Tata Krama dan Jamu

Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antar suami-istri.

Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.

Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.

Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. Hal ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya bulan - ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama.

Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama. Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah.

Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada (pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula).

Tulisan sederhana ini tidak bermaksud menilai bahwa budaya Jawa vulgar, melainkan hanya berbagi pengetahuan tentang kekayaan tradisi kita. Tradisi dan budaya Jawa yang lengkap, termasuk dalam masalah seks.

Salam hangat penuh cinta.

***
Solo, Rabu, 21 Januari 2015
Suko Waspodo
Ilustrasi: kompasiana.com

0 comments:

Posting Komentar