Pertanyaan itu sering muncul saat
kita sedang menikmati puisi atau saat kita sedang ingin mencoba menulis puisi.
Sering muncul kekhawatiran bahwa puisi kita akan tidak menarik dan bahkan buruk
sehingga kita tidak berani mencoba menulis puisi.
Perlu kita sadari bahwa sungguh
tidak tepat untuk menilai puisi secara dikotomis bagus-buruk, sebab cara itu
cenderung subyektif dan memperlihatkan fanatisme terhadap salah satu bentuk
puisi yang ditulis. Padahal setiap puisi memiliki tempat dan nilai tersendiri.
Dari sudut pandang tertentu, sebuah puisi mungkin tidak memenuhi kriteria yang
diajukan, tetapi tidak mustahil juga bahwa puisi itu memperlihatkan banyak
keunikan ketika ditelaah dari sudut pandang yang lain.
Penilaian secara dikotomis
bagus-buruk sesungguhnya merupakan suatu kesalahan metodologi yang digunakan.
Kalau kita mengukur panjang suatu benda, kita harus menggunakan ukuran meter,
sentimeter dan sejenisnya. Demikian pula saat kita mengukur berat suatu benda
kita menggunakan ukuran gram, kilogram, ton dan sejenisnya. Jika ukuran itu
salah diterapkan, hasil akhir pengukuran pun menjadi tidak relevan, tidak
tepat.
Maka penilaian berdasarkan
bagus-buruk dalam puisi sebaiknya dihindari saja, sebab akan memboroskan energi
dan menimbulkan polemik berkepanjangan. Selain itu juga tidak mustahil akan menyebabkan
sakit hati pada penyair yang mendapat klaim yang tidak menguntungkan.
Setiap puisi mempunyai tempat
tersendiri. Artinya setiap puisi sesungguhnya diciptakan dengan tujuan yang
sudah tertentukan. Dengan demikian setiap puisi juga memiliki fungsi yang khas.
Bukan hanya puisi-puisi yang rumit, absurd, implisit dan sejenisnya yang
dianggap paling penting. Puisi-puisi yang hanya menyuguhkan satu aspek saja
dari sekian aspek pun memiliki fungsi tersendiri. Misalnya, sebuah puisi hanya
menyajikan aspek keindahan bahasanya saja, yang hanya mengandalkan unsur ritme
serta efek simbol bahasa. Itu pun memiliki arti penting. Jangan langsung
dilecehkan begitu saja. Puisi yang menonjolkan aspek keindahan harus dinikmati
dalam rangka enjoyment. Apresiasi kita terhadap puisi semacam itu bukan dengan
menggunakan kerangka pemikiran (frame of mind). Yang kita cari dalam puisi
semacam itu bukanlah nilai-nilai filsafatnya, bukan juga mencari korelasi
dengan sistem kultur/kebudayaan tertentu. Puisi juga berhak dinikmati atas nama
kenikmatan saja.
Memang sudah sejak lama banyak
kritikus puisi mengimbau agar puisi lebih berbicara mengenai filsafat atau
psikologi agar puisi lebih berbicara dengan akal atau pikiran daripada dengan
perasaan. Imbauan itu sebenarnya tidak lebih daripada suatu idealisasi belaka.
Mereka yang mengimbau demikian berasumsi bahwa puisi, sebagai karya sastra,
harus berjalan sesuai dengan irama perkembangan jaman. Karena perkembangan
jaman cenderung mengarah kepada pendewaan ilmu dan rasio, menurut idealisasi
itu puisi juga harus ikut menyesuaikan diri pula.
Tetapi, semua harus dikembalikan
lagi kepada proses kreatif sang penyair. Proses penciptaan puisi adalah
persoalan yang sangat individualistik. Tidak seorang pun tahu proses lahirnya
sebuah puisi. Bahkan sang penyair sendiri pun seringkali tidak mampu
menguraikan kembali bagaimana puisi-puisinya lahir. Proses penciptaan puisi
adalah mekanisme yang sangat kompleks dalam diri individu, yang melibatkan
berbagai hal dan suasana. Jadi pada dasarnya tidak ada puisi yang buruk karena
setiap puisi punya pesan dan kekhasannya sesuai dengan maksud serta proses
kreatif penulisnya.
Demikianlah tulisan kecil dan
sederhana ini hanya untuk sekedar berbagi pemahaman tentang bagaimana sebaiknya
kita dalam menilai sebuah puisi. Semoga bermanfaat dan semakin menambah
semangat kita dalam menulis, khususnya dalam bentuk karya puisi.
***
Solo, Senin, 15 September 2014
'salam kreatif penuh cinta'
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar