Penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah (pilkada) yang begitu banyak dan menguras waktu, tenaga, serta
memboroskan anggaran yang sangat besar, sudah sepantasnya ditinggalkan. Pilkada
yang murah, efisien, dan efektif sudah saatnya menjadi sebuah langkah baru
dalam rekruitmen pemimpin daerah di masa mendatang.
Semenjak pilkada langsung pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005, anggaran pemerintah memang selalu
terkuras untuk biaya penyelenggaraannya. Sebut saja hitungan secara sederhana,
dengan rata-rata biaya per pemilihan wali kota (pilwalkot) atau pemilihan
bupati (pilbup) Rp 25 miliar, serta per pemilihan gubernur (pilgub) Rp 500
miliar, maka dalam lima tahun uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp
30 triliun.
Di beberapa daerah, pilkada
bahkan menelan biaya yang jauh lebih mahal lagi. Di Jawa Timur dan beberapa
provinsi lain yang berpenduduk padat, angkanya bisa mencapai Rp 1 triliun.
Sementara itu di Papua, dengan jumlah penduduk yang tidak banyak pun, anggaran
pilkada bisa mencapai Rp 200 miliar. Namun ironisnya, angka-angka anggaran yang
sangat mencengangkan itu umumnya justru tidak sebanding dengan manfaatnya bagi
rakyat. Bahkan untuk daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban
membiayai pilkada ternyata berpotensi mengurangi porsi belanja untuk pelayanan
publik, seperti urusan pendidikan dan kesehatan.
Oleh sebab itu maka sikap "sadar biaya" terkait penyelenggaraan pilkada adalah hal yang harus tertanam dalam diri para pengambil keputusan. Sekarang saatnya kita menggelar pilkada yang hemat dan efisien. Dengan alasan itu, kita mendukung langkah DPR dan pemerintah yang sudah mencapai titik kesepakatan untuk menggelar pilkada serentak di seluruh Indonesia pada 2015. DPR bahkan sudah bersiap-siap untuk mengetok palu atas Rancangan Undang-Udang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada September depan untuk menjadi UU. Kelak, UU Pilkada yang merupakan hasil revisi ini, akan menjadi payung hukum untuk pilkada serentak.
Inilah sebuah pilihan tepat yang patut kita dukung. Tidak ada lagi alasan untuk memundurkan pelaksanaan pilkada serentak. Sudah dua tahun DPR dan pemerintah membahas dan merumuskan RUU tersebut. Jadwal pilkada serentak juga sudah dipastikan, yakni gelombang pertama pada Oktober 2015, ini dilaksanakan untuk 203 daerah. Kemudian, pilkada serentak dilakukan lagi pada 2018 untuk 285 daerah.
Beberapa hal positif bisa kita peroleh dari pilkada serentak bagi Indonesia secara menyeluruh. Pertama, pilkada serentak mampu menghemat anggaran daerah hingga lebih dari 50 persen. Pengalaman pilkada serentak yang pernah digelar di Provinsi Sumatera Barat pada 2010 telah membuktikan hal itu.
Penghematan biaya mencapai lebih dari 50 persen itu karena adanya pemangkasan pada pos-pos anggaran penyelenggara, seperti honorarium bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), pos anggaran pengamanan, dan biaya pengiriman logistik pilkada. Selain terjadi penghematan anggaran bagi KPU provinsi, pilkada serentak juga memangkas beberapa pengeluaran KPU kabupaten. Ada bagian-bagian tertentu yang bisa dibagi pembiayaannya antara kabupaten dan provinsi.
Kecuali dari sisi anggaran, dampak positif pilkada serentak adalah mengurangi kejenuhan masyarakat sekaligus meningkatkan partisipasi mereka. Bayangkan, demi prinsip demokrasi “dari rakyat untuk rakyat”, keterlibatan langsung rakyat Indonesia untuk memilih pemimpinnya menjadi begitu banyak, mulai dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden, gubernur, wali kota, bupati. Kalau mau dihitung, jumlah frekuensi rakyat ke tempat pemungutan suara (TPS) bisa mencapai empat kali dalam 5 tahun. Hal ini belum termasuk pemilihan kepala desa.
Dari fakta itu terlihat, betapa tidak efisiennya sistem pemilu di negeri kita. Pelayanan masyarakat juga praktis terhenti, perekonomian cenderung jalan di tempat, dan berbagai aktivitas pelayanan masyarakat cenderung terganggu. Parahnya, politikus dan kepala daerah akhirnya tidak memiliki kesempatan lagi untuk merumuskan hal-hal positif dalam kepemimpinanannya. Demokrasi dan politik pun menjadi segala-galanya.
Yang lebih buruk lagi, bersamaan dengan dana besar yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pilkada, berhamburan pula dana-dana yang harus dikeluarkan para bakal calon gubernur, atau bakal calon bupati, atau bakal calon wali kota untuk membayar “kendaraan” (partai politik), tim sukses, relawan, organisasi-organisasi pendukung, maupun masyarakat calon pemilih itu sendiri. Alih-alih idealisme atau cita-cita menyejahterakan rakyat, sebuah pelayanan publik yang lebih baik, segalanya akhirnya tinggal janji-janji surga, dan pragmatisme materialistislah yang berputar-putar di sana.
Kemudian, setelah sang calon terpilih, berputar-putar di sekitarnya benih-benih korupsi anggaran daerah untuk membayar kembali materi/uang yang dipakai selama kampanye, imbal jasa bagi sang donatur, jasa tim sukses, gratifikasi, money politics, janji jabatan, dan janji-janji lainnya. Selain dari itu, kepala daerah yang menang lewat kuasa modal orang lain itu tidak hanya berkewajiban untuk mengembalikan modal yang digunakannya dalam proses pilkada, akan tetapi ia memanfaatkan kesempatan untuk melipatgandakannya bagi kepentingan diri dan keluarga.
Begitulah seterusnya lingkaran setan terkait penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Oleh sebab itu sangat mudah dimengerti, dan sangat masuk akal bilamana hampir tidak ada kepala daerah di Indonesia yang tidak korupsi, karena memang dalam pilkada ia telah menghabiskan puluhan miliar rupiah untuk duduk sebagai kepala daerah.
Berdasarkan situasi seperti ini, sudah saatnya energi untuk demokrasi dan penyelenggaraan pilkada yang menguras banyak biaya, tenaga, dan pemikiran yang luar biasa, harus ditanggalkan. Ke depan, penyelenggaraaan pilkada harus menyentuh substansi permasalahan kesejahteraan stakeholder utama bangsa, yakni rakyat Indonesia. Pilkada serentak yang hemat biaya, efisien, dan efektif harus dijadikan kunci pembuka untuk itu.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 3 September 2014
0 comments:
Posting Komentar