Pelaksanaan pilkada secara
langsung yang sudah kita laksanakan sejak Juni 2005 kemungkinan besar hanya
akan tinggal menjadi catatan sejarah dalam kehidupan demokrasi dan pemerintahan
di Indonesia. Karena, lima dari sembilan fraksi di DPR memilih untuk
mengembalikan proses pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke tangan DPRD.
Hal itu terkait dengan pembahasan RUU Pilkada, yang menurut rencana akan
disahkan DPR dalam pekan ini.
Banyak pihak yang tidak setuju
dengan langkah tersebut. Mereka mencermati bahwa pilkada langsung yang
berlangsung hampir satu dekade itu telah mampu melahirkan banyak kepala daerah
berkualitas dan benar-benar membaktikan diri untuk membangun daerah yang
dipimpinnya. Pola kepemimpinan mereka yang antitesis terhadap pola kepemimpinan
formalistis dan birokratis, mampu menginspirasi banyak orang, dan terbukti
mampu menjadikan daerahnya tidak saja sebagai pusat pertumbuhan baru secara
ekonomi, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warganya.
Kecuali itu, pilkada langsung
dianggap sebagai bagian yang penting dalam rangka penghormatan terhadap
kedaulatan rakyat. Reformasi di bidang politik dan pemerintahan, telah semakin
mendewasakan dan mencerdaskan masyarakat, sehingga mereka bisa secara jernih
dan objektif memilih calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.
Rezim pilkada langsung juga telah
memberi tempat bagi tampilnya sosok-sosok alternatif yang mampu mengemukakan
gagasan pembangunan secara nyata dan partisipatif. Sosok-sosok tersebut di mata
publik telah mematahkan dominasi politisi-politisi yang berambisi menjadi raja
kecil di daerah, yang tentu saja lebih dilandasi kepentingan politik personal
dan partai yang diwakilinya.
Lebih lanjut, pilkada langsung
telah melahirkan sebuah era kompetisi yang sehat dan berkualitas. Karena,
partai politik tidak bisa lagi secara sembarangan mengajukan calon kepala
daerah. Mereka dipaksa mengajukan figur-figur terbaik, bahkan jika perlu
merekrut figur nonpartai yang kredibel di mata publik. Ujung-ujungnya,
masyarakat yang akan diuntungkan karena memiliki cukup banyak pasokan calon
kepala daerah berkualitas.
Berdasarkan semua catatan
tersebut, rasanya sungguh tidak ada alasan untuk menghentikan pilkada secara
langsung dan menyerahkan wewenang memilih kepala daerah ke tangan DPRD. Alasan
yang diajukan oleh fraksi-fraksi pengusul, yakni Demokrat, Golkar, Gerindra,
PPP, dan PAN, bahwa pilkada melalui DPRD juga demokratis dan sebaliknya pilkada
langsung sangat mahal dan berpotensi memicu konflik horizontal, tidak berdasar
sama sekali.
Pendapat bahwa pilkada melalui
DPRD adalah proses demokratis, dalam tataran konsep benar adanya, karena kita
juga mengenal proses demokrasi perwakilan. Namun demikian, dalam kenyataannya,
calon kepala daerah yang diajukan parpol dikhawatirkan hanya figur yang
dianggap mampu mengamankan kepentingan parpol bersangkutan. Dengan pemilihan
melalui DPRD, dikhawatirkan juga pola pikir kepala daerah terpilih adalah
mereka dipilih oleh politisi di parlemen, bukan oleh rakyat, sehingga posisi
tawar politisi menjadi lebih tinggi. Sehingga kepentingan rakyat akan
terabaikan.
Mengenai alasan pilkada secara
langsung berbiaya mahal, secara kasat mata hal itu memang tidak terelakkan.
Namun, para politisi juga harus menyadari, bahwa besarnya biaya politik juga tidak
lepas dari sikap parpol, yang selalu menuntut setoran kepada calon kepala
daerah jika ingin maju ke pilkada. Setoran itu bukan jumlah kecil, tetapi
miliaran rupiah. Bahkan, ‘tarif’ setoran berbeda-beda tergantung pada karakter
dan situasi daerahnya. Untuk maju pilkada di Jawa, misalnya, akan lebih mahal buayanya
dibandingkan daerah lain. Calon yang mampu menyetor dalam jumlah tertinggilah
yang nantinya menjadi calon resmi dari parpol tersebut. Kecuali setoran ke
parpol, sang calon tentu juga harus mengeluarkan biaya untuk sosialisasi dan
operasional kampanye.
Seandainya parpol tidak memungut
setoran dari calon kepala daerah, tentu biaya akan lebih murah. Di samping itu,
biaya kampanye juga bisa ditekan jika sosialisasi dilakukan secara terpadu oleh
KPU, sehingga tidak ada calon yang jor-joran
berkampanye. Biaya pilkada secara langsung juga dapat ditekan dengan mewujudkan
gagasan pilkada serentak.
Sedangkan, terkait pendapat yang
mengatakan pilkada secara langsung berpotensi memicu konflik, juga tidak
beralasan. Sebab, tidak ada jaminan proses pilkada melalui DPRD bebas dari
potensi itu. Contoh nyata saat pemilihan presiden oleh MPR pada tahun 1999,
massa PDI-P tidak terima dengan kekalahan Megawati Soekarnoputri. Amuk massa
pun terjadi, seperti di Solo, yang merupakan basis utama partai Banteng. Sebab,
pada kenyataannya konflik dalam pilkada langsung juga sering dipicu oleh sikap
elite parpol yang tidak terima dengan kekalahan calonnya.
Setiap pilihan sistem pemilu
selalu ada untung-ruginya. Demikian pula pilkada langsung dan melalui DPRD,
masing-masing juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, kita secara
objektif bisa melihat bahwa pilkada secara langsung tetap lebih baik karena bisa
memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan
yang sah. Karena, yang terpenting di dalam pilkada langsung adalah rakyat
sebagai pelaku langsung dari demokrasi, sehingga menghindari pembajakan
aspirasi oleh partai politik. Adapun mengenai kelemahan yang ada, tentu menjadi
pekerjaan rumah bagi kita semua untuk membenahinya, agar manfaat yang besar itu
tidak melahirkan dampak negatif yang tidak diharapkan.
Mari kita pertimbangkan kembali
secara jernih tentang betapa lebih baiknya pilkada langsung seraya terus
berusaha untuk mencegah penerapan pilkada melalui DPRD. Dengan berbagai cara
kita mesti pertahankan pelaksanaan pilkada secara langsung dan mendukung
pelaksanaannya secara serentak dan hemat biaya.
Salam demokrasi penuh
cinta.
***
Solo, Selasa, 9 September 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: fokusriau.com
0 comments:
Posting Komentar