Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 16 September 2014

Pilkada Langsung Tetap Lebih Baik

Pelaksanaan pilkada secara langsung yang sudah kita laksanakan sejak Juni 2005 kemungkinan besar hanya akan tinggal menjadi catatan sejarah dalam kehidupan demokrasi dan pemerintahan di Indonesia. Karena, lima dari sembilan fraksi di DPR memilih untuk mengembalikan proses pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke tangan DPRD. Hal itu terkait dengan pembahasan RUU Pilkada, yang menurut rencana akan disahkan DPR dalam pekan ini.

Banyak pihak yang tidak setuju dengan langkah tersebut. Mereka mencermati bahwa pilkada langsung yang berlangsung hampir satu dekade itu telah mampu melahirkan banyak kepala daerah berkualitas dan benar-benar membaktikan diri untuk membangun daerah yang dipimpinnya. Pola kepemimpinan mereka yang antitesis terhadap pola kepemimpinan formalistis dan birokratis, mampu menginspirasi banyak orang, dan terbukti mampu menjadikan daerahnya tidak saja sebagai pusat pertumbuhan baru secara ekonomi, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warganya.

Kecuali itu, pilkada langsung dianggap sebagai bagian yang penting dalam rangka penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. Reformasi di bidang politik dan pemerintahan, telah semakin mendewasakan dan mencerdaskan masyarakat, sehingga mereka bisa secara jernih dan objektif memilih calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.

Rezim pilkada langsung juga telah memberi tempat bagi tampilnya sosok-sosok alternatif yang mampu mengemukakan gagasan pembangunan secara nyata dan partisipatif. Sosok-sosok tersebut di mata publik telah mematahkan dominasi politisi-politisi yang berambisi menjadi raja kecil di daerah, yang tentu saja lebih dilandasi kepentingan politik personal dan partai yang diwakilinya.

Lebih lanjut, pilkada langsung telah melahirkan sebuah era kompetisi yang sehat dan berkualitas. Karena, partai politik tidak bisa lagi secara sembarangan mengajukan calon kepala daerah. Mereka dipaksa mengajukan figur-figur terbaik, bahkan jika perlu merekrut figur nonpartai yang kredibel di mata publik. Ujung-ujungnya, masyarakat yang akan diuntungkan karena memiliki cukup banyak pasokan calon kepala daerah berkualitas.

Berdasarkan semua catatan tersebut, rasanya sungguh tidak ada alasan untuk menghentikan pilkada secara langsung dan menyerahkan wewenang memilih kepala daerah ke tangan DPRD. Alasan yang diajukan oleh fraksi-fraksi pengusul, yakni Demokrat, Golkar, Gerindra, PPP, dan PAN, bahwa pilkada melalui DPRD juga demokratis dan sebaliknya pilkada langsung sangat mahal dan berpotensi memicu konflik horizontal, tidak berdasar sama sekali.

Pendapat bahwa pilkada melalui DPRD adalah proses demokratis, dalam tataran konsep benar adanya, karena kita juga mengenal proses demokrasi perwakilan. Namun demikian, dalam kenyataannya, calon kepala daerah yang diajukan parpol dikhawatirkan hanya figur yang dianggap mampu mengamankan kepentingan parpol bersangkutan. Dengan pemilihan melalui DPRD, dikhawatirkan juga pola pikir kepala daerah terpilih adalah mereka dipilih oleh politisi di parlemen, bukan oleh rakyat, sehingga posisi tawar politisi menjadi lebih tinggi. Sehingga kepentingan rakyat akan terabaikan.

Mengenai alasan pilkada secara langsung berbiaya mahal, secara kasat mata hal itu memang tidak terelakkan. Namun, para politisi juga harus menyadari, bahwa besarnya biaya politik juga tidak lepas dari sikap parpol, yang selalu menuntut setoran kepada calon kepala daerah jika ingin maju ke pilkada. Setoran itu bukan jumlah kecil, tetapi miliaran rupiah. Bahkan, ‘tarif’ setoran berbeda-beda tergantung pada karakter dan situasi daerahnya. Untuk maju pilkada di Jawa, misalnya, akan lebih mahal buayanya dibandingkan daerah lain. Calon yang mampu menyetor dalam jumlah tertinggilah yang nantinya menjadi calon resmi dari parpol tersebut. Kecuali setoran ke parpol, sang calon tentu juga harus mengeluarkan biaya untuk sosialisasi dan operasional kampanye.

Seandainya parpol tidak memungut setoran dari calon kepala daerah, tentu biaya akan lebih murah. Di samping itu, biaya kampanye juga bisa ditekan jika sosialisasi dilakukan secara terpadu oleh KPU, sehingga tidak ada calon yang jor-joran berkampanye. Biaya pilkada secara langsung juga dapat ditekan dengan mewujudkan gagasan pilkada serentak.

Sedangkan, terkait pendapat yang mengatakan pilkada secara langsung berpotensi memicu konflik, juga tidak beralasan. Sebab, tidak ada jaminan proses pilkada melalui DPRD bebas dari potensi itu. Contoh nyata saat pemilihan presiden oleh MPR pada tahun 1999, massa PDI-P tidak terima dengan kekalahan Megawati Soekarnoputri. Amuk massa pun terjadi, seperti di Solo, yang merupakan basis utama partai Banteng. Sebab, pada kenyataannya konflik dalam pilkada langsung juga sering dipicu oleh sikap elite parpol yang tidak terima dengan kekalahan calonnya.

Setiap pilihan sistem pemilu selalu ada untung-ruginya. Demikian pula pilkada langsung dan melalui DPRD, masing-masing juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, kita secara objektif bisa melihat bahwa pilkada secara langsung tetap lebih baik karena bisa memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan yang sah. Karena, yang terpenting di dalam pilkada langsung adalah rakyat sebagai pelaku langsung dari demokrasi, sehingga menghindari pembajakan aspirasi oleh partai politik. Adapun mengenai kelemahan yang ada, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk membenahinya, agar manfaat yang besar itu tidak melahirkan dampak negatif yang tidak diharapkan.

Mari kita pertimbangkan kembali secara jernih tentang betapa lebih baiknya pilkada langsung seraya terus berusaha untuk mencegah penerapan pilkada melalui DPRD. Dengan berbagai cara kita mesti pertahankan pelaksanaan pilkada secara langsung dan mendukung pelaksanaannya secara serentak dan hemat biaya.

Salam demokrasi penuh cinta.

***
Solo, Selasa, 9 September 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: fokusriau.com

0 comments:

Posting Komentar