Bagaimana mungkin kita belajar dari niat busuk? Dalam hal ini
maksudnya adalah bahwa dari niat busuk yang ada dari suatu peristiwa
atau kasus akan kita pakai untuk menentukan sikap atau berlaku lebih
hati-hati terhadap kelanjutannya.
Akhir-akhir ini berlangsung dua
peristiwa yang cukup mengundang perhatian dan memanaskan situasi,
khususnya situasi politik negeri ini. Pertama tentang tagar 2019 ganti
presiden dan yang kedua mengenai larangan mantan koruptor menjadi caleg.
Tagar
2019 ganti presiden, dengan inisiator politisi PKS Mardani Ali Sera,
telah berkembang menjadi gerakan yang dianggap meresahkan masyarakat.
Penolakan sebagian masyarakat terhadap pengumpulan massa oleh gerombolan
ini telah memunculkan pelarangan oleh aparat keamanan terhadap mereka
yang akan deklarasi di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Batam,
Riau, Surabaya dan Solo.
Para penggerak gerombolan tagar 2019
ganti presiden tentu saja berang dengan pelarangan ini dan terlebih oleh
tanggapan Ali Mochtar Ngabalin yang menilai mereka akan melakukan
tindakan makar.
Ngabalin beranggapan bahwa gerombolan ini sangat
berbahaya. Sebagai orang yang awam politik pun kita bisa lihat dari
video yang beredar serta spanduk yang terpasang di beberapa tempat,
dimana mereka membuat pernyataan ingin mengganti sistem pemerintahan
presidensial menjadi khilafah. Maka kita bisa memaklumi kecemasan yang
muncul saat menyikapi gerombolan ini.
Terlepas apakah mereka
berniat mengganti sistem pemerintahan atau tidak, melanggar
undang-undang atau tidak, sesungguhnya masyarakat berhak untuk menolak
manakala kerumunan massa berpotensi menimbulkan kerusuhan.
Kebebasan
berekspresi dan berpendapat di muka umum memang dijamin oleh
undang-undang tetapi tidak serta merta boleh seenaknya sendiri. Aparat
keamanan tidak bisa disalahkan apabila mencegah timbulnya bentrokan.
Kasus
yang kedua tentang larangan mantan koruptor menjadi caleg juga telah
mengusik nalar politik kita. Pihak yang tidak setuju pelarangan ini
menganggap bahwa hal itu melanggar hak asasi para mantan koruptor,
sedangkan pihak yang setuju menganggap bahwa hak asasi rakyat untuk
memiliki wakil rakyat yang bersih harus lebih diutamakan.
Benarkah
yang menolak pelarangan terhadap caleg mantan napi koruptor
memperjuangkan hak asasi? Jangan-jangan ada transaksi kotor antara
partai dengan para caleg bermasalah tersebut? Bukankah masih banyak
orang lain yang bisa dicalegkan dan memiliki rekam jejak yang lebih
baik? Inilah situasi yang patut kita curigai.
Salahkah kalau kita
mencurigai omongan orang-orang atau mereka yang mengaku politisi yang
mendukung gerombolan tagar 2019 ganti presiden dan yang mendukung
pencalegan mantan koruptor?
Mereka di berbagai talk show
politik di televisi serta di media sosial bersikukuh dengan pendapat
mereka bahwa mereka menyuarakan kepentingan rakyat dan hak asasi.
Layakkah disebut menyuarakan kepentingan rakyat manakala mereka berniat
mengganti sistem pemerintahan yang sah dikehendaki rakyat? Pantaskah
mereka mengaku membela hak asasi apabila yang dibela adalah melulu
kepentingan sekelompok orang dan mengorbankan kepentingan rakyat yang
lebih besar?
Inilah situasi politik saat ini, dimana orang-orang
yang punya niat busuk berambisi tuk berkuasa. Kewaspadaan rakyat diuji
untuk tetap menjaga keberlangsungan Pancasila dan NKRI. Jangan sampai
karena emosi sesaat yang tergoda dengan ungkapan 'demi kebebasan dan hak
asasi' kita mengorbankan masa depan anak cucu kita. Merdeka !
***
Solo, Kamis, 6 September 2018
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: ayukomalasaridewi
0 comments:
Posting Komentar