Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 16 Oktober 2018

Kepemimpinan Milenial ala Ki Hajar Dewantara


Bagaimana mungkin generasi milenial ditata dengan pola kepemimpinan ala awal abad 20 zaman Ki Hajar Dewantara? Mungkin itulah yang terbersit tatkala anda membaca judul tulisan ini. Tentu saja mungkin dan bahkan sesungguhnya itulah yang dibutuhkan oleh kaum dan zaman milenial ini.

Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming' (peningkatan besar) tingkat kelahiran di tahun 1980-an dan 1990-an.

Berdasar pada pengertian milenial di atas mungkin terlihat rentang waktu yang jauh antara generasi milenial dengan generasi Ki Hajar Dewantara. Tetapi apakah rentang waktu seperti itu akan berakibat tidak sesuai lagi ajaran tersebut untuk zaman now? Marilah kita telaah secara mendalam ajarannya, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. 

Ing Ngarsa Sung Tuladha artinya Ing ngarsa itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, tuladha berarti tauladan. Maka makna Ing Ngarsa Sung Tuladha adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.

Ing Madya Mangun Karsa, Ing Madya artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karsa diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus senantiasa mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.

Begitu pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan Handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga makna Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita untuk menumbuhkan motivasi dan semangat.

Maka secara tersirat Ing Ngarsa Sung TuladhaIng Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.

Selanjutnya dari telaah ajaran Ki Hajar Dewantara di atas maka kita temukan makna yang tetap aktual sampai saat ini, khususnya untuk generasi milenial bangsa dan negara ini. Kita harus selalu punya prinsip hidup, berbangsa dan bernegara seperti kesatuan makna tiga ajaran di atas. Terlebih untuk siapa pun yang menjadi pemimpin di negeri ini.

Pemimpin haruslah yang senantiasa memberi teladan, bukan menebar celaan apalagi cercaan. Teladan kesederhanaan bukan kepongahan. Berbuat banyak manfaat untuk rakyat, bukan tipu muslihat. Lebih mau mendengarkan daripada didengarkan. Lebih mau menghargai daripada minta dihargai.

Pribadi yang mau terlibat di tengah-tengah persoalan dan kebutuhan rakyat adalah pemimpin sejati. Pemimpin yang senantiasa memberi semangat dalam situasi apa pun, bukan yang melihat negeri ini secara pesimis.

Negeri ini membutuhkan pola kepemimpinan yang senantiasa memberi dorongan moral bagi rakyat. Memberi kesempatan setiap individu untuk terus berkembang sesuai dengan talentanya masing-masing.

Dalam konteks tahun politik jelang pemilu ini, selayaknya kita juga menggunakan pedoman ajaran Ki Hajar Dewantara tersebut untuk menentukan pilihan wakil rakyat atau pemimpin negeri ini. Jangan sampai kita seperti membeli kucing dalam karung, tanpa mengenal kualitas serta rekam jejak para caleg serta capres-cawapres kita. Merdeka !

***
Solo, Senin, 24 September 2018
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: cartoonize

0 comments:

Posting Komentar