Bagaimana mungkin generasi milenial ditata dengan pola kepemimpinan
ala awal abad 20 zaman Ki Hajar Dewantara? Mungkin itulah yang terbersit
tatkala anda membaca judul tulisan ini. Tentu saja mungkin dan bahkan
sesungguhnya itulah yang dibutuhkan oleh kaum dan zaman milenial ini.
Milenial
(juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah
Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan
akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan
awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun
1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada
umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua.
Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya
'booming' (peningkatan besar) tingkat kelahiran di tahun 1980-an dan
1990-an.
Berdasar pada pengertian milenial di atas mungkin
terlihat rentang waktu yang jauh antara generasi milenial dengan
generasi Ki Hajar Dewantara. Tetapi apakah rentang waktu seperti itu
akan berakibat tidak sesuai lagi ajaran tersebut untuk zaman now? Marilah kita telaah secara mendalam ajarannya, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Ing Ngarsa Sung Tuladha artinya Ing ngarsa itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, tuladha berarti tauladan. Maka makna Ing Ngarsa Sung Tuladha
adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan
bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh
seseorang adalah kata suri tauladan.
Ing Madya Mangun Karsa, Ing Madya artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karsa
diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu
adalah seseorang ditengah kesibukannya harus senantiasa mampu
membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus
mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan
suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
Begitu pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan Handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga makna Tut Wuri Handayani
ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari
belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang di
sekitar kita untuk menumbuhkan motivasi dan semangat.
Maka secara tersirat Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti
figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau
panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan
dorongan moral dari belakang agar orang-orang disekitarnya dapat merasa
situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia
yang bermanfaat di masyarakat.
Selanjutnya dari telaah ajaran Ki
Hajar Dewantara di atas maka kita temukan makna yang tetap aktual sampai
saat ini, khususnya untuk generasi milenial bangsa dan negara ini. Kita
harus selalu punya prinsip hidup, berbangsa dan bernegara seperti
kesatuan makna tiga ajaran di atas. Terlebih untuk siapa pun yang
menjadi pemimpin di negeri ini.
Pemimpin haruslah yang senantiasa
memberi teladan, bukan menebar celaan apalagi cercaan. Teladan
kesederhanaan bukan kepongahan. Berbuat banyak manfaat untuk rakyat,
bukan tipu muslihat. Lebih mau mendengarkan daripada didengarkan. Lebih
mau menghargai daripada minta dihargai.
Pribadi yang mau terlibat
di tengah-tengah persoalan dan kebutuhan rakyat adalah pemimpin sejati.
Pemimpin yang senantiasa memberi semangat dalam situasi apa pun, bukan
yang melihat negeri ini secara pesimis.
Negeri ini membutuhkan
pola kepemimpinan yang senantiasa memberi dorongan moral bagi rakyat.
Memberi kesempatan setiap individu untuk terus berkembang sesuai dengan
talentanya masing-masing.
Dalam konteks tahun politik jelang
pemilu ini, selayaknya kita juga menggunakan pedoman ajaran Ki Hajar
Dewantara tersebut untuk menentukan pilihan wakil rakyat atau pemimpin
negeri ini. Jangan sampai kita seperti membeli kucing dalam karung,
tanpa mengenal kualitas serta rekam jejak para caleg serta
capres-cawapres kita. Merdeka !
Solo, Senin, 24 September 2018
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: cartoonize
0 comments:
Posting Komentar