Indonesia telah memiliki presiden baru. Jokowi akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Kita memasuki pemerintahan baru sekaligus tantangan baru dan harapan baru. Ada beban bawaan masa lalu dan masalah baru di masa akan datang yang bakal menghadang. Tetapi, setiap tantangan selalu ada peluang dan setiap masalah selalu ada jawaban. Jokowi diharapkan oleh rakyat menjadi jawaban.
Pesta rakyat mengiringi
pelantikan Jokowi. Masyarakat secara sukarela mengantarkan presiden pilihan
mereka ke Istana Kepresidenan untuk memberikan penekanan ulang dan mengingatkan
sang pemimpin baru akan janjinya saat kampanye. Mereka hendak menegaskan bahwa
Jokowi adalah bagian dari rakyat, seperti bunyi salah satu tagline saat
kampanye pemilihan presiden, ‘Jokowi adalah kita’.
Seperti digambarkan oleh para
pengamat, ekonomi Indonesia dua tahun yang akan datang cukup berat. Kapal besar
Indonesia tidak lagi mendapat tail wind
atau angin buritan, melainkan head win
atau angin haluan. Perkembangan ekonomi global beberapa tahun ke depan penuh
ketidakpastian. Namun, biarpun masa depan diwarnai tantangan dan ancaman,
pemimpin baru adalah harapan di tengah ketidakpastian.
Dampak terbesar datang dari AS.
Era penggelontoran dolar sudah selesai. Kebijakan tapering off atau pengurangan dana quantitative easing berakhir Oktober 2014. Pasokan dolar akan terus
berkurang ketika The Federal Reserve
(Fed) menaikkan suku bunga acuan yang saat ini 0,25 persen. Pulihnya
ekonomi AS dan inflasi yang terus merangkak naik akan memaksa bank sentral AS
menaikkan suku bunga acuan awal tahun depan.
Bila Fed Fund Rate (FFR) terus dinaikkan hingga di atas 1,5 persen,
dolar dari pasar sedang berkembang akan ‘pulang kampung’. Menciutnya pasokan
dolar akan mendepresiasi rupiah. Untuk menahan capital outflow, bank sentral akan menaikkan BI rate dari 7,5
persen hingga minimal 8,5 persen. Kenaikan suku bunga acuan juga dipicu oleh
kebijakan pemerintah memangkas subsidi BBM.
Kecuali itu, ekspor komoditas
primer ke Eropa masih tetap lesu karena hingga beberapa tahun depan, ekonomi
Uni Eropa masih terpuruk. Laju pertumbuhan ekonomi masih di bawah 1 persen.
Jepang yang sempat membaik tahun lalu berkat "Abenomics", kini slow down. Ekonomi RRT dan India sebagai
importir terbesar batu bara dan hasil tambang Indonesia juga dilanda kelesuan.
Di dalam negeri, ekonomi biaya
tinggi menggerogoti pelaku usaha akibat birokrasi belum sungguh berperan
sebagai pelayan yang memberikan kemudahan. Hukum yang belum memberikan
kepastian. Biaya logistik sangat mahal akibat infrastruktur transportasi yang
buruk. Dalam situasi ini, rakyat meletakkan harapan yang sangat besar di pundak
Jokowi. Pemimpin pilihan rakyat itu diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan
dan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan harapan rakyat,
setidaknya ada 11 hal saling berkaitan yang perlu diprioritaskan.
Pertama, memacu pertumbuhan
ekonomi di atas 7 persen. Jika pada 2015 laju pertumbuhan ekonomi masih di
bawah 6 persen, empat tahun selanjutnya, harus bisa dipacu di atas 7 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah sulit memangkas jumlah penduduk miskin dan
pengangguran. Dalam 10 tahun terakhir, ekonomi hanya bertumbuh rata-rata 5,8
persen, jauh di bawah target 7 persen dan laju pertumbuhan RRT yang di atas 9
persen.
Akibat laju pertumbuhan ekonomi
yang telatif rendah dan eksklusif, pengangguran Indonesia masih sebesar 7,2
juta atau 5,7 persen dan penduduk miskin absolut sebesar 28,3 juta atau 11,3
persen dari total penduduk. Bila garis kemiskinan yang saat ini Rp 8.500 per
hari per orang dinaikkan menjadi Rp 15.000, jumlah penduduk miskin absolut dan
hampir miskin bakal menembus 100 juta.
Supaya ekonomi bertumbuh lebih
inklusif atau menyebar hingga ke pelaku ekonomi dan masyarakat paling bawah,
yang dibangun tidak saja sektor usaha yang padat modal dan teknologi, melainkan
juga sektor usaha yang padat karya, yakni pertanian dan industri. Kedua sektor
ini perlu dibangun bersama-sama.
Sektor pertanian masih menyerap
40 juta atau 34,5 persen terhadap tenaga kerja. Namun, kontribusi pertanian
terhadap produk domestik bruto (PDB) tinggal 15 persen. Sedang industri yang
mengontribusi 23,7 persen terhadap PDB hanya menyerap 15 juta atau 13 persen
tenaga kerja. Sambil menata kembali sektor pertanian, pemerintah perlu lebih
serius membangun sektor industri yang dalam lima tahun terakhir mengalami
deindustrialisasi. Pada tahun 2010, kontribusi industri terhadap PDB mencapai
25 persen.
Pemerintah perlu memiliki peta
jalan industri agar ada kejelasan jenis industri yang hendak dibangun. Dengan
jumlah penduduk 250 juta dan angkatan kerja yang mencapai 125 juta, Indonesia
layak menjadi basis industri elektronik dan otomotif. Industri tekstil dan alas
kaki masih bisa bersaing meski foot loose
industries mudah berpindah ke negeri lain yang menawarkan upah lebih murah.
Kemajuan industri pengolahan, industri otomotif, dan industri elektronik perlu
ditopang oleh industri dasar dan industri barang modal. Tanpa kedua jenis
industri ini, Indonesia akan terus-menerus diguncang masalah defisit neraca
perdagangan.
Kedua, memperbaiki struktur
ekonomi yang tidak seimbang. Selama ini, ekspor Indonesia didominasi produk
primer, bukan produk olahan yang bernilai tambah tinggi. Industri Indonesia
tidak mempunyai akar yang dalam. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kegiatan
industri selalu diikuti oleh lonjakan impor. Selain itu, industri nasional
umumnya menumpuk di Jawa, bahkan di wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi, dan
Karawang.
Dalam rangka memperkuat struktur
ekonomi, hilirisasi menjadi solusi. Semua produk perkebunan, pertanian, migas,
dan pertambangan diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Pembangunan industri
baru diprioritaskan di luar Jawa. Pabrik pengolahan berbagai produk dibangun di
sentra produksi. Pabrik sawit, misalnya, dibangun di Sumatera dan Kalimantan.
Struktur ekonomi yang lemah juga
terlihat pada impor yang terus membesar hingga membuat neraca perdagangan
defisit. Penduduk Indonesia yang besar lebih merupakan pasar bagi produk impor,
bukan kekuatan untuk menghasilkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan di
dalam negeri dan ekspor. Rapuhnya struktur ekonomi Indonesia disebabkan juga
oleh tenaga kerja yang masih menumpuk di sektor pertanian. Ke depan tenaga
kerja harus digeser ke sektor industri dan jasa. Untuk mendukung program ini,
kualitas tenaga kerja perlu ditingkatkan. Saat ini, sekitar 70 persen tenaga
kerja Indonesia adalah pekerja informal dengan tingkat pendidikan maksimal
sekolah menengah pertama dan minim keterampilan.
Ketiga, merealisasikan
reformasi agraria. Setiap petani minimal harus memiliki lahan 2 hektar agar
bisa hidup sejahtera. Karena itu, reformasi agraria, dengan fokus penataan
kembali lahan (land reform), penting
diimplementasi. Lahan telantar yang belum digarap dibagikan kepada petani.
Mereka yang tidak memiliki lahan dialihkan ke sektor industri dan jasa.
Keempat, percepatan
pembangunan infrastruktur untuk menekan biaya logistik dan meningkatkan daya
saing produk. Infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara belum cukup
menunjang kemajuan investasi. Harga energi bisa ditekan dengan pembangunan
pembangkit di mulut tambang.
Kelima, ketersediaan pangan
dan energi yang merata di seluruh wilayah Nusantara. Sumber daya alam
memungkinkan Indonesia mencapai kedaulatan pangan dan energi serta menjadi
lumbung pangan dan energi. Pembangunan energi ke depan harus diarahkan ke
energi terbarukan seperti geotermal atau panas bumi.
Keenam, menyehatkan kondisi
fiskal dan menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai
instrumen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pendapatan.
Penyakit terbesar fiskal Indonesia adalah subsidi BBM yang terus membesar.
Tahun ini, subsidi BBM sebesar Rp 280 triliun dan tahun 2015 di atas Rp 300
triliun. Dalam 10 tahun terakhir, subsidi energi sekitar Rp 1.995 triliun, di
antaranya subsidi BBM yang mencapai Rp 1.343 triliun. Dana subsidi BBM
dialihkan untuk pembangunan infrastrukur dan berbagai program kesejahteraan
rakyat.
Setiap tahun menjual surat utang
negara (SUN), termasuk global bond
kepada investor asing. Namun pada saat yang sama, pemerintah menghamburkan
ratusan triliun rupah untuk menyubsidi BBM yang sama sekali tidak tepat
sasaran. Selama 2005-2014, akumulasi pembayaran bunga utang mencapai Rp 937,5
triliun. Pada tahun 2015, pembayaran bunga utang sekitar Rp 150 triliun. Pada
Agustus 2014, posisi utang pemerintah Rp 2.532 triliun atau dua kali lipat
dibanding posisi utang pemerintah per Desember 2004.
Di sisi penerimaan, pajak masih
bisa ditingkatkan dengan memprioritaskan pajak badan. Dari sekitar 5 juta
perusahaan di Indonesia yang memiliki NPWP, yang membayar pajak penghasilan
(PPh) tahun 2013 hanya sekitar 850.000 perusahaan. Cukup dengan meningkatkan
pembayar pajak badan hingga 2,5 juta, penerimaan pajak bisa naik 50 persen.
Karena jika perusahaan membayar pajak, para pekerjanya juga dengan sendirinya
ikut membayar pajak.
Dari sisi belanja, dana APBN
masih bisa dihemat dengan mengurangi perjalanan dinas pegawai dan berbagai
rapat di hotel berbintang lima. Sangat tidak pantas jika biaya rapat setahun
menembus Rp 15 triliun dan perjalanan dinas puluhan triliun setahun. Pencairan
dana APBN perlu diatur kembali agar tidak menumpuk di akhir tahun dan menjadi
sumber korupsi.
Kebutuhan anggaran setiap desa
mestinya menjadi dasar perhitungan anggaran belanja dalam APBN. Hanya
kementerian yang bertugas membangun infrastruktur yang diberikan dana besar.
Saat ini terdapat 77.500 desa dan kelurahan. Sesuai UU Desa, setiap desa dan
kelurahan mendapatkan dana Rp 1 miliar, mulai tahun 2014. Ke depan, anggaran
untuk setiap desa perlu dinaikkan.
Ketujuh, meski ada
pemangkasan subsidi BBM dan tarif listrik, pemerintah harus ikut menjaga
stabilitas harga barang dan jasa dengan meningkatkan pasokan dan melancarkan
jalur distribusi barang. Kenaikan inflasi langsung menggerus daya beli
rakyat. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik harus didahului persiapan jaring
pengaman sosial. Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM dan tarif listrik,
pemberian dana tunai selama setahun kepada penduduk miskin dan hampir miskin
adalah hal yang sepatutnya.
Kedelapan, mendorong kemajuan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang saat ini mencapai 56,5 juta unit. Sektor
ini menyerap 101 juta atau 97 persen tenaga kerja. Mendorong kemajuan UMKM sama
dengan mendorong kemajuan wong cilik.
Kesembilan, akses yang lebih
baik bagi rakyat kecil akan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Para
pemegang kartu sehat dan kartu pintar perlu segera mendapatkan pelayanan yang
baik. Untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi, pemerintahan baru perlu
segera mengintegrasikan program kartu sehat dengan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan dan program kartu pintar dengan Bantuan Operasional Sekolah
(BOS).
Kesepuluh, para menteri
pilihan Jokowi harus memiliki integritas tinggi dan kapabilitas yang
diperlukan. Anggota kabinet wajib terdiri atas figur yang bersih, jujur,
dan berani mengambil keputusan dan mampu bekerja dalam satu tim. Tidak ada lagi
ego sektoral. Jika Jokowi mampu membentuk the
winning team, para pelaku bisnis akan merespons positif.
Kesebelas, menjaga stabilitas
politik dengan menjalin hubungan baik dengan parlemen. Pemimpin di era
demokrasi harus siap menerima mekanisme checks
and balances demi kepentingan rakyat. Pemimpin eksekutf perlu memiliki
kemampuan negosiasi dan persuasi. Kegiatan ekonomi tidak berjalan di ruang
hampa, melainkan di dalam lingkungan sosial-politik. Tanpa kondisi
sosial-politik yang stabil, pemodal tak akan nyaman berinvestasi. Kemunduran
ekonomi Thailand merupakan referensi yang ada di depan mata.
Bukan hanya para pendukungnya
yang menyatakan, ‘Jokowi adalah kita’, Jokowi pun kerap menyatakan bahwa
dirinya senantiasa berusaha dekat dengan rakyat dan mendengarkan suara rakyat.
Meski dalam beberapa tahun ke depan, mendapatkan angin haluan, kapal Indonesia
akan tetap melaju dengan cepat dan selamat jika Jokowi selalu bersama rakyat,
ingat aspirasi rakyat, dan merealisasikannya lewat program dan strategi yang
tepat.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 22 Oktober 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: www.tribunnews.com