Welcome...Selamat Datang...

Sabtu, 25 Oktober 2014

Beragama tetapi Tidak Agamis

Itulah wajah serta kualitas para wakil rakyat negeri ini, mereka beragama tetapi hanya sebatas formalitas dan kata-kata, tidak terealisasikan dalam perilaku mereka. Apalagi sebagai wakil rakyat, perilaku mereka ternyata jauh dari beradab.

Sidang paripurna perdana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019, pada 1 Oktober 2014, khususnya dalam pemilihan pimpinannya berlangsung ricuh serta sangat gaduh. Sopan santun dan etika atau soal kebaikan dalam bersidang khususnya dalam lembaga yang disebut ‘terhormat’ itu tampak tidak lagi menjadi pertimbangan. Ini tentu menambah kesan buruk dan biadab terhadap lembaga perwakilan rakyat ini.

Peristiwa buruk serta menjijikkan dalam sidang itu menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa kericuhan dapat terjadi dalam sidang lembaga terhormat itu? Apakah mereka yang ricuh itu telah kehilangan rasa sopan santun atau tata krama dan terlebih etika dalam menampilkan diri sebagai anggota DPR? Apakah memang sebagai politikus harus selalu mengandalkan kekuatan atau kekuasaannya untuk menentukan kebijakan lembaga ini dengan cara yang begitu buruk? Di mana Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa kita ditempatkan? Terlebih lagi, di mana wujud pelaksanaan prinsip musyawarah untuk mufakat yang berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan?

Selanjutnya, yang sangat menyedihkan dan menimbulkan pertanyaan besar adalah para wakil rakyat itu baru saja, masih dalam hitungan jam, dilantik, dan dalam acara pelantikan mereka disumpah, dan didoakan oleh wakil Menteri Agama. Di mana peranan sumpah/janji dan doa itu mereka tempatkan? Ingatkah mereka pada sumpah dan doa dalam pelantikan itu? Apa manfaat sumpah dan doa dengan rumusan kata-kata dan kalimat yang indah, berwibawa dan sakral?

Agama Hanya Sekedar Formalitas

Dalam kericuhan atau keonaran yang dilakukan oleh banyak wakil rakyat itu, tampak bahwa sumpah dan doa itu tidak diingat atau tidak dihiraukan. Kesadaran bahwa mereka baru saja dilantik, disumpah dan didoakan tidak tampak dalam perilaku para wakil rakyat itu. Sumpah dan doa hanya dipergunakan sebagai formalitas belaka. Bahwa orang-orang yang dilantik sebagai anggota DPR itu beragama. Itu ternyata tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan hidup agamis  sesuai dengan ajaran agamanya itu.

Apabila demikian dapat dikatakan bahwa sumpah dan doa tidak berpengaruh dalam membentuk karakter, kepribadian dan sikap hidup serta sebagai pengingat untuk mereka menghindari perbuatan tidak baik. Dengan kata lain, sumpah dan doa yang identik dengan atau bagian dari agama tidak bermanfaat. Jika menyadari bermanfaat, tentu para wakil rakyat itu akan sadar dan bersedia serta mengutamakan sopan santun dan etika atau perilaku yang baik. Mereka akan mengutamakan musyawarah, keadilan, persatuan, perdamaian dan kebaikan untuk semua.

Agama Diabaikan

Kegaduhan dan kericuhan itu terjadi karena pihak-pihak yang bertikai sebagai kelompok mayoritas-minoritas mengutamakan kepentingan politik, yaitu kemenangan dan kekuasaan kelompok. Dengan tujuan itu, lalu cara-cara yang tidak santun, tidak adil dan tidak bijaksana dipergunakan. Kericuhan sidang paripurna DPR itu, apa pun hasilnya dan siapa pun pemenangnya, tetap berakibat buruk bagi citra anggota DPR, bagi lembaga DPR, bagi demokrasi dan iklim perpolitikan, dan bagi bangsa dan negara. Bahwa demokrasi kita masih tidak atau kurang beretika, beretiket dan berestetika. Jadi dalam pertarungan yang ricuh itu, semua pihak mengalami kekalahan moral-etik.

Tidak hanya itu, citra buruk juga berimbas pada agama yang lalu dinilai tidak berpengaruh atau tidak bermanfaat. Buktinya, sangat terang dan jelas sekali mereka baru saja disumpah dan didoakan tetapi tidak berperilaku sesuai dengan sumpah dan doa itu. Perilaku buruk kalangan di DPR itu sebenarnya juga merupakan pelecehan terhadap sumpah dan doa atau agama itu sendiri. Perilaku buruk itu telah menodai agama dan seharusnya mereka dijerat dengan undang-undang atau hukum tentang penodaan agama.

Perilaku buruk yang berakibat gejolak sosial dan politik bahkan ekonomi seperti ‘tragedi’ sidang paripurna DPR itu serupa dengan yang dilakukan oleh sebuah organisasi masa Islam yang menolak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Gubernur DKI dengan melakukan tindakan kekerasan melawan aparat negara atau polisi. Dengan nama pembela agama dan dengan menggunakan atribut dan simbol-simbol agama tetapi menyerang kantor DPRD DKI dengan lemparan batu, merusak kendaraan dan fasilitas umum dan menggunakan senjata tajam. Tindakan ormas itu tentu merusak citra dan melecehkan agama yang hendak dibelanya. Ini adalah penodaan agama.

Memfungsikan Agama

Setiap orang beragama, agama apa pun itu, tentu menghendaki agar agama betul-betul berperan atau bermanfaat. Dengan itu, kehidupan manusia di mana pun dan dalam hal apa pun, seperti ekonomi, politik, sosial-budaya dan agama itu sendiri, akan menjadi baik. Perilaku yang berakibat buruk dalam kehidupan tentu bukan perilaku baik tetapi buruk dan jahat. Dan banyak orang beragama tidak menjadi baik tetapi menjadi jahat karena digoda dan dikuasai oleh berhala-berhala duniawi seperti kekuasaan dan uang.

Agar dapat membuat pribadi-pribadi beragama menjadi baik, agama harus berfungsi atau berpengaruh. Cara memfungsikan agama yang efektif adalah dengan menjadikan agama atau unsur-unsurnya, seperti sumpah, ibadah, doa atau sembahyang, dan bacaan Kitab Suci sebagai bagian hidup yang selalu diingat; atau itu menjadi peringatan dalam setiap tindakan. Agama jadi tidak hanya berfungsi sebagai alat identifikasi dan legitimasi keagamaan dan kesalehan. Atau, dalam kasus kericuhan di DPR, peran agama tidak hanya sampai di sumpah dan doa dan dianggap hanya formalitas.

Unsur-unsur dalam agama seperti sumpah dan doa harus dapat terus-menerus mengingatkan dan menyadarkan orang tentang apa yang baik dan yang tidak baik ketika ia mengambil keputusan dan melakukan tindakan. Agama harus menjadi seperti cahaya yang selalu dilihat ketika seorang membukakan matanya; atau seperti suara yang selalu mengiang di telinga. Atau, suara yang keluar dari mulut yang menyebut ‘Ya Tuhan ya Allah. Ya Allah ya Tuhan.’ Kesadaran pada agama adalah kesadaran pada Tuhan. Kesadaran pada Tuhan adalah kesadaran pada kebaikan.

Jadi siapa pun, apalagi sebagai wakil rakyat, tidak cukup hanya beragama tetapi juga sekaligus harus agamis dalam kehidupannya. Tidak hanya sekedar memiliki agama tertentu seperti yang tertera di KTP-nya atau saat mengucapkan sumpah dan janji namun juga harus menganut serta menghayati agama tersebut dalam setiap perilaku kehidupannya, termasuk saat menjalankan pilihan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Salam kritis penuh cinta.

***
Solo, Kamis, 16 Oktober 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: www.kaskus.co.id

0 comments:

Posting Komentar