Itulah wajah serta kualitas para
wakil rakyat negeri ini, mereka beragama tetapi hanya sebatas formalitas dan
kata-kata, tidak terealisasikan dalam perilaku mereka. Apalagi sebagai wakil
rakyat, perilaku mereka ternyata jauh dari beradab.
Sidang paripurna perdana Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2014-2019, pada 1 Oktober 2014,
khususnya dalam pemilihan pimpinannya berlangsung ricuh serta sangat gaduh.
Sopan santun dan etika atau soal kebaikan dalam bersidang khususnya dalam
lembaga yang disebut ‘terhormat’ itu tampak tidak lagi menjadi pertimbangan.
Ini tentu menambah kesan buruk dan biadab terhadap lembaga perwakilan rakyat
ini.
Peristiwa buruk serta menjijikkan
dalam sidang itu menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa kericuhan dapat terjadi
dalam sidang lembaga terhormat itu? Apakah mereka yang ricuh itu telah
kehilangan rasa sopan santun atau tata krama dan terlebih etika dalam
menampilkan diri sebagai anggota DPR? Apakah memang sebagai politikus harus selalu
mengandalkan kekuatan atau kekuasaannya untuk menentukan kebijakan lembaga ini
dengan cara yang begitu buruk? Di mana Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa
kita ditempatkan? Terlebih lagi, di mana wujud pelaksanaan prinsip musyawarah
untuk mufakat yang berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan?
Selanjutnya, yang sangat
menyedihkan dan menimbulkan pertanyaan besar adalah para wakil rakyat itu baru
saja, masih dalam hitungan jam, dilantik, dan dalam acara pelantikan mereka
disumpah, dan didoakan oleh wakil Menteri Agama. Di mana peranan sumpah/janji
dan doa itu mereka tempatkan? Ingatkah mereka pada sumpah dan doa dalam
pelantikan itu? Apa manfaat sumpah dan doa dengan rumusan kata-kata dan kalimat
yang indah, berwibawa dan sakral?
Agama Hanya Sekedar Formalitas
Dalam kericuhan atau keonaran
yang dilakukan oleh banyak wakil rakyat itu, tampak bahwa sumpah dan doa itu
tidak diingat atau tidak dihiraukan. Kesadaran bahwa mereka baru saja dilantik,
disumpah dan didoakan tidak tampak dalam perilaku para wakil rakyat itu. Sumpah
dan doa hanya dipergunakan sebagai formalitas belaka. Bahwa orang-orang yang
dilantik sebagai anggota DPR itu beragama. Itu ternyata tidak menjadi jaminan
bahwa mereka akan hidup agamis sesuai
dengan ajaran agamanya itu.
Apabila demikian dapat dikatakan
bahwa sumpah dan doa tidak berpengaruh dalam membentuk karakter, kepribadian
dan sikap hidup serta sebagai pengingat untuk mereka menghindari perbuatan
tidak baik. Dengan kata lain, sumpah dan doa yang identik dengan atau bagian
dari agama tidak bermanfaat. Jika menyadari bermanfaat, tentu para wakil rakyat
itu akan sadar dan bersedia serta mengutamakan sopan santun dan etika atau
perilaku yang baik. Mereka akan mengutamakan musyawarah, keadilan, persatuan,
perdamaian dan kebaikan untuk semua.
Agama Diabaikan
Kegaduhan dan kericuhan itu
terjadi karena pihak-pihak yang bertikai sebagai kelompok mayoritas-minoritas
mengutamakan kepentingan politik, yaitu kemenangan dan kekuasaan kelompok.
Dengan tujuan itu, lalu cara-cara yang tidak santun, tidak adil dan tidak
bijaksana dipergunakan. Kericuhan sidang paripurna DPR itu, apa pun hasilnya
dan siapa pun pemenangnya, tetap berakibat buruk bagi citra anggota DPR, bagi
lembaga DPR, bagi demokrasi dan iklim perpolitikan, dan bagi bangsa dan negara.
Bahwa demokrasi kita masih tidak atau kurang beretika, beretiket dan
berestetika. Jadi dalam pertarungan yang ricuh itu, semua pihak mengalami
kekalahan moral-etik.
Tidak hanya itu, citra buruk juga
berimbas pada agama yang lalu dinilai tidak berpengaruh atau tidak bermanfaat.
Buktinya, sangat terang dan jelas sekali mereka baru saja disumpah dan didoakan
tetapi tidak berperilaku sesuai dengan sumpah dan doa itu. Perilaku buruk
kalangan di DPR itu sebenarnya juga merupakan pelecehan terhadap sumpah dan doa
atau agama itu sendiri. Perilaku buruk itu telah menodai agama dan seharusnya
mereka dijerat dengan undang-undang atau hukum tentang penodaan agama.
Perilaku buruk yang berakibat
gejolak sosial dan politik bahkan ekonomi seperti ‘tragedi’ sidang paripurna
DPR itu serupa dengan yang dilakukan oleh sebuah organisasi masa Islam yang
menolak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Gubernur DKI dengan melakukan
tindakan kekerasan melawan aparat negara atau polisi. Dengan nama pembela agama
dan dengan menggunakan atribut dan simbol-simbol agama tetapi menyerang kantor
DPRD DKI dengan lemparan batu, merusak kendaraan dan fasilitas umum dan
menggunakan senjata tajam. Tindakan ormas itu tentu merusak citra dan
melecehkan agama yang hendak dibelanya. Ini adalah penodaan agama.
Memfungsikan Agama
Setiap orang beragama, agama apa
pun itu, tentu menghendaki agar agama betul-betul berperan atau bermanfaat.
Dengan itu, kehidupan manusia di mana pun dan dalam hal apa pun, seperti
ekonomi, politik, sosial-budaya dan agama itu sendiri, akan menjadi baik.
Perilaku yang berakibat buruk dalam kehidupan tentu bukan perilaku baik tetapi
buruk dan jahat. Dan banyak orang beragama tidak menjadi baik tetapi menjadi
jahat karena digoda dan dikuasai oleh berhala-berhala duniawi seperti kekuasaan
dan uang.
Agar dapat membuat
pribadi-pribadi beragama menjadi baik, agama harus berfungsi atau berpengaruh.
Cara memfungsikan agama yang efektif adalah dengan menjadikan agama atau
unsur-unsurnya, seperti sumpah, ibadah, doa atau sembahyang, dan bacaan Kitab
Suci sebagai bagian hidup yang selalu diingat; atau itu menjadi peringatan
dalam setiap tindakan. Agama jadi tidak hanya berfungsi sebagai alat
identifikasi dan legitimasi keagamaan dan kesalehan. Atau, dalam kasus
kericuhan di DPR, peran agama tidak hanya sampai di sumpah dan doa dan dianggap
hanya formalitas.
Unsur-unsur dalam agama seperti
sumpah dan doa harus dapat terus-menerus mengingatkan dan menyadarkan orang
tentang apa yang baik dan yang tidak baik ketika ia mengambil keputusan dan
melakukan tindakan. Agama harus menjadi seperti cahaya yang selalu dilihat
ketika seorang membukakan matanya; atau seperti suara yang selalu mengiang di
telinga. Atau, suara yang keluar dari mulut yang menyebut ‘Ya Tuhan ya Allah.
Ya Allah ya Tuhan.’ Kesadaran pada agama adalah kesadaran pada Tuhan. Kesadaran
pada Tuhan adalah kesadaran pada kebaikan.
Jadi siapa pun, apalagi sebagai
wakil rakyat, tidak cukup hanya beragama tetapi juga sekaligus harus agamis
dalam kehidupannya. Tidak hanya sekedar memiliki agama tertentu seperti yang
tertera di KTP-nya atau saat mengucapkan sumpah dan janji namun juga harus
menganut serta menghayati agama tersebut dalam setiap perilaku kehidupannya,
termasuk saat menjalankan pilihan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 16 Oktober 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: www.kaskus.co.id
0 comments:
Posting Komentar