Bangsa Indonesia kini memiliki Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden baru. Seluruh rakyat pantas menyampaikan selamat atas pelantikannya sebagai Presiden ketujuh RI. Tentu saja, di balik ungkapan selamat itu, diiringi pula berbagai harapan yang disematkan di pundaknya.
Harapan yang terkesan klise
tetapi mendasar adalah segera terciptanya perubahan dalam tata kehidupan
masyarakat ke taraf hidup yang lebih
baik. Mengapa perubahan? Wajar, karena keinginan setiap orang ketika hendak
memilih pemimpin baru adalah terjadinya perubahan yang dapat membawa perbaikan
nasibnya. Kecuali itu, apabila seorang dicatat dalam buku sejarah bangsanya
sebagai pemimpin yang berhasil dan dihormati di negaranya, bahkan dunia, diukur
dari kesanggupannya dalam membawa perubahan yang signifikan bagi perbaikan
nasib bangsanya.
Beberapa pemimpin dunia yang
dicatat berhasil memberikan pembaruan adalah Franclin Delano Rosevelt di
Amerika Serikat, Nasser di Mesir, Attaturk di Turki, Gandhi di India, Gorbachev
di Uni Soviet, dan Soekarno di Indonesia. Soeharto sebenarnya juga dapat
dideretkan di sini. Namun, di akhir masa jabatannya, dia mendapat catatan yang
kurang bagus sebagai pemimpin rezim yang korup dan otoriter.
Indonesia sampai saat ini masih
mendambakan lahirnya pemimpin perubahan itu. Pemimpin yang sanggup membawa
bangsa ini menuju kemajuan yang signifikan. Rakyat kecil keluar dari balutan kemiskinan,
penganggur disediakan lapangan kerja, korupsi benar-benar diberantas, moral
bangsa yang bobrok dicerahkan, dan kekerdilan bangsa ini dibuat terhormat
supaya disegani bangsa-bangsa lain di dunia.
Mengapa perlu pemimpin perubahan?
Perubahan dan kemajuan seharusnya bukan hanya didengungkan para pemimpin.
Selama banyak rakyat miskin dan penganggur masih bergumul dengan kemiskinannya,
korupsi merajalela, moral bangsa bobrok, maka Indonesia sejatinya belum
mengalami perubahan yang diharapkan.
Atas dasar itu, adanya pemimpin
perubahan benar-benar diharapkan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tidak lagi memimpin. Pemimpin perubahan tidak sekedar baik, berbudi, jujur,
berintegritas, bermoral, tegas, berwibawa, berkarakter, tetapi juga harus
benar-benar meningkatkan ekonomi rakyat miskin, menciptakan lapangan kerja,
memberantas korupsi, mencerahkan moral bangsa, dan membawa bangsa ini disegani
bangsa lain di dunia.
Apabila kita tilik dari
sejarahnya, republik ini telah melahirkan sejumlah pemimpin yang memiliki
keunggulan khusus. Soekarno dikagumi karena jasanya sebagai sang proklamator.
Soekarno membawa bangsa ini keluar dari belenggu penjajahan dan mengantarnya
menuju pintu gerbang kemerdekaan.
Presiden Soeharto terkenal dengan
bapak pembangunan yang membawa perbaikan pada kehidupan ekonomi rakyat. Habibie
dikagumi karena kepiawaiannya di bidang teknologi. Gus Dur dengan pluralisme
dan egalitarianismenya, sedangkan Megawati sebagai ratu demokrasi karena
mengakhiri masa jabatan tanpa pertumpahan darah.
SBY gencar memberantas korupsi,
meski belum memuaskan. Namun, perilaku korup para elite pada masa pemerintahan
mereka tetap merajalela sehingga citra Indonesia adalah negeri terkorup di
dunia.
Untuk Perubahan Dibutuhkan Keberanian
Sekarang ini, untuk perubahan
itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat dan berani. Pemimpin yang terus
bermimpi mengubah negeri, tetapi berani membayar harga tinggi atas
risiko-risiko setiap keputusannya. Untuk kasus korupsi, misalnya saja, pemimpin
tidak cukup dengan memperkuat lembaga penegak hukum, seperti KPK, MK,
Pengadilan Tipikor, KY, ataupun Satgas Pemberantasan Korupsi. Sebaliknya,
pemimpin itu haruslah kokoh melaksanakan yang dikatakan Ferdinand I
(1503-1564), yaitu fiat justitia pereat
mundus atau hendaklah hukum ditegakkan, meskipun langit runtuh dan dunia harus binasa.
Untuk menyejahterakan rakyat
miskin dan mengatasi pengangguran, pemimpin perlu menaikkan pajak pendapatan
orang-orang kaya, sambil mengontrol ketat pembayaran pajak. Bukan dengan
kebijakan belas kasih yang terus merendahkan martabat mereka, seperti memberi
bantuan langsung tunai (BLT) di balik kebijakan menaikkan harga BBM.
Untuk perubahan, Jokowi sebagai
pemimpin baru harus menunjukkan keberanian itu. Jokowi harus berani mengambil
keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya, seperti Evo Morales di
Bolivia, Ahmadinejad di Iran, dan Hugo Chavez di Venezuela. Jokowi akan diuji
oleh waktu, apakah dia memiliki keberanian dan kesanggupan untuk hal itu.
Kita memang tidak bisa menuntut
lahirnya pemimpin besar paripurna dalam diri Jokowi. Namun, setidaknya Jokowi
dapat tampil sebagai pemimpin bangsa, seperti yang didambakan masyarakat polis
Yunani kuno, yaitu pemimpin yang memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos,
adalah pemimpin yang memiliki kekuatan, keyakinan, dan keberanian dengan
kompetensi dan karakter kepemimpinan. Pathos, adalah pemimpin yang memiliki
kemampuan empati, emosi, dan hati. Logos, adalah pemimpin yang memiliki
kemampuan yang memberi kesadaran rasio serta cekatan dan efektif menciptakan
perubahan akan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Selamat bekerja presiden Jokowi.
Mari kita wujudkan Indonesia hebat demi kesejahteraan rakyat.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Selasa, 21 Oktober 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: lynk.ly
0 comments:
Posting Komentar