Begitu banyaknya para petinggi
atau kader partai politik negeri ini yang terlibat kasus korupsi dan dipenjara,
semakin membuktikankan kegagalan partai politik (parpol) dalam membina kader
dan melahirkan politisi yang bersih. Selama kurun waktu lebih dari 15 tahun
orde reformasi, parpol justru menjadi tempat persemaian bibit-bibit korupsi.
Sebab cukup banyak kader parpol, baik yang duduk di lembaga legislatif maupun
menjadi pejabat publik di pusat dan daerah, yang terjerumus pada tindakan
koruptif.
Reformasi di bidang politik dan
demokrasi, sampai saat ini belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Bahkan sekarang semakin marak terjadi politik transaksional. Kepercayaan yang
diberikan rakyat, oleh parpol tidak digunakan untuk memperjuangkan substansi
dari demokrasi, tetapi dimanipulasi untuk tujuan pragmatisnya, dengan imbalan
uang dan jabatan. Tentu saja hal itu hanya dinikmati segelintir elit parpol.
Berhadapan dengan kenyataan
tersebut, tidak ada pilihan lain, parpol harus kembali ke khitah-nya, kembali ke landasan perjuangan parpol dan harus ada
pembenahan parpol secara revolutif. Sebab, kehadiran parpol adalah sebuah
keniscayaan dalam kehidupan politik dan demokrasi.
Kita semua menyadari, berlangsungnya
suatu negara tidak bisa lepas dari sebuah sistem politik dan demokrasi, yang di
dalamnya melibatkan parpol sebagai pelaku utama. Dalam hal ini, parpol
memainkan berbagai fungsi, seperti komunikasi politik, perekrutan politik,
serta mengartikulasikan mandat atau kepentingan rakyat. Kecuali itu, parpol
juga memegang peran penting dalam proses pembuatan kebijakan dan aturan
perundangan. Semua fungsi tersebut membentuk mata rantai yang saling
berhubungan.
Semua politisi yang direkrut parpol
dan duduk di parlemen serta jabatan publik, mengemban mandat untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan
dan aturan perundangan. Bersamaan dengan itu, parpol juga mengawasi jalannya
pemerintahan serta pelaksanaan dari setiap kebijakan dan aturan perundangan,
apakah mengarah pada upaya-upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Bersamaan dengan itu, parpol juga
diberi mandat konstitusional untuk merekrut calon presiden dan calon wakil
presiden. Melalui wakil-wakilnya di parlemen, parpol juga turut menyeleksi
calon pejabat publik sebagai pimpinan lembaga-lembaga negara. Hal ini
mencerminkan pentingnya parpol dalam demokrasi di Indonesia.
Sayangnya, melalui kasus sejumlah
politisi yang kini mendekam di penjara maupun yang baru berstatus tersangka dan
terdakwa, masyarakat dapat melihat dengan kasat mata, bahwa parpol menampakkan
tanda-tanda pergeseran fungsinya. Awal dari persoalan tersebut adalah kegagalan
parpol dalam merekrut dan membina kader.
Parpol seharusnya menjadi kawah
candradimuka yang mengasah kemampuan para kader menjadi politisi yang jujur,
berintegritas, dan mengabdi pada kepentingan rakyat. Parpol seharusnya menjadi
penghasil negarawan-negarawan yang kelak menduduki jabatan-jabatan publik dan
calon pemimpin nasional. Tetapi, justru sebaliknya, parpol dijadikan kendaraan
politik bagi mereka yang mengejar kekuasaan dan ingin memperkaya diri.
Hal itu tak lepas dari pola
perekrutan kader yang diterapkan parpol selama ini, yang ternyata masih memberi
bobot besar pada popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas. Ketiga
variabel tersebut, terbukti berpotensi menyesatkan, dan diyakini tidak akan
mampu melahirkan sosok negarawan, karena dengan mudah dibeli dengan kekuatan
finansial.
Popularitas, elektabilitas, dan
akseptabilitas seorang negarawan harus dibangun melalui proses panjang yang
penuh dengan karya dan dedikasi nyata bagi rakyat banyak. Dalam perjalanannya,
dia harus berani mempertaruhkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, demi
memperjuangkan visi besarnya untuk membenahi bangsa ini.
Sosok negarawan juga tidak harus
sibuk mengurus citra positif di mata publik. Tatkala seorang pemimpin berhitung
dengan citra, saat itulah dia mengingkari keyakinannya, dan menjadi tidak
percaya diri terhadap gagasan besarnya. Itulah gambaran nyata dari kondisi
parpol di negeri ini.
Beranjak dari kenyataan tersebut,
sudah saatnya parpol dibenahi dan dikembalikan ke khitah-nya. Sebagai pilar
demokrasi, eksistensi parpol tidak bisa diabaikan, justru harus diperkuat.
Buruknya kinerja parpol, tidak boleh disikapi dengan sikap skeptis yang
berlebihan. Semakin banyaknya politisi yang tersangkut kasus korupsi, jangan
sampai melahirkan pesimisme yang mengarah pada keputusasaan.
Kunci dari pembenahan parpol
adalah kembali ke basis ideologi sebagai alat perjuangan rakyat. Hal itu harus
ditopang dengan memperbaiki sistem perekrutan dan kaderisasi. Sebab, wajah
parpol sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya.
Kita meminta nurani para
pengelola parpol untuk secara serius dan sistematis, mengupayakan pembenahan
parpol. Parpol harus menciptakan kompetisi yang sehat dan konstruktif di
internal, sehingga mampu merekrut dan menyeleksi calon pemimpin nasional yang
berkualitas, berkapasitas, dan berintegritas.
Masyarakat masih percaya, dari
sekian banyak politisi busuk di negeri ini, masih lebih banyak politisi yang
memiliki idealisme tinggi, memiliki nalar yang lurus, dan memiliki mental kuat
untuk mengabdikan diri demi terwujudnya politik dan demokrasi yang sehat dan
bermartabat, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Semoga.
Salam demokrasi penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 25 September 2014
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar