Usai pelantikan Kabinet Kerja periode 2014-2019 yang berlangsung sederhana namun tetap khidmat, Senin, 27 Oktober, kini rakyat menanti kebijakan-kebijakan prioritas yang akan diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam waktu dekat. Satu di antara kebijakan yang ditunggu-tunggu –dan juga sudah ramai diperbincangkan dalam beberapa bulan terakhir– adalah penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Pemerintahan Jokowi-JK sepertinya
tidak mampu menghindar dari kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi. Selain
karena sudah pernah ditegaskan Jokowi sebelum dilantik menjadi presiden,
penaikan harga BBM bersubsidi menjadi keniscayaan di tengah kondisi anggaran
negara yang terbatas akibat terus membengkaknya subsidi energi, termasuk
subsidi BBM, yang mendominasi total subsidi dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN).
Kebijakan penaikan harga BBM
bersubsidi diperlukan untuk menyehatkan APBN dalam arti untuk mengurangi dana
subsidi dan anggarannya dialihkan untuk pembangunan infrastuktur, kesehatan,
dan pendidikan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat banyak. Terbatasnya
belanja modal pemerintah –yang jumlahnya lebih kecil dari total subsidi dalam
APBN– menyebabkan pemerintahan Jokowi-JK akan sulit merealisasikan sejumlah
program untuk menggerakkan perekonomian dan menyejahterakan rakyat.
Kebijakan ini juga dibutuhkan
karena selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran. Sekitar 70 persen subsidi
BBM dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat yang notabene adalah masyarakat
mampu. Bahkan, subsidi BBM juga dinikmati oleh orang asing yang membeli BBM
bersubsidi dari para penyelundup dan menjualnya di tengah laut. Kerugian negara
sudah puluhan triliun rupiah dari praktik penyelundupan ini.
Pemerintahan Jokowi-JK dihadapkan
pada persoalan membengkaknya subsidi energi. Dalam postur APBN Perubahan 2014,
subsidi energi tercatat Rp 350,3 triliun dengan perincian subsidi BBM (sudah
termasuk subsidi LPG dan BBN) sebesar Rp 246,5 triliun dan subsidi listrik Rp
103,8 triliun. Tahun depan, APBN 2015 mencantumkan anggaran pengeluaran untuk
subsidi energi sebesar Rp 344,7 triliun, masing-masing subsidi BBM naik menjadi
Rp 276,01 triliun dan subsidi listrik diturunkan menjadi Rp 68,68 triliun
seiring kenaikan harga tarif tenaga listrik (TTL).
Pemerintahan baru ini juga harus
menanggung beban defisit anggaran. Jika pada APBN Perubahan 2014 defisit
anggaran tercatat Rp 241,5 triliun atau 2,40 persen dari produk domestik bruto
(PDB), pada APBN 2015 defisit anggaran mencapai Rp 245,9 triliun atau 2,21
persen dari PDB. Defisit anggaran tersebut harus ditutup dengan cara
menerbitkan surat utang negara (SUN) yang bunganya cukup besar.
Tahun ini secara khusus,
pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 136 triliun dalam
APBN. Sedangkan hingga Agustus 2014, total outstanding utang pemerintah
mencapai Rp 2.531,81 triliun. Angka tersebut meningkat Rp 1.232,31 triliun atau
94,82 persen dari posisi utang pada Desember 2004 sebesar Rp 1.299,5 triliun.
Di tengah defisit anggaran
tersebut, pos penerimaan negara dari sektor pajak, minyak dan gas bumi (migas),
dan mineral batu bara (minerba) masih belum optimal. Di lain pihak, hingga
pertengahan Oktober 2014, produksi (lifting) minyak sebesar 798.000 barel per
hari (bph) atau di bawah target APBN Perubahan 2014 sebesar 818.000 bph. Dengan
bagian minyak milik negara sebesar 500.000 bph, kita harus mengimpor sekitar 1
juta bph untuk memenuhi konsumsi yang mencapai 1,5 juta bph.
Dengan penaikan harga BBM
bersubsidi diharapkan berdampak menurunkan konsumsi BBM bersubsidi.
Selanjutnya, impor minyak dan BBM yang selama ini menjadi penyebab defisit
neraca perdagangan Indonesia juga akan berkurang. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, per Agustus 2014 neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat
defisit US$ 318,1 juta. Defisit tersebut disebabkan besarnya impor komponen
minyak dan gas bumi (migas), terutama impor hasil minyak senilai US$ 2,04
miliar yang mayoritas adalah BBM dan impor minyak mentah US$ 314,5 juta. Nilai
defisit migas mencapai US$ 801,1 juta, sementara nonmigas mencatat surplus.
Akibat konsumsi yang tinggi,
pemerintahan Jokowi-JK juga akan menghadapi makin menipisnya kuota BBM
bersubsidi tahun ini. Dari total kuota 46 juta kiloliter (kl), hingga 30
September 2014, realisasi penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 34,9 juta
kiloliter atau lebih tinggi 1,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun
lalu. Dari jumlah itu, penyaluran BBM bersubsidi jenis premium sudah mencapai
22,24 juta kl atau lebih tinggi 1,9 persen dibandingkan periode sama 2013.
Sedangkan realisasi penyaluran BBM bersubsidi jenis solar sudah mencapai 11,94
juta kl atau lebih tinggi 3,9 persen dari periode sama tahun lalu.
Dengan laju konsumsi sebesar itu
dan jika tanpa dilakukan upaya untuk mengeremnya, menurut hitungan Pertamina,
konsumsi BBM bersubsidi tahun ini akan melampaui kuota sebanyak 1,61 juta kl.
Artinya, pemerintahan Jokowi-JK harus mengajukan permohonan tambahan subsidi
BBM ke parlemen untuk menutup kekurangannya. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah
kekuatan lobi partai-partai pendukung pemerintah mampu meruntuhkan blokade DPR
yang mayoritas suara dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan
dengan kubu pemerintah.
Apabila pemerintahan Jokowi
menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter pada November tahun
ini, akan dihasilkan penghematan APBN Perubahan 2014 sebesar Rp 21 triliun.
Dalam setahun, dengan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter, penaikan
harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter akan menghemat anggaran Rp 138
triliun. Setelah berhasil menaikkan harga BBM, pemerintahan Jokowi harus
membelanjakan penghematan anggaran tersebut untuk pos-pos lain. Jika tidak
dilakukan, maka akan menambah beban masyarakat tanpa memberikan manfaat
peningkatan produktivitas serta daya beli masyarakat.
Tetapi, kebijakan penaikan harga
BBM bersubsidi tidak bebas risiko. Sebesar apa pun besaran kenaikannya, pasti
akan memicu lonjakan harga-harga barang sehingga berdampak menggerus pendapatan
masyarakat. Penduduk miskin–yang saat ini mencapai 28,28 juta orang–yang paling
rentan terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Karena itu, kita berharap
pemerintahan Jokowi-JK segera menyiapkan program jaring pengaman sosial atau
social safety net agar jumlah penduduk miskin tidak bertambah. Program ini
sangat dibutuhkan agar tujuan kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi untuk
mengatasi persoalan subsidi tidak menciptakan masalah baru yang pada akhirnya
menambah beban Kabinet Kerja.
Nah, melihat situasi serta latar
belakang persoalan seperti terpaparkan di atas maka seharusnya rakyat tidak
menanggapi negatif saat penaikan harga BBM diterapkan. Sebaliknya justru
menerimanya sebagai suatu keniscayaan di tengah keterbatasan anggaran belanja
negara. Selanjutnya mari kita kawal dan amankan program-program pemerintah yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 30 Oktober 2014
Suko Waspodo
Ilustrasi: www.lensaindonesia.com
0 comments:
Posting Komentar