Saat ini semakin meriah bendera partai-partai politik serta
berbagai gaya potret diri para caleg dipajang dimana-mana karena kampanye
memang sudah boleh berlangsung. Meskipun ada juga beberapa partai yang sudah
mencuri start kampanye sebelumnya. Alasannya
tentu adalah untuk diketahui rakyat bahwa partai-partai tertentu sudah lolos
verifikasi KPU untuk ikut berlaga di Pemilu 2019.
Para pengurus partai terus mengatur strategi bagaimana bisa
melibatkan public figure dalam
perolehan suara di Pemilu nanti agar mereka bisa menempatkan anggota partainya
di parlemen, baik pusat maupun daerah.
Sudah diketahui semua bahwa senyatanya para wakil rakyat selama ini yang
dipilih secara luber tetapi melalui partai tertentu hanyalah menjadi mesin uang
partai dan hampir semuanya tidak memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Maka
tidak aneh kalau mereka berusaha menempatkan sebanyak mungkin anggota mereka di
parlemen, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan untuk
menggemukkan keuangan partai dan pada ujungnya adalah para elit partai sendiri.
Gaji dan tunjangan wakil rakyat yang tinggi serta status
menjadi incaran mereka yang sudah berduit untuk bisa semakin kaya. Tentu ada
juga yang ingin menjadi wakil rakyat karena benar-benar ingin memperjuangkan
rakyat meskipun mereka sendiri sebenarnya sudah berkecukupan materi. Namun demikian kelompok yang ini bisa dihitung jari
jumlahnya di parlemen. Kecenderungan ingin memperoleh status dan kekayaan itu
lah yang dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk memperalat para pribadi
serakah ini.
Kualitas dan Popularitas Caleg
Sungguh ironis, manakala negeri ini perlu semakin maju dan
berkembang tetapi kualitas wakil rakyatnya hanya orang-orang ambisius dan
serakah. Situasi ini tampaknya sulit berubah. Kita mustahil berharap ada
perubahan kepentingan pada para politisi tua yang sudah teracuni pola pikir dan
kelakuannya. Satu-satunya jalan adalah mendorong generasi muda untuk terlibat
secara serius namun benar dalam politik untuk kepentingan rakyat.
Terlibat secara serius artinya bahwa keterlibatan dalam
politik tidak cukup hanya dilakukan di jalanan dalam bentuk demonstrasi
melainkan harus masuk dalam sistem. Artinya menjadi wakil rakyat sebagai anggota
DPRD atau bahkan DPR.
Namun perlu disadari bahwa untuk terlibat di dalam politik
yang baik, apalagi sebagai wakil rakyat yang benar, tidak bisa berlangsung
secara instant. Idealnya, minimal
sudah 5 tahun menjadi anggota dan kader partai. Bahkan lebih baik lagi kalau
yang bersangkutan sudah pernah aktif di organisasi sekolah atau kampus serta
organisasi kepemudaan di masyarakat. Dengan demikian jiwa kepemimpinan dan
kemampuan berorganisasi sudah terbentuk.
Tak kalah pentingnya lagi adalah keikutsertaan di dalam
latihan kepemimpinan semasa sekolah dan kuliah serta kaderisasi kepemimpinan
yang diselenggarakan oleh partai dimana yang bersangkutan terlibat. Keikutsertaan
sebagai caleg sebaiknya setelah seseorang menyelesaikan kuliahnya, minimal
program diploma. Hal ini untuk menunjang perannya nanti saat menjadi wakil
rakyat.
Di lain pihak untuk bisa dipilih oleh rakyat tentu saja
seseorang harus memiliki popularitas. Untuk dikenal oleh rakyat tidak cukup
dengan hanya pernah menjadi bintang sinetron atau film. Negara ini bukan
panggung sandiwara, maka sesungguhnya keliru apabila rakyat memberikan suaranya
untuk para pesohor hiburan ini. Berpolitik bukanlah sekadar bermain peran
melainkan perjuangan kepeningan rakyat dan negara.
Lalu bagaimana agar popularitas bisa diraih tanpa harus jadi
selebritas? Terlibat nyata dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cara pertama
yang cukup mudah untuk merintis popularitas. Menjadi relawan dalam segala
bentuk kegiatan sosial politik juga tak kalah pentingnya.
Aktif dalam penulisan di media dan selanjutnya terlibat
sebagai pembicara dalam seminar-seminar atau diskusi yang menyangkut
masalah-masalah sosial politik juga akan
menaikkan pamor seseorang di dalam masyarakat. Apabila rekam jejak positif
sudah terbentuk maka jalan menuju peran sebagai wakil rakyat akan relatif lebih
mudah.
Swadaya Rakyat
Partai-partai politik yang selama ini menguasai Senayan pada
umumnya memasang tarif pendaftaran sebagai caleg yang gila-gilaan. Mulai dari
ratusan juta hingga milyaran rupiah. Pensyaratan menunjukkan kekayaan yang
dimiliki oleh para caleg, benar-benar membelalakkan mata. Hal yang sangat mustahil bagi rakyat
kecil (baca miskin materi) untuk bisa menjadi wakil rakyat meskipun mereka
memiliki idealisme serta visi-misi yang memperjuangkan kepentingan rakyat
kecil.
Memang sudah ada beberapa partai yang menerapkan prinsip
berpolitik tanpa mahar, tetapi biasanya hanya terbatas pada biaya pencalonan.
Padahal seperti kita ketahui untuk bisa terlibat dalam pemilu dan berusaha
untuk terpilih butuh kampanye, butuh pengadaan saksi di TPS dan lain-lain.
Semua itu butuh biaya yang tidak sedikit.
Para intelektual muda,
fresh graduate, yang miskin materi kadang merasa hanya bisa bermimpi untuk
bisa menjadi wakil rakyat. Hal ini lah yang kemudian memunculkan kelompok
generasi muda yang frustrasi dan berujung pada keengganan untuk terlibat di
dalam sistem serta kemudian memilih menjadi golput. Kalau situasi seperti ini terus terjadi tentu
membahayakan sistem politik negara ini. Generasi tua yang berada di dalam
sistem terus memegang kendali negeri ini dan kita semua tahu, kekuasaan yang
berlangsung lama cenderung menjadi korup.
Nah, situasi inilah yang memunculkan gagasan bagaimana kalau
pencalegan dilakukan secara swadaya rakyat artinya warga masyarakat dari
kelompok dan daerah tertentu mengadakan patungan untuk menempatkan wakil mereka
di parlemen. Seseorang atau beberapa orang yang oleh rakyat dianggap
berpotensi memperjuangkan rakyat kecil
dibiayai secara patungan dan tentu dibuat kesepakatan tertulis agar dia pada
saatnya benar-benar menjalankan tugasnya sebagai wakil yang membiayainya
(rakyat kecil). Kesepakatan tertulis
juga harus dibuat dengan partai yang dipakai untuk kendaraan politiknya.
Mekanisme ini bisa diatur sesuai dengan kesepakatan daerah masing-masing serta
kemampuan rakyatnya.
Para caleg-caleg muda yang masih penuh idealisme dan relatif
belum terkontaminasi dengan sistem yang korup bisa ditempatkan sebagai wakil
rakyat. Mereka dibiayai sehingga pada gilirannya dia bisa memperjuangkan
kepentingan rakyat yang membiayainya. Selama ini pasti juga sudah terjadi
kesepakatan seperti itu oleh para caleg, namun bukan dengan rakyat pemilih
namun dengan para pebisnis, tetapi tentu ujungnya hanya memperjuangkan
kepentingan bisnis dan cenderung tidak memiliki etika politik yang baik.
Gagasan ini sebenarnya paling tepat kalau undang-undang
Pemilu mengijinkan penempatan wakil rakyat dari kelompok independen, tetapi
karena belum ada kemungkinan itu maka tidak ada jeleknya kita gunakan partai
politik sebagai kendaraannya. Hanya dikemudian hari harus diperjuangkan
kemungkinan adanya wakil rakyat dari kelompok independen kalau partai-partai
politik masih hanya mementingkan kelompoknya sendiri seperti saat ini.
Dengan cara ini pula memungkinkan para caleg untuk tidak
perlu mengkampanyekan dirinya sendiri melainkan justru dikampanyekan oleh
rakyat pendukungnya. Rakyat pasti akan lebih antusias melaksanakan Pemilu.
Mereka akan benar-benar berjuang keras untuk menempatkan wakilnya di parlemen
dan tidak sekadar berkampanye untuk mendapatkan uang serta atribut partai dari
para caleg maupun partai. Keperluan kampanye
para caleg justru dipersiapkan oleh para pendukungnya. Pada gilirannya
nanti para caleg yang duduk di parlemen harus benar-benar taat pada kepentingan
rakyat yang mendukungnya sekaligus membiayainya. Tidak boleh seenaknya
sendiri. Sungguh pesta demokrasi yang
indah.
Paparan di atas mungkin hanyalah gagasan gendheng dari orang yang tidak mudheng politik praktis tetapi masih
memiliki keprihatinan terhadap carut marut negeri ini dan berharap negeri ini
menjadi semakin beradab. Salam demokrasi
ala saya . Merdeka!
***
Solo, Sabtu, 24 November 2018
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
ilustr: dakwatuna
0 comments:
Posting Komentar