Dan hari itu tiba, dia melakukan perjalanan dua belas jam ke kotaku dan bertemu denganku di sebuah kafe seperti yang kami rencanakan, aku merasa lemah dan aku tahu kelemahanku adalah karena sepanjang malam tanpa tidur dan aku habiskan waktu untuk menangis, dia ingin memeluk aku seperti lebih dari setahun lalu kami bertemu sebelumnya, tetapi kemudian seakan dia ingat alasan kedatangannya dan mencegah dirinya sendiri. Kami ingin bertemu untuk terakhir kalinya sebelum berpisah. Aku membawa arloji mahal yang dihadiahkan kepadaku, hanya untuk mengembalikannya.
Kami memesan kopi panas dan saling menatap selama beberapa menit. Dia memperhatikan air di mataku yang sedang aku kendalikan dengan keras untuk mencegahnya tumpah. Setiap detik dia seakan menghitung bertambahnya air di mataku dan akhirnya ketika aku tidak bisa mengendalikan lebih lama, aku memutar kepalaku ke kiri dan mengambil napas lega untuk melepaskan semua air mataku seketika itu juga.
Dia bertanya, “Mengapa kamu menangis sekarang? Bukankah itu keputusanmu untuk dilanggar? Kamu menelpon aku setiap kali hanya untuk mengakhiri ini segera, lalu mengapa kamu menangis? ”
Aku diam saja, dan dia mengerti jawabannya. Kemudian kopi pesanan kami tiba dan aku mengambil arloji dan mengatakan kepadanya, “Aku belum pernah mengenakan ini, karena aku selalu ingin memakainya setelah pernikahan kita. Mohon, ambil dan berikan hadiah itu kepada wanita yang akan menjadi istrimu di kemudian hari. ”
Sekitar lima menit berikutnya kami membicarakan kembali semua kenangan. Saat-saat buruk dalam hubungan kami dan bagaimana kami berpisah adalah satu-satunya pilihan yang tersisa bagi kami.
Kemudian kami berdiri untuk meninggalkan kafe, aku menyuruhnya menunggu di meja karena aku ingin membasuh wajahku yang tertekan dan mata merah yang membengkak. Dia tidak tahan melihat aku dalam situasi ini, dia tidak pernah ingin membuat kekasihnya menangis dan dia tahu aku tidak pernah ingin mengakhiri hubungan dengan hatinya tetapi terpaksa meskipun aku tidak siap untuk menikah tetapi aku dipaksa menikah karena orang tuaku sudah mulai mencari pria yang sempurna menurut mereka.
Aku tahu pasti bahwa dia merasa kecewa dan ketika aku kembali dari toilet, dia memegang tanganku, berjalan ke tempat parkir dan meminta kunci sepeda motorku.
Aku memberikannya. "Kamu akan mengajak aku ke mana?"
"Sudahlah, ikut saja. Nanti juga kamu akan tahu kita ke mana," jawabnya lirih.
Kemudian dia memboncengkan aku dengan sepeda motorku. Sedikit kencang dia mengendarainya dan akhirnya kami sampai ke taman kota. Di taman ini kami dulu biasa menghabiskan kesempatan kami untuk bertemu dengan mengobrol dan bercanda di kerindangan suasananya.
Dia membawa aku duduk di kursi taman yang tersedia. Suasana taman pada siang itu memang agak sepi. Kemudian dia memegang lenganku dengan kuat, membuatku kesakitan dan menarik aku ke arah dirinya.
"Mengapa kamu terus menangis, aku tidak bisa melihatmu seperti ini!"
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan air mataku lagi. "Kamu segera kembali saja ke kotamu dan tinggalkan aku sendiri. Aku berjanji akan baik-baik saja dan tolong jangan menghubungi aku lagi."
Dia pun membalikkan badannya untuk pergi namun aku tidak mampu menahan apa yang menyesak di hatiku dan aku meraih tangannya serta sedikit menariknya ke arahku dan memeluknya seerat-eratnya.
Aku menangis tersedu-sedu, "Aku tidak mampu menerima kenyataan ini. Tolong, jangan biarkan tangan orang lain menyentuh tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan tidur dengan orang lain. Aku tidak mungkin merasakan sentuhan seperti yang selama ini aku terima darimu. Tolong, lakukan sesuatu untuk mencegah pernikahanku dengan orang lain. Aku siap melajang sepanjang hidupku. Aku tidak ingin membagi mimpiku dengan orang lain. Aku hanya ingin bersamamu. Tolong, bicaralah dengan orang tuaku."
Seolah dia ingin membekukan peristiwa ini dan membungkusnya selamanya, dia mencium leherku dan membisikkan hal yang sama sekali tidak ingin aku dengar, "Aku tidak bisa menikahimu sekarang karena aku bukan pria yang sempurna, orang tuamu tidak akan pernah menerima aku, aku butuh lebih banyak waktu untuk membuktikan kepada orang tuamu bahwa aku adalah orang yang tepat untukmu."
Aku mendorongnya menjauh dan memukulkan tanganku ke pohon dengan marah. Aku menyuruhnya pergi segera, dia meninggalkan taman itu dan aku duduk di sana menangis sendirian.
Setelah kira-kira dua jam, aku menerima pesan di smartphoneku, itu dari dia, aku membukanya dan yang tertulis, "Berapa lama kamu akan tinggal di taman itu, aku menunggumu di rumahmu, ayahmu ingin kamu menyetujui aku di depannya dan terimalah bahwa kamu akan senang dengan aku meskipun aku tidak berpenghasilan baik. Ayo segera pulang, sayang. Aku tidak sabar untuk masuk ke kamarmu bersamamu."
***
Solo, Sabtu, 29 Desember 2018.
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo
antologi puisi suko
kompasiana
pepnews
ilustr: Peter Wever
0 comments:
Posting Komentar