Indonesia memasuki masa transisi
pemerintahan baru. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo
dan Jusuf Kalla, sedang mempersiapkan segala hal terkait pemerintahannya nanti.
Akhir-akhir ini yang santer menjadi pembicaraan di media maupun masyarakat
adalah siapa saja yang akan duduk di kabinet membantu mereka. Dalam tulisan ini
kita tidak akan membahas tentang hal tersebut lagi melainkan ingin mencoba sekedar
mengingatkan mengenai beberapa tantangan utama yang akan dihadapi pemerintahan
Jokowi.
Inilah beberapa tantangan utama
tersebut:
Pertama, reformasi birokrasi
pemerintahan yang belum menimbulkan dampak positif terhadap pembangunan, karena
reformasi birokrasi yang berhasil akan berakibat pada meningkatnya angka
pertumbuhan ekonomi. Selain itu logikanya, reformasi birokrasi yang berjalan seharusnya menimbulkan
efisiensi, transparansi dan pencapaian tujuan secara jelas berdasarkan
tupoksinya. Kenyataan sampai saat ini, reformasi birokrasi belum mampu mengikis
praktek KKN dan like and dislike,
karena banyak posisi penting di birokrasi pemerintahan tidak dilakukan fit and proper test.
Kedua, segera merevisi ulang
RAPBN 2015 yang disiapkan oleh pemerintahan sebelumnya. Hal itu kita anggap
penting karena dinilai akan menyisakan 'bom waktu' bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Yang perlu direvisi salah satunya adalah anggaran kunjungan luar negeri para pejabat eksekutif
dan legislatif yang mencapai Rp 32 triliun jelas merupakan pemborosan. Output dan outcome bagi masyarakat tidak
ada, kecuali menambah 'pengalaman pesiar' bagi mereka yang ditugaskan saja.
Ketiga, kepemimpinan Jokowi
diharapkan melahirkan kebijakan yang mampu menekan pendapatan negara baik pajak
maupun bukan pajak dalam APBN dan APBD dengan tidak membebani rakyat miskin.
Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan konsolidasi pembebasan lahan pertanian milik
rakyat, konsolidasi tata ruang dan wilayah termasuk di dalamnya tata guna
lahan.
Keempat, kesenjangan kemakmuran
yang semakin melebar dari rasio 0,37 pada tahun 2009 menjadi 0,41 pada tahun
2013. Menurunkan kesenjangan kesempatan jauh lebih penting daripada menurunkan
kesenjangan pengeluaran. Kesenjangan kesempatan tersebut adalah kesenjangan
dalam mengakses pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Penciptaan pekerjaan
di sektor formal bagi angkatan kerja berusia muda sudah menjadi kebutuhan yang
mendesak. Indonesia yang tengah memasuki fase bonus demografi dan tenaga kerja
muda dan produktif seperti saat ini hanya akan bermanfaat bagi pertumbuhan
ekonomi apabila mereka bekerja di sektor formal yang memberikan kepastian dan
stabilitas sosial.
Kelima, belenggu impor pangan
yang ditandai dengan nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau 4 kali
lipat selama periode 2003-2013. Hal ini terjadi karena lahan usaha tani
menyusut sebanyak 5 juta hektar menjadi 26 juta hektar. Dalam periode
2003-2013, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani. Kondisi
ini diperparah dengan teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak
banyak berkembang.
Keenam, persaingan ekonomi global
yang semakin keras dan diakui atau tidak Indonesia masih mempunyai kerentanan
ekonomi serta isu-isu yang menjadi penghambat investasi, sehingga investasi
global masih terhambat oleh ekonomi biaya tinggi, akibat belum tuntasnya
reformasi birokrasi di sektor ini. Hal-hal lain yang menyesakkan untuk segera
diatasi juga adalah: buruknya infrastruktur, perizinan, isu perpajakan dan
perburuhan. Investasi yang masuk selama ini berhenti di portofolio sehingga
tidak berdampak ke sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.
Langkah Jokowi untuk memimpin
negara ini sampai tahun 2019 tidaklah ringan karena banyak tantangan berat siap
menghadangnya di depan mata. Oleh sebab itu kita wajib mendukung dan membantu
pemerintahan Jokowi-JK jika kita ingin bangsa dan negara ini menjadi semakin
mandiri dan hebat.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 23 Agustus 2014
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar