Fenomena menarik dan juga salah
satu elemen penting yang menopang kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) dalam pilpres lalu adalah kehadiran begitu banyak kelompok relawan.
Para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia inilah yang berada di barisan
terdepan mengajak masyarakat memilih Jokowi-JK, sekaligus menangkal berbagai
isu negatif dan kampanye hitam. Inisiatif dan kerja keras mereka yang tanpa
pamrih tersebut terbukti efektif. Bahkan upaya relawan yang terstruktur,
sistematis, dan masif, harus diakui mampu mengungguli kerja mesin partai
pengusung Jokowi-JK, dan mengalahkan mesin koalisi parpol pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi pun mengakui dan mengagumi dahsyatnya kekuatan
relawan untuk menggalang suara pemilih.
Pasca pilpres, Jokowi meminta
para relawan untuk tidak membubarkan diri, tetapi bertransformasi menjadi
kekuatan pengawal pemerintahan. Pengakuan atas eksistensi para relawan
tersebut, sesungguhnya adalah manifestasi dari tekad mewujudkan koalisi rakyat,
yang sejak awal pilpres telah digaungkannya. Masyarakat harus memahami, bahwa
esensi demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Presiden dan pemerintah
yang dibentuknya adalah mandataris rakyat.
Dalam rezim pilpres secara langsung
yang sudah berlangsung tiga kali, posisi presiden sebagai mandataris rakyat
semakin nyata. Dalam konteks inilah, terminologi koalisi rakyat sangat relevan.
Apalagi, rekam jejak politik di negeri ini menunjukkan parpol yang seharusnya mewadahi
dan memperjuangkan aspirasi rakyat, justru asyik bermain dengan kepentingannya
sendiri.
Selama ini rakyat selalu
dikecewakan oleh kinerja para wakil rakyat, yang gagal mengaktualisasikan
kepentingan umum. Ironisnya, mereka justru sibuk memperkaya diri dan menimbun
dana politik untuk partainya, sehingga kini banyak anggota DPR yang berstatus
koruptor. Selain itu, para wakil rakyat juga sangat sering bermanuver untuk
memperjuangkan kepentingan politik mereka, dan mengganggu upaya pemerintah
menjalankan program pembangunan.
Pada pemerintahan baru Jokowi-JK
yang akan dimulai 20 Oktober mendatang, kita melihat ada tantangan besar yang
menghadang di parlemen. Hal itu tercermin dari kekuatan koalisi pengusung
Jokowi-JK di parlemen yang hanya memiliki 207 kursi atau 37%. Di kubu Koalisi
Merah-Putih yang mengusung Prabowo-Hatta menguasai 353 kursi atau 63%.
Komposisi tersebut, secara kalkulasi politik, jelas tidak menguntungkan bagi
pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, banyak kebijakan publik yang memerlukan
persetujuan parlemen.
Kecuali itu, mekanisme penentuan
pejabat publik di posisi strategis yang mendukung kinerja pemerintah, juga
memerlukan persetujuan DPR. Kondisi ini dicemaskan akan menyandera pemerintah.
Pada gilirannya, pemerintah bisa takluk oleh kekuatan parlemen, sehingga ada
kemungkinan besar pembajakan kepentingan rakyat oleh kepentingan politik para
elite di Senayan. Tantangan tersebut, tentu sudah disadari oleh Jokowi-JK sejak
awal.
Usaha yang bisa dilakukan antara
lain menggalang komunikasi politik secara intensif dengan koalisi non-pemerintah
untuk menyamakan persepsi dan visi dalam merespons setiap kebijakan pemerintah.
Komunikasi tersebut tentunya dengan syarat tidak ada transaksi politik yang
bisa merugikan kepentingan rakyat.
Apabila upaya lobi politik gagal,
pemerintah Jokowi-JK bisa mengandalkan koalisi rakyat yang telah dibangun sejak
awal. Biarkan rakyat menilai, siapa yang berpihak pada kepentingan rakyat,
apakah pemerintah atau koalisi non-pemerintah.
Pengalaman Jokowi saat menjadi
gubernur DKI Jakarta telah membuktikan, meskipun minim dukungan di DPRD, Jokowi
tetap mampu menggulirkan terobosan-terobosannya untuk membangun Jakarta.
Kuncinya adalah akuntabilitas kepada publik. Dengan cara tersebut, publik
merasa ikut memiliki program pembangunan yang dirancang pemerintah, dan pasti
mendukungnya.
Dukungan yang luar biasa dari
masyarakat ini tak mungkin dimentahkan oleh parlemen. Sebab, apabila sebuah
kebijakan atau program yang bermanfaat diganjal, taruhannya parpol bakal
kehilangan dukungan politik dari rakyat. Cara inilah yang bisa dan harus
dilakukan Jokowi-JK saat menghadapi perlawanan dari koalisi non-pemerintah.
Sejauh pemerintah mampu membuktikan dan meyakinkan masyarakat, bahwa kebijakan
dan program pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi rakyat, tidak ada
pilihan lain biarkan masyarakat ikut memperjuangkannya. Dalam posisi inilah,
para relawan masih bisa mengambil peran.
Semua relawan harus menjadi
elemen penting dalam koalisi rakyat. Para relawan tidak hanya mengawal
pemerintah, yang memberi masukan dan mengingatkan jika pemerintah salah, namun
juga harus berani mengawal proses pengambilan keputusan, dengan menjadi
kekuatan ekstra-parlementer yang produktif. Dengan demikian, koalisi non-pemerintah
menyadari bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan pemerintah, tetapi mereka
juga berhadapan dengan koalisi rakyat.
Melalui kesadaran ini, kita
berharap koalisi non-pemerintah juga akan bertransformasi menjadi elemen
penyeimbang yang kritis dan konstruktif, dengan melepaskan berbagai atribut dan
kepentingan politik mereka, demi Indonesia yang lebih baik.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Selasa, 26 Agustus 2014
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar