Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 26 Agustus 2014

Masih tentang Koalisi Rakyat Jokowi

Fenomena menarik dan juga salah satu elemen penting yang menopang kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam pilpres lalu adalah kehadiran begitu banyak kelompok relawan. Para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia inilah yang berada di barisan terdepan mengajak masyarakat memilih Jokowi-JK, sekaligus menangkal berbagai isu negatif dan kampanye hitam. Inisiatif dan kerja keras mereka yang tanpa pamrih tersebut terbukti efektif. Bahkan upaya relawan yang terstruktur, sistematis, dan masif, harus diakui mampu mengungguli kerja mesin partai pengusung Jokowi-JK, dan mengalahkan mesin koalisi parpol pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi pun mengakui dan mengagumi dahsyatnya kekuatan relawan untuk menggalang suara pemilih.

Pasca pilpres, Jokowi meminta para relawan untuk tidak membubarkan diri, tetapi bertransformasi menjadi kekuatan pengawal pemerintahan. Pengakuan atas eksistensi para relawan tersebut, sesungguhnya adalah manifestasi dari tekad mewujudkan koalisi rakyat, yang sejak awal pilpres telah digaungkannya. Masyarakat harus memahami, bahwa esensi demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Presiden dan pemerintah yang dibentuknya adalah mandataris rakyat.

Dalam rezim pilpres secara langsung yang sudah berlangsung tiga kali, posisi presiden sebagai mandataris rakyat semakin nyata. Dalam konteks inilah, terminologi koalisi rakyat sangat relevan. Apalagi, rekam jejak politik di negeri ini  menunjukkan parpol yang seharusnya mewadahi dan memperjuangkan aspirasi rakyat, justru asyik bermain dengan kepentingannya sendiri.

Selama ini rakyat selalu dikecewakan oleh kinerja para wakil rakyat, yang gagal mengaktualisasikan kepentingan umum. Ironisnya, mereka justru sibuk memperkaya diri dan menimbun dana politik untuk partainya, sehingga kini banyak anggota DPR yang berstatus koruptor. Selain itu, para wakil rakyat juga sangat sering bermanuver untuk memperjuangkan kepentingan politik mereka, dan mengganggu upaya pemerintah menjalankan program pembangunan.

Pada pemerintahan baru Jokowi-JK yang akan dimulai 20 Oktober mendatang, kita melihat ada tantangan besar yang menghadang di parlemen. Hal itu tercermin dari kekuatan koalisi pengusung Jokowi-JK di parlemen yang hanya memiliki 207 kursi atau 37%. Di kubu Koalisi Merah-Putih yang mengusung Prabowo-Hatta menguasai 353 kursi atau 63%. Komposisi tersebut, secara kalkulasi politik, jelas tidak menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, banyak kebijakan publik yang memerlukan persetujuan parlemen.

Kecuali itu, mekanisme penentuan pejabat publik di posisi strategis yang mendukung kinerja pemerintah, juga memerlukan persetujuan DPR. Kondisi ini dicemaskan akan menyandera pemerintah. Pada gilirannya, pemerintah bisa takluk oleh kekuatan parlemen, sehingga ada kemungkinan besar pembajakan kepentingan rakyat oleh kepentingan politik para elite di Senayan. Tantangan tersebut, tentu sudah disadari oleh Jokowi-JK sejak awal.

Usaha yang bisa dilakukan antara lain menggalang komunikasi politik secara intensif dengan koalisi non-pemerintah untuk menyamakan persepsi dan visi dalam merespons setiap kebijakan pemerintah. Komunikasi tersebut tentunya dengan syarat tidak ada transaksi politik yang bisa merugikan kepentingan rakyat.

Apabila upaya lobi politik gagal, pemerintah Jokowi-JK bisa mengandalkan koalisi rakyat yang telah dibangun sejak awal. Biarkan rakyat menilai, siapa yang berpihak pada kepentingan rakyat, apakah pemerintah atau koalisi non-pemerintah.

Pengalaman Jokowi saat menjadi gubernur DKI Jakarta telah membuktikan, meskipun minim dukungan di DPRD, Jokowi tetap mampu menggulirkan terobosan-terobosannya untuk membangun Jakarta. Kuncinya adalah akuntabilitas kepada publik. Dengan cara tersebut, publik merasa ikut memiliki program pembangunan yang dirancang pemerintah, dan pasti mendukungnya.

Dukungan yang luar biasa dari masyarakat ini tak mungkin dimentahkan oleh parlemen. Sebab, apabila sebuah kebijakan atau program yang bermanfaat diganjal, taruhannya parpol bakal kehilangan dukungan politik dari rakyat. Cara inilah yang bisa dan harus dilakukan Jokowi-JK saat menghadapi perlawanan dari koalisi non-pemerintah. Sejauh pemerintah mampu membuktikan dan meyakinkan masyarakat, bahwa kebijakan dan program pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi rakyat, tidak ada pilihan lain biarkan masyarakat ikut memperjuangkannya. Dalam posisi inilah, para relawan masih bisa mengambil peran.

Semua relawan harus menjadi elemen penting dalam koalisi rakyat. Para relawan tidak hanya mengawal pemerintah, yang memberi masukan dan mengingatkan jika pemerintah salah, namun juga harus berani mengawal proses pengambilan keputusan, dengan menjadi kekuatan ekstra-parlementer yang produktif. Dengan demikian, koalisi non-pemerintah menyadari bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan pemerintah, tetapi mereka juga berhadapan dengan koalisi rakyat.

Melalui kesadaran ini, kita berharap koalisi non-pemerintah juga akan bertransformasi menjadi elemen penyeimbang yang kritis dan konstruktif, dengan melepaskan berbagai atribut dan kepentingan politik mereka, demi Indonesia yang lebih baik.

Salam damai penuh cinta.

***
Solo, Selasa, 26 Agustus 2014
Suko Waspodo

0 comments:

Posting Komentar