Beberapa waktu yang lalu
pemerintah melalui menteri kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan bahwa tidak ada
peraturan pemerintah yang mengatur tentang aborsi. Aturan yang terbit adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Nafsiah menyampaikan hal itu
menanggapi munculnya polemik tentang legalisasi aborsi yang dikaitkan PP No
61/2014. ”Harus ditegaskan, aborsi tetap dilarang. Itu pidana, kecuali untuk
dua hal, yaitu aborsi karena kedaruratan medis atau kehamilan akibat
perkosaan,” tuturnya dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta,
Selasa, 19 Agustus 2014 yang lalu.
Menurut Nafsiah, PP No 61/2014
yang merupakan amanat dari Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan itu sudah
lama ditunggu. Aturan pelaksanaan itu mengatur bagaimana agar perempuan
mendapat layanan kesehatan sehingga bisa hidup sehat, melahirkan generasi sehat
dan bermutu, serta mengurangi angka kematian ibu.
Meski pemerintah telah
menjelaskan secara panjang lebar tentang peraturan pemerintah mengenai
kesehatan reproduksi tersebut namun tidak bisa dihindari berbagai reaksi muncul
di masyarakat. Hal ini membuka lagi perdebatan lama tentang praktik aborsi.
Hippocrates (460-370 SM), seorang
ahli medis terkemuka Yunani, tak mendukung praktik aborsi. “Aku tidak akan
memberikan obat-obat yang mematikan, meski diminta, dan aku juga tidak akan
memberikan nasihat seperti itu. Dengan cara yang sama, aku tidak akan
memberikan obat-obatan kepada seorang perempuan yang bisa mengakibatkan aborsi,”
tulis Hippocrates dalam On the Nature of
the Woman. Tetapi praktik aborsi tetap berlangsung luas di Yunani.
Orang Yunani tidak memandang
aborsi sebagai suatu pembunuhan atau perbuatan keji, apa pun metode aborsinya.
“Tidak ada hukum yang mengatur mengenai aborsi dan negara hanya turun tangan
apabila hal itu berkaitan dengan perlindungan atas hak tuan (pemilik)
perempuan, dalam kondisi dia merdeka atau menjadi budak,” tulis Nikolaos A
Vrissimtzis dalam Erotisme Yunani.
Beberapa filsuf cenderung toleran
terhadap tindak aborsi. Plato (427-347 SM) berpendapat janin belum bisa
dianggap sebagai manusia. Maka pengguguran janin tidak bisa dianggap sebagai
perbuatan kriminal.
Ada juga para penentang tindak
aborsi di Yunani. Mereka pengikut filsuf Phytagoras (582-496 SM). “Menurut
mereka, nyawa atau jiwa manusia masuk ke tubuh sejak pembuahan. Kapan pun
aborsi dilakukan, itu berarti penghilangan nyawa makhluk hidup,” tulis
Kourkouta Lambrini dalam Views of Ancient
People on Abortion, termuat di Health
Science Journal Volume 7, tahun 2013. Tetapi filsuf lain, Aristoteles
(384-322 SM), menolak pendapat itu.
Aristoteles menyatakan “Aborsi
harus dilakukan sebelum janin bernyawa dan menendang (quickening).” Dia menggolongkan aborsi semacam itu sebagai
pengendalian kelahiran. Hal ini sesuai dengan konsepnya tentang kota ideal.
“Jika pembuahan berlangsung kala jumlah penduduk berlebih, aborsi bisa
dilakukan,” tulis John Riddle dalam Contraception
and Abortion from the Ancient World to the Renaissance. Asumsi Aristoteles
tentang tahap perkembangan janin itu bertahan selama ratusan tahun.
Di wilayah Asia, praktik aborsi
termuat dalam relief di Angkor Wat, Kamboja. Candi ini dibangun pada abad
ke-12. “Relief aborsi tampak dalam panel tentang gambaran neraka tingkat 32.
Seorang perempuan telentang; telanjang dengan tangan terikat; dan hamil 20
minggu. Ada seorang laki yang memijat perutnya menggunakan alu,” tulis Malcolm
Potts dkk. dalam Thousand-year-old Depictions
of Massage Abortion, termuat di The
Journal of Family Planning and Reproductive Health Care. Orang-orang di
Kepulauan Melayu dan Filipina juga mengenal pijat untuk praktik aborsi.
Penduduk setempat menganggap
praktik aborsi sebagai kejadian biasa. “Dalam epik Sejarah Melayu (tahun 1612)
pengguguran kandungan diterangkan sebagai kejadian biasa,” tulis Anthony Reid
dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.
Pada awal abad ke-19, asumsi
Aristoteles tentang janin mendapat serangan dari Ferdinand Kember, seorang
dokter. Dia ragu bahwa tahap kehidupan janin dimulai pada hari ke-40 setelah
pembuahan.
Menurut Kember, quickening bukan awal titik penting
perkembangan bayi. “Penemuan Kember menyiratkan bahwa jiwa sudah ada saat
pembuahan,” tulis Jeffrey H Reiman dalam Abortion
and the Ways We Value Human Life. Maka praktik aborsi bisa dinilai sebagai
pembunuhan manusia. Kelompok penentang aborsi pun beroleh angin. Di sejumlah
negara, mereka menuntut pemerintah melarang tindak aborsi dengan hukum.
Sejumlah negara kemudian
merumuskan aturan mengenai aborsi. Di Amerika Serikat, beberapa negara federal
melarangnya. Koran-koran tak lagi bebas mengiklankan praktik aborsi. Sebagian
lagi mengizinkan dengan beberapa syarat, misalnya tetap membolehkan aborsi
terapetis (demi keselamatan ibu). Yang penting dilakukan secara medis.
Memasuki abad ke-20, gerakan
pro-aborsi kembali menguat. Ini terkait dengan kemunculan gerakan dan gagasan
femininisme di sejumlah negara barat. Menurut mereka, aborsi bukan soal kapan
kehidupan dimulai, melainkan soal hak perempuan menentukan pilihannya.
Di Indonesia, undang-undang
mengenai aborsi sudah ada sejak 1918. “Undang-undang ini membuat aborsi yang
semata-mata bertujuan menggugurkan kandungan menjadi tindak kejahatan,” tulis
Gayung Kasuma dalam Perilaku Aborsi di
Jawa Masa Kolonial, termuat di Kota-Kota
di Jawa. Pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang ini karena melihat
praktik aborsi yang membahayakan nyawa perempuan, seperti cara pijat
tradisional.
Undang-undang ini bertahan hingga
kemerdekaan. Pemerintah melarang segala jenis praktik aborsi. Meski begitu,
dukun dan dokter membuka praktik itu secara tertutup. Begitu terbongkar,
praktik itu membuat geger. Seperti kasus Dokter CL Blume di Jakarta pada
1960-an. Dia didakwa membuka praktik aborsi selama tujuh tahun. Teknik
aborsinya mengikuti teknik di negara Barat: menginjeksi pasien dengan pantopan
yang mengandung morfin. “Tujuannya membuat kandungan mati lemas,” tulis Kompas,
16 Agustus 1969. Semua proses aborsi hanya memakan waktu 20 menit.
Hingga kini perdebatan soal
aborsi masih berlangsung di banyak negara. Sementara perkembangan teknik aborsi
begitu pesat. Cara pandang perempuan terhadap kehamilannya pun tak pernah
seragam. Ada yang menikmatinya, ada pula yang tak menginginkannya sama sekali.
Demikianlah tulisan sederhana ini
untuk sekedar berbagi informasi mengenai aborsi yang masih selalu menjadi
perdebatan. Apa pun pendapat para filsuf dan para dokter ahli kesehatan
reproduksi tentang aborsi, yang berhak menentukan hidup atau mati manusia
adalah tetap Tuhan sebagai penciptanya.
Salam damai penuh cinta.
(Dari berbagai sumber)
***
Solo, Selasa, 26 Agustus 2014
Suko Waspodo