Menurut kisah dalam
Kitab Suci, Eva jatuh ke dalam godaan sampai makan buah terlarang karena
dibujuk oleh si ular yang cerdik. Kemudian Eva menggoda Adam. Adam pun
ikut-ikutan makan buah larangan Tuhan. Setelah peristiwa itu pada suatu
pagi, seperti telah biasa dilakukan, Tuhan turun ke Taman, tempat kedua
manusia pertama itu tinggal. Dalam waktu pendek saja terbongkarlah
rahasia dosa mereka.
“Adam, apakah engkau makan dari buah pohon yang Aku larang engkau makan?” tanya Tuhan.
“Perempuan yang Engkau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan,” jawab Adam.
Kemudian Tuhan berpindah tanya kepada Eva: “Apakah yang telah engkau perbuat ini?”
Dengan muka cemberut, Eva menjawab: “Ular itu yang memperdaya aku, maka kumakan.”
Kepandaian kakek dan
nenek kita yang pertama untuk melemparkan kesalahan dan dosa sendiri
kepada orang lain ini, telah mereka wariskan kepada kita cucu-cicit
mereka.
Adam dan Eva tidak
menyangkal perbuatan salah dan dosa mereka. Tetapi mereka mencoba
mengurangi bebannya. Kita juga sering berbuat seperti Adam dan Eva. Pada
suatu saat kita dibebani oleh rasa salah dan dosa karena perkataan,
perbuatan dan tindak-tanduk kita. Kita tertekan oleh bebannya. Untuk
mengurangi beratnya tekanan salah dan dosa itu, tanpa pikir panjang kita
melemparkan kesalahan dan dosa itu kepada orang lain. Kalau perbuatan
ini sudah menjadi kebiasaan kita, banyak kemungkinan kita telah dikuasai
oleh dorongan untuk main kambing hitam.
Istilah kambing hitam
diambil dari kebiasaan orang Yahudi kuno. Di kalangan mereka, pada masa
itu, ada kebiasaan untuk menyembelih kambing hitam sebagai korban silih
dosa. Selanjutnya dengan matinya si kambing itu, dosa umat dihapus. Hal
yang sama dibuat oleh mereka yang menjadi korban dorongan untuk main
kambing hitam. Dorongan untuk
main kambing hitam dapat menular kemana-mana. Dalam suatu keluarga
terjadi suatu hal yang tidak enak. Maka mudah saja keluarga itu
mengambinghitamkan salah satu anggota keluarga yang paling lemah, atau
pembantu yang tidak tahu menahu. Dalam suatu persatuan sepakbola,
kesebelasannya mengalami kekalahan parah dalam suatu pertandingan. Maka
bukan hal yang mengherankan kalau kita mendengar orang mengemukakan
alasan: iklim jelek, wasit tidak bermutu, atau lawan yang licik, sebagai
pangkal kekalahan itu. Dalam suatu negara terjadi kegagalan besar dalam
salah satu “policy”. Dalam hal yang penting ini pun kita tidak
usah terkejut kalau mendengar orang bilang: ah, semua itu akibat
sabotase, perbuatan unsur-unsur subversif entah luar atau dalam negeri.
Orang-orang yang
menjadi mangsa dorongan untuk main kambing hitam dalam lubuk hati mereka
sangat menginginkan rasa bersih, rasa ringan, rasa tidak tertekan oleh
salah dan dosa. Mereka ingin agar jiwa mereka benar-benar murni. Untuk
mencapai maksud mereka, kecuali melemparkan sumber kesalahan pada orang
lain, mereka juga bersandiwara. Dengan gencar mereka suka mengecam,
mengutuk, segala hal yang dianggap sebagai penyelewengan, kebobrokan
atau kemaksiatan. Hal-hal yang dikecam itu mungkin betul. Tetapi tujuan
mereka melontarkan kecaman itu bukan terutama untuk memperbaiki situasi,
melainkan untuk mengurangi rasa salah dan dosa mereka. Karena tidak
jarang terjadi, justru hal-hal yang mereka kutuk itu, mereka perbuat
sendiri. Untuk mencapai tujuan yang sama, mereka juga sering main suci,
main saleh, main bersih. Biar orang lain mendapat kesan demikian.
Bagaimanapun juga
beban salah dan dosa tidak akan hilang dengan mengalihkan pangkal salah
dan dosa kepada orang lain atau dengan bersandiwara lewat lontaran
kutuk-kutuk dan lewat lagak suci. Orang-orang yang mempunyai dorongan
kuat untuk main kambing hitam harus mengambil jalan lain. Mereka harus
bersedia menerima kesalahan dan dosa mereka, diri mereka sebagai sumber,
dan kelemahan mereka sebagai manusia. Dengan menerima kesalahan dan
dosa itu, mereka mendapatkan kesempatan untuk memeriksa secara mendalam
hakikat kesalahan dan dosa mereka: dalam bidang apa mereka telah
bersalah dan berdosa, seberapa parah kesalahan dan dosa itu, apa yang
mendorong mereka berbuat demikian, sejauh mana mereka betul-betul
terlibat dalam kesalahan dan dosa itu, dan lain-lain. Dengan menerima
diri sendiri sebagai pangkal kesalahan dan dosa, mereka mempunyai titik
tolak untuk lebih mengenal diri sendiri dan kelemahan mereka. Dengan
menerima diri sebagai manusia yang lemah yang dapat bersalah dan
berdosa, mereka mempunyai landasan untuk menjadi rendah hati dan dapat
menerima kesalahan dan dosa dengan lapang hati, tanpa putus asa, tetapi
dengan jujur sambil tetap ada niat untuk memperbaiki diri.
Kecuali tidak
menyelesaikan masalah, orang-orang yang terlalu mudah main kambing hitam
juga harus menyadari bahwa main kambing hitam itu merugikan orang lain.
Tindakan ini dapat mencemarkan nama, menekan, dan memojokkan orang
lain. Semua ini melanggar perikemanusiaan dan cinta kasih.
Demikianlah, dengan
menangani secara langsung rasa salah dan dosa mereka serta dengan
memperhitungkan tindak main kambing hitam bagi orang lain, sedikit demi
sedikit mereka dapat sembuh dari dorongan yang menekan jiwa dan
merugikan orang lain. Hidup ini sudah susah. Kita tidak perlu menambah
kesusahan pada diri sendiri dan pada orang lain.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Minggu, 28 Juli 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar