Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 24 September 2013

Memilih Sepi


[ Cerpen ]

Sudah lewat tengah hari dan ruang kelas tempat aku bertugas membagikan rapor para siswa sudah sepi. Sebagai guru wali kelas IX aku memang harus membagikan rapor kepada orang tua atau wali siswa. Hari itu adalah saat pembagian rapor semester ganjil. Masih ada satu rapor siswi yang belum diambil. Beberapa saat kemudian pintu kelas yang tidak tertutup diketok dan masuklah seorang gadis remaja berseragam SMA. Gadis manis dengan rambut sebahu berkulit sawo matang. Menarik.

‘Selamat siang, pak,’ sapanya dengan sopan, lesung pipinya tak mampu ia sembunyikan. ‘Apakah benar ini bapak Herman wali kelas IX C? Saya Mirna kakak Tania, siswi bapak.’

‘Benar, silahkan duduk,’ kami saling bersalaman dan aku persilahkan dia duduk di kursi depan mejaku.

Dengan sedikit canggung dan malu-malu gadis tersebut duduk di kursi di depan mejaku.

‘Maaf pak , apakah saya diperbolehkan untuk mengambilkan rapor adik saya? Kedua orang tua kami kebetulan sedang ada keperluan keluarga mendadak ke luar kota,’ gadis itu mencoba memberi alasan mengapa dia mau mengambilkan rapor adiknya.

‘Maaf yang mengambil rapor seharusnya orang tuanya sendiri atau yang selama ini menjadi walinya,’ aku memberi penjelasan sambil tak mampu aku sembunyikan rasa kagumku akan manis wajahnya.

‘Tapi pak saya benar-benar kakak kandungnya dan saya dulu juga siswi SMP ini. Oh ya, ini juga ada surat dari orangtua kami yang memohonkan ijin agar saya yang mengambilnya,’ seraya dia menyodorkan surat itu dan lalu aku langsung membacanya.

‘Baiklah untuk kali ini saya ijinkan kamu mengambilnya tapi tidak untuk lain kali. Lain kali harus orangtua sendiri yang mengambil rapornya.’

Selanjutnya sebagai bagian dari tugasku sebagai guru wali kelas adiknya, aku sampaikan ke dia situasi belajar dan hasil belajar adiknya. Karena situasi tinggal dia sendiri yang mengambil rapor maka pembicaraan menjadi agak leluasa serta melebar ke situasi keluarga mereka dan cukup mengasyikkan. Dia dulu juga lulusan SMP ini tapi saat itu aku belum mengajar di SMP ini. Dia sekarang duduk di kelas XI SMA. Kami segera terlibat dalam pembicaraan yang akrab.

Aku pun menjelaskan statusku yang masih guru tidak tetap di sekolah itu karena masih sambil kuliah di FKIP jurusan Bahasa Inggris semester 5. Di akhir pertemuan kami hari itu kami saling memberi nomer handphone dan bahkan saling memberi informasi tentang akun facebook kami.

Komunikasi kami terus berlanjut walau hanya lewat SMS, telpon atau chatting lewat facebook. Kami saling tertarik karena dia mengetahui bahwa aku belum beristri dan dia juga belum punya pacar. Mirna anak nomer dua dari tiga bersaudara perempuan semua. Kakaknya sudah kuliah semester tiga.

Hampir dua bulan komunikasi kami hanya berlangsung lewat telepon dan facebook belum sampai kencan ketemuan apalagi ngapel. Aku masih merasa canggung dan menjaga diri karena Mirna masih SMA sehingga aku belum memiliki keberanian untuk main kerumahnya.

‘Mengapa mas Herman tidak main ke rumah saya?’ demikian akhirnya dia memulai ajakan untuk main ke rumahnya melalui SMS pada suatu hari. Aku tidak langsung mengiakan karena aku belum memiliki keberanian. Setelah beberapa hari kemudian dan melalui beberapa kali SMS dan percakapan telepon akhirnya aku menyatakan akan main ke rumahnya.

Jumat sore itu akhirnya aku main ke rumahnya. Aku diperkenalkan kepada orangtuanya dan kakaknya. Ternyata kakaknya adik angkatanku kuliah di FKIP tapi beda jurusan. Dia di FKIP Matematika semester tiga.

Sore dan malam itu kami habiskan dengan acara ngobrol berdua di teras rumahnya sampai pukul tujuh malam saja. Tidak ada kejadian yang istimewa malam itu selain ngobrol dan ngobrol. Pertemuan kami di rumahnya itupun tidak berlangsung lama karena malam itu bukan malam minggu sehingga aku harus memahami bahwa Mirna perlu belajar.

Malam itu ada rasa bahagia yang menyelimuti setelah aku memberanikan diri main ke rumah Mirna. Acara kencan pertamaku. Suatu pengalaman baru dalam perjalanan hidupku. Mencoba memulai dekat dengan cewek setelah selama ini aku merasa menjadi cowok yang kuper dan minder.

‘Mas Herman nanti siang sepulang mas mengajar kita ketemuan di warung steak di depan sekolah saya. Ada sesuatu hal yang penting yang harus saya sampaikan ke mas. Saya tunggu siang nanti,’ demikian bunyi SMS pertamaku pagi itu. SMS dari Mirna yang cukup membuatku gelisah. Ada masalah penting apakah sehingga ia mengajak ketemu nanti siang? Apakah kedatanganku ke rumah keluarganya kemarin malam menimbulkan masalah? Berbagai tanya muncul dalam benakku sehingga agak mengganggu suasana perasaanku untuk mengajar hari itu.

Selesai mengajar siang itu aku langsung menemui Mirna di warung steak depan sekolahnya. Seharusna aku ada kuliah siang hari itu tapi aku putuskan untuk tidak masuk demi untuk menemuinya.

‘Semalam sepulang mas Herman main ke rumah Mirna dimarahi kakak,’ Mirna memulai percakapan sambil meminum seteguk es jeruk yang sudah tersaji di hadapan kami.

‘Kenapa?’ tanyaku dengan sedikit cemas.

‘Menurut kakak, Mirna belum saatnya pacaran. Masih SMA harus fokus sekolah dulu. Pacaran hanya akan menyita perhatian Mirna untuk belajar katanya. Perlu mas Herman ketahui, kakak Mirna sampai saat ini belum punya pacar dan belum pernah pacaran sama sekali. Mungkin itu yang menyebabkan ia melarang Mirna pacaran. Bagaimana menurut mas Herman dengan situasi yang Mirna alami dengan kakak ini?’ dengan panjang lebar Mirna menjelaskan tentang penyebab kemarahan kakaknya dan mohon pendapatku.

‘Sebaiknya memang kamu mengikuti saran kakakmu,’ jawabku singkat. Seperti ada sesuatu yang akan hilang dalam hatiku.

‘Mirna tidak mau kehilangan mas Herman, Mirna sayang dan butuh mas,’ suaranya tercekat. Ada bening mengambang di pelupuk matanya.

‘Mas tahu. Mas juga sayang dan cinta kamu. Tapi apa yang dikatakan kakakmu benar, bahwa sekolahmu lebih penting. Dia tidak ingin kamu gagal dalam sekolah,’ aku mencoba menjelaskan lagi dan menghibur Mirna meski dalam hatiku sendiri sebenarnya aku juga tidak ingin kehilangan Mirna.

‘Mirna sayang sama mas Herman. Mirna ingin kita tetap pacaran,’ dia memohon dan air mata menetes di pipinya. Ada rasa iba di hatiku tetapi hati kecilku tetap mengharuskan agar aku merelakan Mirna agar lebih konsentrasi ke sekolahnya dulu.

‘Lebih baik kita akhiri pacaran kita dan nanti ketika kamu sudah selesai SMA mu serta kakakmu sudah tidak mempersoalkan kamu untuk pacaran, kita bisa pacaran lagi. Kalau memang Tuhan mengijinkan kita untuk bersatu pasti kesempatan itu akan datang lagi . Yakinlah,’ sambil kupeluk erat dia aku terus mencoba menghiburnya. Aku tidak boleh egois dan Mirna juga harus tetap baik hubungannya dengan kakaknya.

Mirna semakin terisak. Angin kemarau siang itu seolah menjadi saksi atas cinta kami yang tertunda. Ada kegalauan di hatiku yang akan menyambut hari-hariku yang akan kembali sepi.

***
Solo, Selasa, 10 September 2013
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo

0 comments:

Posting Komentar