Sudah lewat tengah hari dan ruang kelas tempat aku bertugas membagikan rapor para siswa sudah sepi. Sebagai guru wali kelas IX aku memang harus membagikan rapor kepada orang tua atau wali siswa. Hari itu adalah saat pembagian rapor semester ganjil. Masih ada satu rapor siswi yang belum diambil. Beberapa saat kemudian pintu kelas yang tidak tertutup diketok dan masuklah seorang gadis remaja berseragam SMA. Gadis manis dengan rambut sebahu berkulit sawo matang. Menarik.
‘Selamat siang, pak,’
sapanya dengan sopan, lesung pipinya tak mampu ia sembunyikan. ‘Apakah
benar ini bapak Herman wali kelas IX C? Saya Mirna kakak Tania, siswi
bapak.’
‘Benar, silahkan duduk,’ kami saling bersalaman dan aku persilahkan dia duduk di kursi depan mejaku.
Dengan sedikit canggung dan malu-malu gadis tersebut duduk di kursi di depan mejaku.
‘Maaf pak , apakah
saya diperbolehkan untuk mengambilkan rapor adik saya? Kedua orang tua
kami kebetulan sedang ada keperluan keluarga mendadak ke luar kota,’
gadis itu mencoba memberi alasan mengapa dia mau mengambilkan rapor
adiknya.
‘Maaf yang mengambil
rapor seharusnya orang tuanya sendiri atau yang selama ini menjadi
walinya,’ aku memberi penjelasan sambil tak mampu aku sembunyikan rasa
kagumku akan manis wajahnya.
‘Tapi pak saya
benar-benar kakak kandungnya dan saya dulu juga siswi SMP ini. Oh ya,
ini juga ada surat dari orangtua kami yang memohonkan ijin agar saya
yang mengambilnya,’ seraya dia menyodorkan surat itu dan lalu aku
langsung membacanya.
‘Baiklah untuk kali
ini saya ijinkan kamu mengambilnya tapi tidak untuk lain kali. Lain kali
harus orangtua sendiri yang mengambil rapornya.’
Selanjutnya sebagai
bagian dari tugasku sebagai guru wali kelas adiknya, aku sampaikan ke
dia situasi belajar dan hasil belajar adiknya. Karena situasi tinggal
dia sendiri yang mengambil rapor maka pembicaraan menjadi agak leluasa
serta melebar ke situasi keluarga mereka dan cukup mengasyikkan. Dia
dulu juga lulusan SMP ini tapi saat itu aku belum mengajar di SMP ini.
Dia sekarang duduk di kelas XI SMA. Kami segera terlibat dalam
pembicaraan yang akrab.
Aku pun menjelaskan
statusku yang masih guru tidak tetap di sekolah itu karena masih sambil
kuliah di FKIP jurusan Bahasa Inggris semester 5. Di akhir pertemuan kami hari itu kami saling memberi nomer handphone dan bahkan saling memberi informasi tentang akun facebook kami.
Komunikasi kami terus berlanjut walau hanya lewat SMS, telpon atau chatting lewat facebook.
Kami saling tertarik karena dia mengetahui bahwa aku belum beristri dan
dia juga belum punya pacar. Mirna anak nomer dua dari tiga bersaudara
perempuan semua. Kakaknya sudah kuliah semester tiga.
Hampir dua bulan komunikasi kami hanya berlangsung lewat telepon dan facebook belum sampai kencan ketemuan apalagi ngapel.
Aku masih merasa canggung dan menjaga diri karena Mirna masih SMA
sehingga aku belum memiliki keberanian untuk main kerumahnya.
‘Mengapa mas Herman tidak main ke rumah saya?’ demikian akhirnya dia memulai ajakan untuk main ke rumahnya melalui SMS
pada suatu hari. Aku tidak langsung mengiakan karena aku belum memiliki
keberanian. Setelah beberapa hari kemudian dan melalui beberapa kali
SMS dan percakapan telepon akhirnya aku menyatakan akan main ke
rumahnya.
Jumat sore itu
akhirnya aku main ke rumahnya. Aku diperkenalkan kepada orangtuanya dan
kakaknya. Ternyata kakaknya adik angkatanku kuliah di FKIP tapi beda
jurusan. Dia di FKIP Matematika semester tiga.
Sore dan malam itu
kami habiskan dengan acara ngobrol berdua di teras rumahnya sampai pukul
tujuh malam saja. Tidak ada kejadian yang istimewa malam itu selain
ngobrol dan ngobrol. Pertemuan kami di rumahnya itupun tidak berlangsung
lama karena malam itu bukan malam minggu sehingga aku harus memahami
bahwa Mirna perlu belajar.
Malam itu ada rasa
bahagia yang menyelimuti setelah aku memberanikan diri main ke rumah
Mirna. Acara kencan pertamaku. Suatu pengalaman baru dalam perjalanan
hidupku. Mencoba memulai dekat dengan cewek setelah selama ini aku
merasa menjadi cowok yang kuper dan minder.
‘Mas Herman nanti
siang sepulang mas mengajar kita ketemuan di warung steak di depan
sekolah saya. Ada sesuatu hal yang penting yang harus saya sampaikan ke
mas. Saya tunggu siang nanti,’ demikian bunyi SMS pertamaku pagi itu.
SMS dari Mirna yang cukup membuatku gelisah. Ada masalah penting apakah
sehingga ia mengajak ketemu nanti siang? Apakah kedatanganku ke rumah
keluarganya kemarin malam menimbulkan masalah? Berbagai tanya muncul
dalam benakku sehingga agak mengganggu suasana perasaanku untuk mengajar
hari itu.
Selesai mengajar siang
itu aku langsung menemui Mirna di warung steak depan sekolahnya.
Seharusna aku ada kuliah siang hari itu tapi aku putuskan untuk tidak
masuk demi untuk menemuinya.
‘Semalam sepulang mas
Herman main ke rumah Mirna dimarahi kakak,’ Mirna memulai percakapan
sambil meminum seteguk es jeruk yang sudah tersaji di hadapan kami.
‘Kenapa?’ tanyaku dengan sedikit cemas.
‘Menurut kakak, Mirna
belum saatnya pacaran. Masih SMA harus fokus sekolah dulu. Pacaran hanya
akan menyita perhatian Mirna untuk belajar katanya. Perlu mas Herman
ketahui, kakak Mirna sampai saat ini belum punya pacar dan belum pernah
pacaran sama sekali. Mungkin itu yang menyebabkan ia melarang Mirna
pacaran. Bagaimana menurut mas Herman dengan situasi yang Mirna alami
dengan kakak ini?’ dengan panjang lebar Mirna menjelaskan tentang
penyebab kemarahan kakaknya dan mohon pendapatku.
‘Sebaiknya memang kamu mengikuti saran kakakmu,’ jawabku singkat. Seperti ada sesuatu yang akan hilang dalam hatiku.
‘Mirna tidak mau
kehilangan mas Herman, Mirna sayang dan butuh mas,’ suaranya tercekat.
Ada bening mengambang di pelupuk matanya.
‘Mas tahu. Mas juga
sayang dan cinta kamu. Tapi apa yang dikatakan kakakmu benar, bahwa
sekolahmu lebih penting. Dia tidak ingin kamu gagal dalam sekolah,’ aku
mencoba menjelaskan lagi dan menghibur Mirna meski dalam hatiku sendiri
sebenarnya aku juga tidak ingin kehilangan Mirna.
‘Mirna sayang sama mas
Herman. Mirna ingin kita tetap pacaran,’ dia memohon dan air mata
menetes di pipinya. Ada rasa iba di hatiku tetapi hati kecilku tetap
mengharuskan agar aku merelakan Mirna agar lebih konsentrasi ke
sekolahnya dulu.
‘Lebih baik kita
akhiri pacaran kita dan nanti ketika kamu sudah selesai SMA mu serta
kakakmu sudah tidak mempersoalkan kamu untuk pacaran, kita bisa pacaran
lagi. Kalau memang Tuhan mengijinkan kita untuk bersatu pasti kesempatan
itu akan datang lagi . Yakinlah,’ sambil kupeluk erat dia aku terus
mencoba menghiburnya. Aku tidak boleh egois dan Mirna juga harus tetap
baik hubungannya dengan kakaknya.
Mirna semakin terisak.
Angin kemarau siang itu seolah menjadi saksi atas cinta kami yang
tertunda. Ada kegalauan di hatiku yang akan menyambut hari-hariku yang
akan kembali sepi.
***
Solo, Selasa, 10 September 2013
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar