Menarik setiap kali
mengikuti pemberitaan maupun artikel yang menyinggung tentang
kekristenan dan kecinaan Ahok sebagai Wagub DKI. Ini merupakan
perkembangan yang menarik dalam kancah sosial politik negeri ini. Warga
negara keturunan Cina (Tionghoa) apalagi beragama Kristen menjadi
pejabat publik, menjadi hal yang terus disoroti. Sebenarnya sebelumnya
juga pernah ada Kwik Kian Gie, yang juga keturunan Tionghoa, yang
ditunjuk menjadi menteri di negeri ini. Namun apabila kita hitung
keturunan Cina yang terlibat di kancah politik jumlahnya tidak banyak.
Yang lebih menarik dicermati memang terpilihnya Ahok karena dipilih
langsung oleh rakyat lewat pemilukada, sedangkan Kwik Kian Gie jadi
menteri karena ditunjuk oleh presiden. Tetapi seandainya kemarin Ahok
yang mencalonkan diri sebagai gubernur pasti belum tentu dipilih. Karena
dia keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.
Fenomena ini bukan
berarti menunjukkan bahwa negara ini sudah tidak diskriminatif lagi
terhadap warga keturunan Tionghoa dan atau beragama non Islam. Faktanya
selama ini masih bisa kita jumpai adanya diskriminasi terhadap warga
negara ini yang non Islam dalam memperoleh kesempatan belajar di sekolah
negeri. Di sekolah negeri mulai TK sampai dengan Perguruan Tinggi,
meski tidak tertulis, terjadi pembatasan penerimaan peserta didik yang
beragama non Islam. Biasanya jumlah mereka yang diterima (kuota)
dibatasi tidak lebih dari 10 persen. Walaupun mereka para calon peserta
didik nilainya memenuhi standard sekolah yang bersangkutan tapi kalau
kuotanya sudah mencapai sekitar 10 persen mereka ditolak. Bahkan ada
Universitas negeri yang memberi perlakuan istimewa bagi calon mahasiswa
yang mempunya prestasi istimewa di bidang keagamaan Islam.
Dalam hal penerimaan
Pegawai Negeri Sipil juga sudah menjadi rahasia umum terjadi
diskriminasi dalam bentuk pembatasan kesempatan bagi calon pegawai yang
bukan beragama Islam. Dalam hal layanan publik, misalnya pengadaan KTP
atau urusan surat-surat terkait pemerintah, juga masih terjadi
diskriminasi dengan mempersulit warga keturunan Tionghoa atau mengenakan
pungutan yang tidak wajar terhadap mereka.
Terkait dengan situasi
yang masih berlangsung seperti itu sejak jaman orde baru sampai
sekarang, maka perlu diwacanakan untuk mengurangi tindakan diskriminasi
itu dengan terus mengusahakan dihilangkannya pencantuman data agama
seseorang di dalam KTP nya. Selanjutnya juga perlu dipertimbangkan untuk
menghapus mata pelajaran/kuliah agama dan menggantinya dengan
pendidikan budi pekerti yang lebih universal dan tidak
mengkotak-kotakkan.
Pemerintah seharusnya
tidak perlu terlalu mencampuri urusan perkembangan agama. Biarlah
perkembangan agama dilakukan oleh pemuka dan umat agama yang
bersangkutan sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Pendirian rumah ibadat juga biarlah diselesaikan oleh umat
agama yang bersangkutan, pemerintah hanya mengatur mengenai ijin
pendirian bangunannya saja. Dalam hal ini perlu terus diupayakan untuk
menghapus saja keberadaan Kementerian Agama, karena faktanya kementerian
ini hanya menjamin terutama kepentingan agama Islam. Bahkan
kenyataannya kementerian agama ini juga justru menjadi ajang korupsi
yang paling parah. Kejahatan berkedok agama. Sungguh memprihatinkan dan
memalukan.
Aparat penegak hukum seharusnya juga lebih tegas dan adil dalam menangani kasus-kasus yang
menyangkut penistaan agama. Jangan selalu lebih membela agama mayoritas
meskipun mereka jelas-jelas menindas yang minoritas. Tindakan dan
sangsi yang lebih tegas dan kalau perlu pembubaran harus dilakukan
terhadap organisasi para ‘preman’ berkedok kaum agamis.
Demikianlah tulisan
kecil ini disampaikan karena rasa cemas dan prihatin yang berkepanjangan
terhadap situasi diskriminasi yang masih terus berlangsung. Para
pengelola negeri ini dan siapapun yang masih ingin menjaga
keberlangsungan NKRI mestinya memahami maksud tulisan ini. Rakyat yang
menyadari pluralitas senantiasa berharap terhadap kehidupan yang semakin
damai dalam keberagaman. Semoga ungkapan yang mungkin terkesan blak-blakan ini bisa menjadi bahan refleksi kita bersama.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 24 Juli 2013
Suko Waspodo
1 comments:
iya anda 100% benar pak....
sangat disayangkan hawa diskriminasi dinegara ini masih sangat terasa....
Posting Komentar