Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 17 Juli 2018

Layakkah Wanita Menjadi Pemimpin?


Pertanyaan itu mungkin sudah sering menjadi topik pembicaraan para pemberdaya peranan wanita, namun saya akan lebih menyorotinya dalam konteks politik di Indonesia. Setiap kali terjadi pemilihan pemimpin di negara ini, mulai dari ketua RT sampai dengan Presiden sering muncul isu gender. Apabila kita mengamati para calon kepala daerah yang akan berlaga di Pilkada tahun ini, juga sangat sedikit calon wanita pemimpin yang terlibat.

Masih sering muncul pernyataan terbuka atau kasak-kusuk yang mengatakan bahwa seharusnya pemimpin itu pria.  Kalau hal ini terus berlangsung berarti kemunduran dalam perkembangan politik modern di negara ini atau jangan-jangan para pria mulai ketakutan dengan kemampuan memimpin para wanita.

Masyarakat mestinya ingat kembali tentang tokoh-tokoh atau para wanita pemimpin yang hebat di negara ini maupun di tingkat dunia. Sejarah negara ini sudah mencatat kehebatan RA Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, para wanita Menteri Kabinet Kerja saat ini dan tentu saja juga para wanita hebat yang sekarang ini masih aktif di bidangnya masing-masing. Pada tingkat dunia kita mencatat banyak wanita pemimpin yang hebat,  Indira Gandhi, Benazir Bhutto, Golda Meir, Margaret Thatcher, Aung San Suu Kyi  dan tentu masih banyak lagi.

Sebagai negara yang  memiliki hari peringatan khusus terhadap peranan wanita, tanggal 21 April, seyogyanya masyarakat dan negara ini tidak perlu mempertentangkan perbedaan gender tersebut. Kalau memang seorang wanita memiliki kemampuan dan kelayakan menjadi pemimpin seharusnya tidak dihalangi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pemilihan seorang pemimpin, wanita harus diperlakukan sama dengan pria.

Tidak perlu diragukan lagi, dalam kenyataannya wanita biasanya memiliki sifat lebih lembut, naluri seorang ibu, sehingga dalam memimpin tidak hanya menggunakan rasio saja tapi juga melibatkan perasaannya. Secara naluriah wanita lebih penyabar dibandingkan pria. Wanita lebih cermat dan hati-hati. Dengan kelembutannya pasti akan menjadi nilai tambah dalam kemampuan memimpinnya yang pasti akan mudah diterima oleh yang dipimpinnya.

Masyarakat dan bangsa negara ini sudah seharusnya mulai mengurangi budaya patrilinial. Para pengelola negara ini yang terbanyak jadi koruptor adalah para prianya. Para aktifis wanita di negara ini begitu banyak dan penuh potensi serta peduli. Maka perlu ditingkatkan peran serta wanita dalam mengelola negara ini dan sekaligus untuk membuktikan  bahwa para pemimpin atau tokoh wanita relatif tidak koruptif dan lebih peduli terhadap kemajuan negara ini.

Para wanita hebat negara ini harus lebih aktif mengambil peran dalam pengelolaan negara ini. Para pria yang tidak mampu tidak usah sombong dan memaksakan diri jadi pemimpin di negara ini. Malahan membuat kacau balau saja. Kesempatan yang lebih besar kepada para wanita menjadi suatu keniscayaan. Para wanita pemimpin dan calon wanita pemimpin silahkan menunjukkan bahwa anda layak menjadi pemimpin yang jujur, lembut hati namun tetap tegas.

Salam kritis penuh cinta.  

***                                                     
Solo, Kamis, 11 Januari 2018
Suko Waspodo
https://www.kompasiana.com/sukowaspodo_99/5a5710b0cf01b47a2819cec3/layakkah-wanita-menjadi-pemimpin
ilustrasi: Liputan6 doc.

0 comments:

Posting Komentar