Apakah ada orang yang menulis tetapi tidak dengan bijak? Ada. Inilah
yang akan saya sampaikan dalam tulisan kali ini. Bukan sebuah artikel
yang penting apalagi ilmiah namun sekedar curhat keprihatinan menyikapi perilaku menulis di media sosial saat ini. Secara khusus para penulis Indonesia yang asal njeplak di media sosial.
Media
Sosial, terutama Facebook dan Twitter, merupakan media yang seolah
tanpa batas bagi siapa pun untuk menyampaikan pemikiran yang ilmiah
sampai dengan hanya sekedar mengeluh lagi 'bete' di akun yang
bersangkutan atau di grupnya. Tentu saja ini merupakan bentuk kebebasan
berpendapat di era komunikasi modern saat ini.
Begitu mudah dan
sederhana tak perlu kemampuan tata tulis formal ilmiah, tak perlu
melampirkan fotokopi identitas diri seperti kalau kita mengirim surat
pembaca di surat kabar. Bahkan menggunakan akun seenaknya bukan sesuai
jatidirinya pun bisa.
Namun kebebasan ini sering digunakan secara
sembarangan dan mengacaukan bahkan cenderung merusak. Seperti saya amati
setiap kali situasi politik memanas menjelang pemilu di negeri ini,
banyak akun-akun baru bermunculan dengan nama-nama yang aneh-aneh dan
saya yakin akun pengecut karena tidak menampilkan identiitas secara
terbuka.
Jika apa yang mereka sampaikan hal-hal yang positif dan
mendidik saya kira bukan masalah, tetapi apa yang mereka sampaikan di
akun-akun mereka cenderung fitnah atau tuduhan serta celaan tanpa dasar
dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Tuduhan maupun fitnah
terhadap pribadi tertentu atau terhadap pemerintah yang senyatanya
merupakan pemerintahan yang sah dipilih rakyat.
Lebih
memprihatinkan dan bahkan sangat memalukan tulisan ungkapan kebencian
(tidak layak disebut kritik karena disampaikan dengan vulgar) tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan bahkan berprofesi sebagai pendidik.
Salah satu
contoh yang mencemaskan adalah tatkala yang bersangkutan menganjurkan
untuk yang ingin mengungkapkan kebencian seperti yang dia lakukan agar
jangan menggunakan nama atau jatidiri asli. Dia menyarankan untuk tidak
menggunakan nama sendiri yang oleh orangtua mereka sesungguhnya memang
mengarah agar terkesan agamis.
Tatkala saya tanggapi, yang
bersangkutan mengatakan bahwa itu pengarahan untuk kalangan mereka
sendiri. Wooow, emang ini media sosial milik moyang lo doang, bro?
Ini media sosial bukan papan informasi kelompok tertentu saja. Inikah
contoh perilaku beradab seorang pendidik yang semestinya berperilaku
ilmiah dan mendidik?
Menulis di media seyogyanya memang harus
dengan bijak. Media sosial memang bisa saja jadi media untuk mengungkap
keluh kesah dari masalah sakit kulit, panu, bisul sampai kanker.
Bisa
juga untuk mengungkapkan kegalauan, kesedihan atau kegembiraan. Tetapi
tentu saja berbeda dengan buku harian yang biasanya memang untuk dibaca
secara pribadi oleh pemiliknya.
Media sosial dibaca secara sangat luas dan berdampak sangat massive,
maka fitnahan dan tuduhan dalam bentuk apa pun akan berakibat yang
tidak sederhana, bisa berakibat pada pembunuhan karakter seseorang atau
bahkan mengguncangkan stabilitas pemerintahan serta meresahkan
masyarakat.
Menyampaikan kritik kepada siapa pun tentu boleh saja
tetapi sebaiknya disampaikan secara santun. Secara sederhana bisa dalam
status kita di media sosial. Bisa juga dalam bentuk tulisan formal,
misalnya di blog Kompasiana ini, kalau belum mampu menulis di media mainstream.
Hanya
dalam bentuk puisi pun bisa kita sampaikan kritik kita. Lebih menarik
dan berbobot lagi melalui artikel yang dilandasi dengan data serta fakta
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Alangkah indah serta nyamannya
apabila kita membaca ungkapan kritik, saran atau keluhan tetapi dengan
cara dan bahasa yang santun serta elegant. Siapa pun atau apa
pun yang kita kritik bisa menyikapinya dengan tanpa tersulut emosi.
Tetapi memang bersikap bijak itu pilihan dan hanya bisa dilakukan oleh
siapa pun yang memahami peradaban, bukan kebiadaban.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 6 Januari 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: juragancipir doc.
0 comments:
Posting Komentar