Penciptaan manusia oleh Tuhan menimbulkan beberapa pertanyaan. Salah
satunya adalah, apakah berhadapan dengan Tuhan Sang Pencipta manusia
dapat mempertahankan jati diri serta kebebasannya?
Dalam
pertanyaan tersebut termuat kekhawatiran bahwa manusia tidak bebas lagi
dan lebih mendalam bahwa dengan adanya Tuhan manusia mesti terasing dari
dirinya sendiri. Mengapa demikian? Karena lalu Tuhanlah yang
mengerjakan segala-galanya, Tuhan tujuan segala-galanya, segala-galanya
diarahkan kepada Tuhan, jadi bukan pada manusia.
Tetapi,
kekhawatiran ini mengabaikan sesuatu yang sangat penting: transendensi
dan imanensi Tuhan. Keduanya berarti bahwa Tuhan tidak bersaing dengan
kita. Tuhan tidak berkarya di dataran yang sama dengan kita. Lain hal
hubungan antar manusia atau manusia dengan mobil. Kalau satu pribadi
adalah the boss, yang lain-lain harus tunduk terhadapnya,
senang atau tidak senang. Maka, seorang bawahan memang berada dalam
bahaya terasing dari aspirasi, kesenangan dan keyakinannya sendiri.
Begitu
pula pengemudi mobil mewah dapat memilih sendiri apakah mau memakai
persneling otomatis atau menentukan sendiri giginya. Apabila ia memilih
yang seratus persen otomatis, tinggal ia tekan pedal gas. Adalah mesin
yang memilih persneling mana paling efektif untuk naik sebuah tanjakan.
Jika ia ingin tetap in control, ia mengubah persneling secara manual. Pokoknya, semakin kuasa manusia, semakin tidak berperan mesin dan sebaliknya.
Namun
lain hal hubungan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya. Disitu berlaku
bahwa ciptaan semakin mandiri semakin ciptaan tergantung dari Sang
Pencipta. dalam arti apa? Dalam arti bahwa "tergantung dari Sang
Pencipta" berarti menerima eksistensi daripada-Nya. Semakin tinggi
eksistensinya, maka semakin ciptaan itu tergantung dari Pencipta-Nya,
semakin ia memiliki eksistensi yang lebih kuat, lebih mampu untuk
bertidak sendiri.
Contoh untuk itu adalah 'cinta'. Secara ideal,
dalam cinta sempurna dua orang sama sekali tergantung satu dari yang
lain, dalam arti, yang satu seakan-akan tidak dapat hidup tanpa yang
lain. Akan tetapi, ketergantungan itu justru tidak memperlemah,
melainkan memperkuat identitas dan kemandirian keduanya masing-masing.
Pribadi yang terikat cinta yang benar adalah paling mampu untuk
mengembangkan diri, untuk menyumbangkan sesuatu bagi pribadi lain, dan
dalam itu ia tetap bahagia. Ketergantungan dalam cinta tidak melumpuhkan
atau membuat pasif melainkan memobilisasikan wawasan-wawasan dan
energi-energi baru.
Manakala pribadi menyerahkan diri ke tangan
Tuhan, tidak perlu khawatir kehilangan jati diri serta kebebasannya atau
menjadi seperti wayang tak bernyawa yang hanya dimainkan. Ia justru
akan mengalami pemuncakan otonominya, sebuah otonomi yang memang bukan
sewenang-wenang, melainkan bersedia untuk menerima tanggungjawabnya.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Selasa, 16 Januari 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: tribunnews doc.
0 comments:
Posting Komentar