Kita semua yang jeli mengamati kondisi politik negeri ini saat ini,
pasti tahu bahwa negeri ini memiliki kelompok oposisi yang berisi para
politisi kelas teri yang miskin visi. Kalau pun mau disebut kelas kakap
paling juga dalam hal nyinyir dan kebiasaan memfitnahnya. Kebiasaan
mengkritik pemerintah secara tidak konstruktif serta menggunakan standar
ganda adalah bukti nyata bahwa mereka adalah para politisi miskin visi.
Standar
ganda ini bisa kita cermati paling menyolok awalnya saat pilkada DKI
Jakarta. Karena Ahok, mereka yang berteriak takbir dan meneriakkan nama
'Tuhan Maha Besar' dengan bahasa Arab sambil memaki-maki Ahok, mulai
terbongkar sifat aslinya. Mereka yang membawa-bawa nama agama, dengan
penutup rambut, mendadak menjadi orang yang waras, dengan membela Rocky
Gerung.
Natalius Pigai yang begitu menggebu-gebu mendukung Ahok
agar dipenjara, berubah drastis. Ketika Ahok mengatakan 'jangan mau
dibodoh-bodohi pakai Al-Maidah', dia bungkam. Sama sekali tidak ada
pernyataannya yang membela Ahok sebagai warga negara yang memiliki hak
konstitusional. Tetapi ketika saat ini urusan dengan Rocky Gerung yang
mengatakan bahwa 'kitab suci adalah fiksi', Natalius Pigai menggunakan
kekuasaannya sebagai aktivis HAM, mengatakan bahwa kebebasan manusia
dalam berpendapat dirampas. Inilah yang kita lihat dalam inkonsistensi
para politisi kelas teri. Standar ganda terpampang jelas.
Lebih
lanjut kita tahu, Pigai adalah orang Papua yang pernah mengatakan
pembangunan Jokowi di Papua tidak benar-benar terjadi. Dia meragukan
kekuatan Jokowi. Tetapi akhirnya Jokowi membungkam mulut Pigai dengan
hasil kerja yang begitu luar biasa. Akibatnya manusia Papua ini malah
dibenci dan tidak disukai oleh orang Papua.
Bisa kita amati juga
Eggi Sudjana yang adalah seorang advokat, mengeluarkan standar gandanya.
Kita tahu bahwa orang ini tergabung ke dalam persaudaraan 212, yang
dibentuk karena Ahok. Ahok menjadi penyebab berdirinya solidaritas
agama, sungguh luar biasa. Eggi adalah laskar dan alumni 212 yang
menuntut pemerintah memenjarakan Ahok. Akhirnya Ahok dipenjara karena
ujaran kebencian yang didakwakan kepadanya.
Namun berbeda untuk
kasus Rocky Gerung, Eggi mendadak lunak. Ini sudah dapat dipastikan,
merupakan sebuah bentuk kegagalan berpikir dan bukti standar ganda lagi.
Ini sangat sarat dengan muatan politis. Statement kasar Rocky Gerung di
acara ILC itu malah dibela oleh Eggi, yang pernah mencitrakan dirinya
sangat tersinggung dengan statement Ahok. Jadi logikanya bila kasus
hukum Ahok bisa diteruskan dan berakhir di penjara, maka kasus hukum
Rocky Gerung pun bisa lebih diteruskan dan berakhir di penjara juga.
Kita
semua tahu Rocky Gerung saat ini sedang tidak muncul lagi di acara TV
One. Mungkin dia sedang bersembunyi dan ketakutan seperti tikus yang
ngumpet di selokan. Setelah berkoar-koar dan dilaporkan, mungkin saja
Rocky Gerung ini mulai ketakutan parah.
Standar ganda lagi adalah
Ratna Sarumpaet, aktifis perempuan, yang menjadi congor dalam merusak
nama Ahok. Dia mendadak membela Rocky Gerung. Padahal kitabnya sedang
dinista. Inilah perilaku politisi miskin visi. Politik busuk membuat
agama menjadi standar ganda. Memenjarakan Ahok karena statement yang
tidak dia maksudkan sama sekali. Namun membela Rocky Gerung, yang dengan
sengaja dan berulang-ulang mengatakan bahwa kitab suci adalah buku
fiksi.
Fakta-fakta di atas memperjelas standar ganda yang
dilakukan oleh para politisi miskin visi yang sok oposisi, dan
membuktikan bahwa mereka tidak benar-benar sedang membela kitab suci
mereka. Kian terang benderang, bahwa mereka membela kepentingan politik
busuk.
Para politisi oposisi miskin visi di otaknya memang hanya
terisi dengan rasa dengki dan niatan keji. Ambisi kekuasaan membuat
mereka sok aksi padahal sesungguhnya tak memiliki amunisi. Tak memiliki
visi yang jelas untuk negeri dan hanya mementingkan diri sendiri.
Merdeka !!!
***
Solo, Jumat, 20 April 2018
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
ilustrasi: hidayatullah.com
0 comments:
Posting Komentar