Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 17 Juli 2018

"Ojo Grusa-grusu lan Waton Suloyo"


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Karanganyar mengusulkan rancangan peraturan daerah tentang pelestarian budaya lokal. Salah satu materi muatannya adalah keharusan pemberian nama berunsur Jawa, sekaligus larangan pemberian nama kebarat-baratan untuk anak yang baru lahir.

Seperti diwartakan Kompas.com, Rabu (3/1), Ketua DPRD Karanganyar Sumanto berargumentasi, usulan rancangan peraturan daerah (raperda) itu adalah wujud upaya pemerintah setempat untuk melestarikan budaya lokal yang kini hampir tergerus oleh globalisasi. Sontak kontroversi pun merebak.

Wacana tentang keharusan pemberian nama berunsur Jawa ini sungguh menggelikan sekaligus mencemaskan. Pemberian nama adalah hak pribadi orangtua yang memberikan nama dan juga hak dari pribadi yang memiliki nama tersebut. Memang ada ungkapan yang populer 'apalah artinya sebuah nama'. "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (26 April 1564-23 April 1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih, "Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi."  Tetapi sesungguhnya tidak tepat dan bahkan keliru apa yang disampaikan Shakespeare tersebut.

Kita pasti sepakat bahwa nama bukanlah sekedar identitas  melainkan mempunyai makna luhur, terutama keinginan orangtua pada saat memberikan nama tersebut. Nama saya sendiri sangat kuat kultur Jawa, Suko Waspodo, yang kata orangtua saya bermakna agar saya menjadi pribadi yang senantiasa  senang/bahagia (suko) namun tetap selalu berhati-hati (waspodo). Meskipun saya orang Jawa dan nama saya sangat njawani, bukan berarti saya lalu setuju dengan keharusan dan pelarangan dalam wacana di atas.

Nama mempunyai makna yang sangat kuat serta unik dan sepantasnya menjadi sesuatu yang membanggakan bagi yang bersangkutan. Saya sendiri sangat bangga dengan nama saya yang unik, silahkan anda coba browsing dengan mengetik 'suko waspodo' pasti hampir seluruhnya mengarah pada identitas saya dan seluruh aktifitas saya yang pernah saya posting di media digital internet. Bagi saya ini hal yang sangat dahsyat dan saya sangat berterimakasih pada orangtua saya atas pemberian nama ini.

Peraturan daerah tentang keharusan pemberian nama berunsur Jawa hanya akan menjadi lelucon mencemaskan dan menjadi produk peraturan yang kekanak-kanakan. Apa yang salah dengan pemberian nama berunsur agama Islam yang notabene pasti sangat kental dengan budaya Arab? Adalah hak kita pribadi untuk memberi atau memiliki nama yang islami dan tentu bertujuan agar kita menjaga kualitas keislaman kita. Demikian pula dengan nama baptis yang dimiliki oleh kita yang beragama Katolik, yang merupakan salah satu dari sakramen, dan tentu saja belum ada nama baptis yang berunsur Jawa. Apakah harus dilarang?

Pribadi Jawa tetapi memilih nama kebarat-baratan tentu bukan bermaksud untuk melecehkan budaya Jawa.  Bernama Rocky mungkin maksudnya agar yang bersangkutan memiliki kepribadian yang kuat sekokoh batu karang. Bayi puteri mungil diberi nama Jasmine mungkin maksud orang tuanya agar anak tersebut kelak menjadi pribadi yang baik dan harum namanya seharum bunga melati.  

Seandainya pun ada orang yang berani memberi nama atau memiliki nama Doggy tentu bukan bermaksud menyamakan diri dengan binatang anjing tetapi mungkin agar memiliki sifat setia seperti karakter binatang tersebut. Masih banyak lagi contoh nama kebarat-baratan yang bermakna bagus dan tentu bukan hak siapa pun untuk melarang menggunakannya.

Menjaga kelestarian budaya Jawa tidak mesti dengan keharusan memakai nama berunsur jawa. Pemerintah mungkin bisa mewajibkan setiap sekolah untuk memiliki seperangkat Gamelan Jawa dan mengharuskan ada pelajaran Karawitan. Demikian pula pemerintah daerah bisa lebih sering menyelenggarakan pentas budaya dan kesenian Jawa. 

Disamping untuk menjaga kelestarian budaya Jawa, event tersebut juga sekaligus sebagai sarana pariwisata budaya yang pasti sangat menarik para wisatawan asing. Tentu saja masih banyak unsur budaya Jawa lain lagi yang bisa kita gali dan hidupkan kembali tanpa harus mengganggu hak asasi pribadi dalam pemberian dan pemakaian nama diri.

Semoga sharing kecemasan ini bisa membuat  DPRD Kabupaten Karanganyar sadar dan kemudian mengurungkan niatnya dengan wacana bodoh tentang peraturan pemberian nama di atas. Ojo grusa-grusu lan waton suloyo. Jangan bertindak gegabah dan asal-asalan.

Salam kritis penuh cinta dari pecinta budaya Jawa.

***
Solo, Jumat, 12 Januari 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: damadu doc.

0 comments:

Posting Komentar