Welcome...Selamat Datang...

Minggu, 29 Juli 2018

Mengenang dan Merefleksikan Kembali Kepribadian Kartini


Memperingati Kartini setiap tanggal 21 April, rasanya aneh kalau hanya diidentikkan dengan saatnya berpakaian adat daerah-daerah di Indonesia saja, karena tanggal 21 April memang bukan hari kontes pakaian daerah. Tanggal ini justru merupakan saatnya dimana kita merenungkan kembali kepribadian Kartini dan merefleksikannya kembali dalam kepribadian wanita Indonesia masa kini.

Dari surat-surat Kartini yang ditulisnya kepada seorang gadis di negeri Belanda, kita dapat memperoleh gambaran tentang kepribadian Kartini, terkait dengan adat istiadat Jawa khususnya yang berlaku bagi gadis-gadis yang  telah meningkat remaja. Sangat menyentuh dan senantiasa patut diteladani oleh siapa pun khususnya kaum wanita.

Dalam curhat di surat-suratnya kepada teman Belandanya itu kita bisa memperoleh gambaran bagaimana Kartini sebagai seorang gadis remaja dan kemudian menjadi wanita muda tidak dapat menerima begitu saja ketentuan adat Jawa yang berlaku  bagi gadis-gadis seumur dan segolongan dia. Yang paling menyedihkan bagi Kartini ialah larangan untuk meneruskan pendidikan formalnya karena hal ini sekaligus berarti bahwa dia tidak boleh  lagi meninggalkan halaman kabupaten yang dilingkungi oleh empat tembok yang kokoh dan tinggi.

Kartini tidak pasrah begitu saja pada nasibnya. Dia tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan adat yang dia rasakan sangat tidak adil memperlakukan gadis-gadis seumur dan segolongan dengan dia pada waktu itu. Dalam surat-suratnya kita bisa membaca bagaimana dia tak henti-hentinya mencoba mengubah ketentuan-ketentuan adat Jawa yang berlaku bagi gadis-gadis seperti dia.

Dia menyadari dengan sepenuhnya bahwa ketentuan adat istiadat yang  begitu ketat mengekang dirinya dan tidak akan mudah melepaskan ikatan-ikatan terhadapnya. Namun dia tidak putus asa dalam usahanya meyakinkan, terutama ayahnya ( yang selain orang yang sangat dia cintai juga sekaligus yang paling berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dia lakukan sebagai gadis priyayi), agar dia diperbolehkan meneruskan dan mengikuti suatu pendidikan untuk memperoleh suatu ketrampilan. Ketrampilan ini dia perlukan agar dia secara efektif dapat menyumbangkan tenaga dan fikirannya untuk meningkatkan keadaan kaum wanita pada umumnya.

Namun sebelum keinginannya tercapai, Kartini akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ketentuan keluarganya untuk kawin dengan pria pilihan mereka. Memang tidak jelas apa yang menjadi alasan Kartini untuk menerima keputusan keluarganya yang justru merupakan hal yang sangat dia tentang, ialah bahwa gadis seperti dia harus kawin dengan seorang yang bukan hanya bukan pilihannya sendiri tetapi juga belum pernah dia kenal sebelumnya.

Meskipun demikian apabila kita teliti ikatan dengan ayahnya, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sangat mungkin bahwa dia menerima keputusan tersebut karena dia tidak ingin menyakiti perasaan ayahnya. Di dalam surat-suratnya kita bisa membaca bagaimana dia berkali-kali mengemukakan bahwa dia hanya dapat melakukan apa yang menjadi keinginannya bila ayahnya memberi persetujuan atau memberi restunya.

Bila kita mencoba melukiskan ciri-ciri kepribadian Kartini (dalam hal ini hanya berdasarkan surat-suratnya) maka dia dapat digambarkan sebagai seorang gadis Jawa yang mempunyai kepribadian istimewa. Ciri-ciri kepribadian Kartini: cerdas, berbakat, bersikap kritis terhadap kepincangan-kepincangan yang ada dalam lingkungan sosialnya, berani menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dan menunjukkan sikap yang independen, berperasaan halus serta tidak lekas menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan.

Kasus Kartini melukiskan kepada kita bagaimana gadis Jawa ini, yang hidup di dalam zaman dimana tradisi Jawa dan orang-orang di dalam lingkungannya menuntut secara kuat daripadanya agar menyesuaikan diri pada tuntutan-tuntutan tersebut, telah menunjukkan sikap pantang mundur dalam mengejar cita-citanya. 

Dia telah berani memilih sikap untuk tidak begitu saja tunduk pada apa yang diharapkan dari dirinya sebagai seorang gadis Jawa yang terikat oleh tradisi. Selanjutnya yang bisa kita tarik dari kasus Kartini ini ialah bahwa dalam mengambil keputusan yang penting dia lebih mementingkan untuk tetap memelihara  hubungan harmonis dengan orang yang dia cintai, yakni ayahnya, daripada memaksakan terlaksanannya keinginan-keinginan sendiri saja.

Dalam kehidupan zaman sekarang kita juga bersama-sama mengalami bahwa berkat sifat-sifatnya, keyakinannya dan semangatnya, Kartini telah ditampilkan sebagai salah satu sosok wanita ideal, wanita yang pantas kita teladani dalam sifat dan perilakunya.  Selamat memperingati Kartini, mengenang kepribadiannya dan merefleksikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Merdeka !!!

***
Solo, Sabtu, 21 April 2018
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo
ilustrasi: dokpri

0 comments:

Posting Komentar