Welcome...Selamat Datang...

Minggu, 29 Juli 2018

Ambisi Kekuasaan dan Intoleransi


Situasi intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini memang sungguh semakin mencemaskan. Sedikit saja terjadi perbedaan cara bersosialisasi, perbedaan pendapat, perbedaan penafsiran  maupun perbedaan sudut pandang dalam menyikapi persoalan bisa berimbas pada chaos.

Kemarahan gampang tersulut dan selanjutnya pengerahan massa menjadi cara melampiaskannya. Mayoritas kebengisan menjadi senjata untuk memaksakan kehendak dan memusuhi perbedaan.

Apabila kita sudah merasa menjadi diri yang hidup beradab semestinya pemaksaan kehendak tidak perlu terjadi. Akibat dari hal ini sebegitu parah dan mencemaskan, hingga banyak pihak serta komunitas perlu mengingatkan kembali tentang pentingnya menghargai perbedaan dan keberagaman.

Pendidikan mulai dari tingkat dasar secara terencana mengadakan aksi kunjungan ke rumah-rumah ibadat dari berbagai agama yang hidup di negeri ini. Menggalakkan kesadaran untuk menghargai kehidupan beragama, khususnya peribadatan yang dijalankan oleh masing-masing umat agama yang ada. Sungguh kegiatan yang bagus demi persatuan dan kesatuan bangsa. 

Terkait ritual ibadatnya, masing-masing aktifitas keagamaan sampai-sampai harus  membuat tema khusus untuk mengingatkan pentingnya menghargai perbedaan dan keberagaman. Haruskah sampai sedemikian sibuk dan ribetnya? Bahkan pemerintah pun sampai harus mengeluarkan peringatan pelarangan penggunaan rumah ibadat untuk kegiatan berpolitik praktis.

Sesungguhnya sikap mempermasalahkan perbedaan alias intoleransi tidak harus terjadi di negeri ini. Semenjak negeri ini dibentuk kita semua tahu bahwa keberagaman menjadi pondasinya. Dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah final menjadi kesepakatan kita bersama dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna sesungguhnya kita menyadari bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa kita sangkal atau kita tolak. Tuhan menciptakan kita dengan keunikan pribadi kita masing-masing sesuai dengan kehendak-Nya. Tak ada satupun dari kita yang diciptakan sama persis dalam ujud diri, talenta maupun karakternya. Yang pasti dan jelas sama adalah bahwa kita menghirup udara yang sama dan tinggal di bumi yang sama. Itulah yang dihayati dan diimani oleh semua pemeluk agama apa pun yang ada di dunia ini.

Tuhan memang memberi manusia satu karunia yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh ciptaan-Nya yang lain, yakni kehendak bebas. Namun dengan karunia kehendak bebas inilah manusia lalu sering bertindak seenaknya. Jika demikian, apakah lalu kita menyalahkan Sang Pecipta atas karunia itu? Tentu saja tidak.

Kita tidak bisa membayangkan hidup kita seandainya tanpa karunia kehendak bebas, kita akan menjadi seperti robot-robot yang tak memiliki jatidiri dan tidak mampu bertindak menurut keputusan kita sendiri. Jadi kita wajib mensyukuri karunia itu dan itulah yang memunculkan keberagaman dalam kehidupan.

Di sisi lain, karunia kehendak bebas memunculkan sikap egois mau menang sendiri. Dengan kebebasannya sebagian manusia terus berusaha meraih ambisinya, secara khusus ambisi kekuasaan. Ambisi kekuasaan inilah yang menimbulkan sikap intoleransi berkembang di masyarakat kita.

Dengan penyelewengan dalam memaknai politik, ambisi kekuasaan semakin berkembang. Agama digunakan sebagai kendaraan politik. Perbedaan tidak dikembangkan sebagai sesuatu yang dihargai dan diterima sebagai keniscayaan melainkan justru dipersoalkan demi meraih kekuasaan kelompok tertentu.  Perbedaan dan keberagaman digunakan oleh para politisi busuk berorientasi kekuasaan sebagai sarana untuk mengadu domba dan  kemudian berlagak sebagai pahlawan penyelamat.

Jadi, sesungguhnya yang bermasalah bukanlah para generasi muda dan lalu harus dibuat repot untuk ikut berkampanye gerakan menghargai perbedaan seperti tersebut di atas. Karena sesungguhnya dalam pendidikan mereka sejak  awal sudah dibukakan wawasannya tentang perbedaan.

Pemahaman tentang perbedaan dan keberagaman berlangsung dalam pendidikan karakter dan juga dalam kehidupan beragama masing-masing. Memang dalam perjalanan hidup kita, faktanya para politisi busuklah yang menebar racun intoleransi.

Dengan kondisi yang seperti ini maka seharusnya gerakan kita sebaiknya justru lebih terfokus memerangi secara massive para politisi busuk. Kita harus peka terhadap hasutan-hasutan yang intoleran dan memecah belah bangsa.

Ambisi kekuasaan para politisi busuk harus kita hadapi dengan sikap kritis, terus menerus mendidik diri  dengan tidak mudah tersulut emosi dan terpecah belah. Mendukung pemerintah yang sah yang sudah nyata berusaha menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta semakin memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Perbedaan, keberagaman dan kebebasan harus kita maknai dan hayati sebagai karunia yang luar biasa. Kita mesti bersyukur dengan keberagaman yang ada. Keberagaman sesungguhnya menjadi dasar terbentuknya mozaik indah kehidupan. Merdeka!!!

***
Solo, Senin, 16 April 2018
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
ilustrasi: satuislam.org

0 comments:

Posting Komentar