Welcome...Selamat Datang...

Jumat, 20 September 2013

Penyakit Agama


Mungkin terasa aneh tetapi ini kenyataan yang terjadi di masyarakat kita, ada mentalitas salah yang muncul justru dari tempat suci, seperti Bait Allah, Klenteng, Gereja dan Masjid. Mentalitas beragama yang salah ini bisa juga kita sebut dengan “penyakit agama”.

Para penderita “penyakit agama” biasanya terkesan saleh, khusuk dalam doa, serius dalam ibadah dan dan tertib dalam upacara keagamaan. Bagi mereka agama dan segala urusan yang berhubungan dengannya merupakan segala-galanya. Dari mulut mereka mudah keluar kata-kata doa atau sebutan nama Allah. Perilaku mereka erat dengan kegiatan keagamaan. Sebagian hidup mereka terisi dengan hal-hal yang religius. Mereka sangat fanatik dengan agama mereka. Namun di sela segala ucapan, perbuatan dan hidup mereka itu, terdapat kemunafikan. Dalam kehidupan mereka tidak jarang melawan akal sehat, melanggar keadilan dan merusak cinta kasih. Semua itu ditutup dengan nama agama.

Dalam jiwa para penderita “penyakit agama”, sesungguhnya terjadi pertentangan hebat antara pengetahuan dan pelaksanaan agama; antara yang dipahami dan yang dilakukan; antara teori dan praktek keagamaan. Ketidaksesuaian antara ajaran dan pelaksanaan agama ini membuat perasaan tidak nyaman. Sikap munafik ini membuat penderita seolah-olah dikejar oleh berbagai ejekan dan tertawaan masyarakat sekeliling mereka. Situasi batin ini terasa menekan dan penderita “penyakit agama” berusaha melepaskan diri dari perang batin itu.

Untuk mengatasi situasi batin yang terjepit itu, penderita “penyakit agama” mengambil gaya hidup suci dan berlagak saleh sebagai jalan keluar. Selanjutnya mereka sangat sering memberi nasehat moral, koreksi atas tutur kata dan perbuatan-perbuatan serta pemikiran-pemikiran yang mereka anggap salah. Mereka juga cepat menyampaikan kritik tajam atas kehidupan masyarakat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mereka menampilkan diri sebagai nabi yang suka berkhotbah dan mengobral kecaman-kecaman berani.

Tetapi hidup mereka sendiri sangat tidak bermutu. Mereka tidak berminat memperluas cakrawala hidup. Mereka tidak berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka.. Mereka tidak tampak membina kepribadian mereka dengan mendisiplinkan diri dan mengisinya dengan aktifitas yang berarti. Dalam penampilan mereka, mereka lebih menonjol sebagai manusia yang tidak memiliki cita-cita yang mau diraih atau nilai-nilai yang diperjuangkan. Mereka seperti tidak tahu apa arti hidup ini dan bagaimana mengisinya dengan baik. Mereka tidak mampu mengambil peranan yang berarti dalam hidup masyarakat. Hal ini bisa dimengerti, karena bakat, kemampuan, kepribadian mereka tidak berkembang. Sehingga di mata masyarakat mereka tampak sebagai manusia asing, yang tidak mau dan tidak mampu terlibat dalam suka duka masyarakat mereka.

Akibat praktek hidup penderita “penyakit agama” ini, nilai-nilai agama benar-benar merosot. Agama lalu dicap sebagai biang keladi keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan dalam masyarakat. Agama bukan lagi merupakan media pertemuan manusia dengan Allah yang membahagiakan. Agama bukan lagi menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk memajukan hidup iman, moralitas dan kemanusiaan.

Untuk membebaskan diri dari sikap dan cara hidup keagamaan yang tidak sehat itu, para penderita “penyakit agama” perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
  • Penghayatan dan pengamalan agama yang benar mendorong manusia untuk memperkembangkan anugerah-anugerah Tuhan dalam diri sendiri, dalam sesama, dalam masyarakat dan dalam dunia. Praktik agama yang benar membawa kebahagiaan. Sebab hakekat beragama adalah hidup bersama Tuhan dan ikut mengambil bagian dalam karya Tuhan mencintai manusia dan dunianya.
  • Kebaikan tidak terdapat pada tindakan yang terlihat baik saja, tetapi pada tindakan yang betul-betul mengangkat mutu hidup pribadi dan sesamanya.
  • Menghadapi perbuatan manusia, kita manusia seringkali hanya dapat menangkap segi lahiriahnya saja. Oleh karena itu kita tidak berhak mengadili secara kejam. Apalagi, hanya mengutuk dan mengecam saja, kita tidak menyelesaikan persoalan. Kita akan banyak membantu orang lain menuju ke kebaikan, kalau kita lebih membina sikap memahami dan simpati terhadap orang lain. Dengan sikap itu, kita dapat menolong orang lain memperbaiki kesalahan mereka, tanpa merendahkan mereka. Kita dapat membenci kesalahan dan dosa mereka, tetapi tetap mencintai mereka.
Demikianlah, apabila penderita “penyakit agama” berhasil mengatasi sumber penyakit mereka, mereka akan berubah menjadi manusia yang tidak hanya memberi kesan saleh, tetapi betul-betul saleh. Semuanya tampak bukan hanya dalam kata-kata, melainkan dalam perbuatan mereka yang memberi manfaat. Penderita “penyakit agama” sudah memiliki bakat untuk menjadi manusia religius. Selanjutnya tinggal mereka menjernihkan pengertian agama mereka dan penghayatannya. Nah, apabila demikian, mereka akan menjadi reklame yang hidup untuk mempromosikan penghayatan agama yang otentik dalam masyarakat. Semoga.

Salam damai penuh cinta.

***
Solo, Jumat, 21 Juni 2013
Suko Waspodo
antologi puisi suko
Sumber bacaan: How to Use Your Complexes by J. Maurus

0 comments:

Posting Komentar