Mungkin terasa aneh
tetapi ini kenyataan yang terjadi di masyarakat kita, ada mentalitas
salah yang muncul justru dari tempat suci, seperti Bait Allah, Klenteng,
Gereja dan Masjid. Mentalitas beragama yang salah ini bisa juga kita
sebut dengan “penyakit agama”.
Para penderita
“penyakit agama” biasanya terkesan saleh, khusuk dalam doa, serius dalam
ibadah dan dan tertib dalam upacara keagamaan. Bagi mereka agama dan
segala urusan yang berhubungan dengannya merupakan segala-galanya. Dari
mulut mereka mudah keluar kata-kata doa atau sebutan nama Allah.
Perilaku mereka erat dengan kegiatan keagamaan. Sebagian hidup mereka
terisi dengan hal-hal yang religius. Mereka sangat fanatik dengan agama
mereka. Namun di sela segala
ucapan, perbuatan dan hidup mereka itu, terdapat kemunafikan. Dalam
kehidupan mereka tidak jarang melawan akal sehat, melanggar keadilan dan
merusak cinta kasih. Semua itu ditutup dengan nama agama.
Dalam jiwa para
penderita “penyakit agama”, sesungguhnya terjadi pertentangan hebat
antara pengetahuan dan pelaksanaan agama; antara yang dipahami dan yang
dilakukan; antara teori dan praktek keagamaan. Ketidaksesuaian antara
ajaran dan pelaksanaan agama ini membuat perasaan tidak nyaman. Sikap
munafik ini membuat penderita
seolah-olah dikejar oleh berbagai ejekan dan tertawaan masyarakat
sekeliling mereka. Situasi batin ini terasa menekan dan penderita
“penyakit agama” berusaha melepaskan diri dari perang batin itu.
Untuk mengatasi
situasi batin yang terjepit itu, penderita “penyakit agama” mengambil
gaya hidup suci dan berlagak saleh sebagai jalan keluar. Selanjutnya
mereka sangat sering memberi nasehat moral, koreksi atas tutur kata dan
perbuatan-perbuatan serta pemikiran-pemikiran yang mereka anggap salah.
Mereka juga cepat menyampaikan kritik tajam atas kehidupan masyarakat
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mereka menampilkan diri sebagai
nabi yang suka berkhotbah dan mengobral kecaman-kecaman berani.
Tetapi hidup mereka
sendiri sangat tidak bermutu. Mereka tidak berminat memperluas cakrawala
hidup. Mereka tidak berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka..
Mereka tidak tampak membina kepribadian mereka dengan mendisiplinkan
diri dan mengisinya dengan aktifitas yang berarti. Dalam penampilan
mereka, mereka lebih menonjol sebagai manusia yang tidak memiliki
cita-cita yang mau diraih atau nilai-nilai yang diperjuangkan. Mereka
seperti tidak tahu apa arti hidup ini dan bagaimana mengisinya dengan
baik. Mereka tidak mampu mengambil peranan yang berarti dalam hidup
masyarakat. Hal ini bisa dimengerti, karena bakat, kemampuan,
kepribadian mereka tidak berkembang. Sehingga di mata masyarakat mereka
tampak sebagai manusia asing, yang tidak mau dan tidak mampu terlibat
dalam suka duka masyarakat mereka.
Akibat praktek hidup
penderita “penyakit agama” ini, nilai-nilai agama benar-benar merosot.
Agama lalu dicap sebagai biang keladi keterbelakangan, kebodohan dan
kemiskinan dalam masyarakat. Agama bukan lagi merupakan media pertemuan
manusia dengan Allah yang membahagiakan. Agama bukan lagi menjadi sumber
inspirasi dan kekuatan untuk memajukan hidup iman, moralitas dan
kemanusiaan.
Untuk membebaskan diri
dari sikap dan cara hidup keagamaan yang tidak sehat itu, para
penderita “penyakit agama” perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
- Penghayatan dan pengamalan agama yang benar mendorong manusia untuk memperkembangkan anugerah-anugerah Tuhan dalam diri sendiri, dalam sesama, dalam masyarakat dan dalam dunia. Praktik agama yang benar membawa kebahagiaan. Sebab hakekat beragama adalah hidup bersama Tuhan dan ikut mengambil bagian dalam karya Tuhan mencintai manusia dan dunianya.
- Kebaikan tidak terdapat pada tindakan yang terlihat baik saja, tetapi pada tindakan yang betul-betul mengangkat mutu hidup pribadi dan sesamanya.
- Menghadapi perbuatan manusia, kita manusia seringkali hanya dapat menangkap segi lahiriahnya saja. Oleh karena itu kita tidak berhak mengadili secara kejam. Apalagi, hanya mengutuk dan mengecam saja, kita tidak menyelesaikan persoalan. Kita akan banyak membantu orang lain menuju ke kebaikan, kalau kita lebih membina sikap memahami dan simpati terhadap orang lain. Dengan sikap itu, kita dapat menolong orang lain memperbaiki kesalahan mereka, tanpa merendahkan mereka. Kita dapat membenci kesalahan dan dosa mereka, tetapi tetap mencintai mereka.
Demikianlah, apabila penderita “penyakit agama” berhasil
mengatasi sumber penyakit mereka, mereka akan berubah menjadi manusia
yang tidak hanya memberi kesan saleh, tetapi betul-betul saleh. Semuanya
tampak bukan hanya dalam kata-kata, melainkan dalam perbuatan mereka
yang memberi manfaat. Penderita “penyakit agama” sudah
memiliki bakat untuk menjadi manusia religius. Selanjutnya tinggal
mereka menjernihkan pengertian agama mereka dan penghayatannya. Nah,
apabila demikian, mereka akan menjadi reklame yang hidup untuk
mempromosikan penghayatan agama yang otentik dalam masyarakat. Semoga.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Jumat, 21 Juni 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar