Welcome...Selamat Datang...

Kamis, 16 Juli 2020

Ibukota Negara RI Pindah, Why Not?


Pemindahan ibukota negara RI nampaknya segera berubah dari wacana menjadi kenyataan. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa. Hal itu diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibukota di kantor presiden, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 29 April 2019, kemarin.

Jakarta memang semakin tak layak lagi sebagai gerbang utama atau 'ruang tamu' pemerintahan negeri ini. Sebagai sebuah negara yang semakin diperhitungkan dalam percaturan dunia memang menjadi keniscayaan apabila memiliki sebuah ibukota yang lebih ramah dalam banyak hal. Lingkungan yang nyaman, aman dan strategis secara geografis merupakan kebutuhan yang tak bisa disepelekan, apabila kita ingin dinilai sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat.

Jakarta yang semrawut, macet, terendam banjir menjadi bagian dari alasan kepindahan ini. Penataan untuk memperbaiki ibukota sebenarnya sudah dimulai di era gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, tetapi tidak berlanjut manakala Basuki harus terkapar kalah dalam pertempuran politik memperebutkan kursi DKI-1 pada periode keduanya. Kalah secara menyakitkan oleh Anis Baswedan.

Tetapi yang lebih menyakitkan lagi bagi bangsa ini ialah bahwa Anis tidak melanjutkan program yang sudah ditata oleh gubernur sebelumnya, tetapi malah memporakporandakannya dengan aturan baru yang amburadul. Semua hanya karena gengsi tak mau memakai program penataan yang sudah diterapkan oleh Basuki alias Ahok.

Bagi sebagian masyarakat Jakarta pemindahan ini bisa jadi terasa pahit dan menyakitkan. Mungkin ada sisi kebanggaan yang akan hilang karena tidak bisa merasa menjadi penduduk ibukota. Bagi para pemerhati sejarah dan budayawan mungkin akan menganggap bahwa ini akan terasa melupakan sejarah.

Namun kita mesti ingat bahwa sejarah Jakarta atau Batavia sesungguhnya justru sejarah pahit karena lewat kota inilah kekayaan negeri ini pada jaman itu diangkut keluar oleh para penjajah serta VOC. Selain itu penataannya pada zaman ordebaru juga terkesan asal-asalan. Sekadar semakin memperbanyak gedung pencakar langit yang tampak wah dan modern namun mengabaikan tata ruang yang tertib dan konsisten.

Kemegahan bangunan modern memang sangat pesat pembangunannya namun di sisi lain, lalu lintas tidak tertata dengan tertib, drainase pun asal-asalan. Ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota kurang diperhatikan. Maka akibatnya Jakarta menjadi kota yang semakin macet dan selalu dilanda banjir yang semakin parah. Secara ekonomi pasti menjadi suatu pemborosan yang luar biasa.

Seperti kita ketahui bahwa wacana pemindahan ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1957 oleh Bung Karno. Pada waktu itu presiden Soekarno sudah meletakkan master plan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Palangkaraya dinilai strategis karena lokasinya berada di tengah-tengah Indonesia dan dunia. Hal ini juga sesuai dengan gagasan Bung Karno untuk melaksanakan komitmen menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu Palangkaraya dalam sejarahnya juga termasuk kota yang relatif tidak rawan bencana.

Bagi pelaku ekonomi tidak perlu terlalu cemas dengan pemindahan ini karena Jakarta justru akan fokus menjadi kota bisnis, layaknya New York, Osaka atau Bombay, untuk menyebut sedikit contohnya. Lagi pula infrastruktur bisnis memang justru yang selama ini sudah tertata dan diutamakan untuk Jakarta sebagai kota bisnis dan industri.

Masyarakat Jakarta, khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya selayaknya mendukung program pemindahan ibukota negara RI ini. Pemerintah dan warga Kalimantan Tengah, khususnya kota Palangkaraya, tampaknya perlu segera berbenah untuk program pemerintah yang penting dan mendesak  ini.

***
Solo, Selasa, 30 April 2019. 11:00 am
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
antologi puisi suko
kompasiana
pepnews
ilustr: NusantaraNews

0 comments:

Posting Komentar