Welcome...Selamat Datang...

Kamis, 19 September 2013

Antara Mahasiswa Demonstran dan Penulis Kritik Tanpa Jatidiri, Siapa yang Lebih Pengecut?

Saya membandingkan situasi atau perilaku itu karena mengamati situasi perpolitikan negeri ini yang semakin memanas menjelang pemilu 2014. Semakin banyak orang menjadi pengamat dan kritikus politik, khususnya di dunia maya. Semakin banyak dan beragam namun sayangnya tidak mau menunjukkan jatidirinya. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para mahasiswa demonstran.

Para mahasiswa demonstran relatif lebih pemberani. Dalam hal ini yang saya maksud tentu para demonstran yang masih murni dengan idealismenya sebagai mahasiswa. Mereka yang bebas dari kepentingan partai maupun kelompok tertentu dan masih memiliki kepedulian terhadap carut marut pengelolaan negeri ini. Mereka lebih berani berkorban apapun, waktu, tenaga dan pikiran. Bukan demi kepentingan diri sendiri melainkan demi kepentingan rakyat negeri ini. Mereka rela berpanas-panas, kemungkinan terkena pukulan aparat keamanan dan kemungkinan tersemprot gas air mata bahkan terkena peluru tajam. Bukankah sangat pemberani mereka? Padahal apa yang ingin mereka raih? Mewujudkan negeri ini yang berubah menjadi lebih baik bagi rakyatnya. Sungguh mulia.

Dilain pihak seperti saya awali di atas para penulis kritik politik di dunia maya banyak yang justru pengecut. Padahal mungkin mereka justru memiliki latar belakang pendidikan yang sudah melebihi para mahasiswa. Mereka tidak mau menampilkan jatidirinya alias tidak jujur. Mengkritisi situasi yang tidak jujur tapi dengan cara yang tidak jujur. Sungguh aneh. Kenyataanya, berbeda dengan para mahasiswa, mereka sebagian sarat dengan kepentingan pribadi, kelompok dan bahkan partai. Saling menghujat dan mencaci tapi tidak mau unjuk diri. Bukankah ini pengecut? Para penulis kritik sebenarnya kalau menyebutkan jatidirinya pun toh tidak akan terkena semprot gas air mata atau pun peluru tajam kan? Tetapi itulah kenyataan sikap pengecut mereka. Seharusnya mereka malu kalau mereka mau membandingkan diri dengan tindakan para mahasiswa.

Dalam kesempatan ini saya sampaikan salut dan acungan empat jempol untuk saudari-saudaraku yang menulis kritik dengan elegan dan santun. Jujur menunjukkan jatidirinya. Negeri ini membutuhkan sikap kritis anda. Walau kadang terasa getir dan terasa seperti berteriak-teriak di padang gurun. Tak ada yang peduli dengan kritik dan saran anda. Namun bukankah lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada hanya mengutuk kegelapan?

Akhirnya saya hanya bisa berharap agar semakin banyak yang mengkritisi dan memberi sumbangsaran terhadap perbaikan negeri ini, namun dengan cara yang santun dan jujur. Para mahasiswa dengan semangat muda dan idealismenya biarlah bergerak di lapangan berdemonstrasi dengan jujur dan tulus. Sementara yang relatif sudah tua dan bukan mahasiswa lagi bisa terus melampiaskan kegeraman terhadap situasi ini dengan menulis dan mengkritisi. Tentu boleh saja yang tua ikut demo dilapangan atau sebaliknya mahasiswa menulis di media. Yang penting semua dilakukan dengan jujur dan tulus. Selamat berjuang demi perbaikan negeri kita tercinta.

Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 4 April 2013
Suko Waspodo

0 comments:

Posting Komentar