Kasus buku tidak bermutu dan tidak bermoral kembali mengenai peserta didik kita. Kali
ini tentang muatan yang berbau porno dan sensual di buku pelajaran.
Beberapa waktu yang lalu juga pernah terjadi adanya masalah muatan SARA.
Singkatnya di era reformasi ini sudah beberapa kali kasus muatan buku
yang tidak mendidik terjadi. Hal ini sering terjadi karena sekolah
diberi kebebasan untuk memilih sendiri buku pelajaran atau buku
pelengkap sendiri.
Karena kebebasan yang
diberikan oleh Kemendikbud ini membuat semakin banyak industri
penerbitan buku yang muncul. Penerbitan buku menjadi lahan yang
menggiurkan. Mereka menerbitkan buku pelajaran, buku penunjang dan
Lembar Kerja Siswa (LKS) dan selanjutnya ditawarkan ke sekolah. Para
guru dan terutama Kepala Sekolah diiming-imingi komisi yang cukup besar
dari harga buku yang nantinya dikenakan kepada para peserta didik.
Biasanya komisinya bisa sekitar 30 sampai dengan 40 persen dari harga
buku. Tentu saja jumlah ini menggiurkan bagi para guru sekolah yang
jumlah peserta didiknya cukup besar. Maka yang terjadi adalah begitu
banyaknya buku penunjang atau LKS dalam setiap bidang studi yang
diwajibkan kepada peserta didik.
Sebenarnya buku
penunjang diperlukan tetapi yang menjadi masalah adalah muatannya yang
sering tidak mendidik dan bahkan membahayakan seperti kejadian selama
ini. Sekolah tidak selektif dalam memilih buku yang digunakan dan di
lain pihak penerbitnya juga penerbit yang asal-asalan yang tidak
memepertimbangkan muatan pendidikan dan cenderung membahayakan peserta
didik. Kemungkinan besar penulis bukunya atau tim penulisnya bukan dari
kalangan pendidik atau yang punya latar belakang ilmu paedagogi atau
bahkan tidak memahami psikologi pendidikan. Bisa terjadi pula buku
tersebut tidak diedit dahulu oleh pakar yang terkait atau dari pihak
Kemendikbud.
Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya lagi persoalan buku pelajaran yang tidak mendidik
ini sebaiknya pemerintah melalui Kemendikbud mencoba menerapkan
beberapa kemungkinan di bawah ini:
- Pemerintah menentukan buku-buku pelajaran yang wajib digunakan dan apabila perlu pemerintah menerbitkan sendiri buku-buku tersebut dengan menunjuk rekanan penerbit dengan catatan tim penulis buku dan editornya pemerintah ikut campur tangan sehingga isi dan kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan.
- Kalau pemerintah masih memberi kebebasan kepada sekolah untuk memilih buku pelajarannya sendiri, pemerintah sebaiknya mewajibkan sekolah agar melibatkan Komite Sekolah dalam pemilihan buku pelajaran, sehingga para orangtua peserta didik bisa ikut memantau kualitas buku yang dipilih. Bukan melulu melalui keputusan Kepala Sekolah apalagi langsung membeli lewat guru bidang studi yang bersangkutan.
- Pemerintah juga dapat menerapkan pelarangan bagi guru dan bahkan kepala sekolah untuk menjual buku di sekolah. Prinsipnya melarang para guru, apalagi Kepala Sekolah, menjadi kepanjangan tangan penerbit buku. Tugas mereka mendidik bukan menjadi penjual buku.
- Pemerintah, khususnya Kemendikbud, menerapkan keharusan pengeditan oleh pihak Kemendikbud pada setiap buku pelajaran yang akan diterbitkan oleh penerbit mana pun.
Apabila hal-hal tersebut dicoba diterapkan, kemungkinan tidak
akan terjadi kasus-kasus penggunaan buku yang tidak mendidik lagi dan
bahkan akan bisa memutus praktek mafia pendidikan terkait buku di
sekolah. Para peserta didik tidak menjadi korban bisnis percetakan atau
penerbitan yang tidak sehat seperti selama ini.
Demikian tulisan
singkat ini sekedar sebagai sedikit masukan terkait masalah pemilihan
atau penyediaan buku pelajaran di sekolah. Semoga bisa menjadi bahan
pertimbangan.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Jumat, 12 Juli 2013.
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar