Welcome...Selamat Datang...

Jumat, 03 Agustus 2018

Tradisi Ganti Buku Mata Pelajaran


Memasuki tahun ajaran baru selalu terjadi tradisi tahunan yang berulang. Tradisi biasanya memuat perilaku berulang yang baik dan penting untuk diteladani, tetapi tidak demikian halnya dengan tradisi untuk ganti buku baru panduan mata pelajaran.

Wajib ganti buku panduan mata pelajaran atau bidang studi sesungguhnya tidak perlu terjadi apabila muatan materi serta kurikulumnya masih sama, dan yang terjadi adalah hanya berganti penerbit saja. Inilah bukti nyata praktek 'pendidikan sebagai kapitalis yang licik' seperti kata Paulo Freire.

Tradisi ganti buku baru seperti tersebut di atas mulai marak sekitar awal 90-an. Pada tahun-tahun sebelumnya masih sering terjadi siswa-siswi menggunakan kembali buku-buku pelajaran yang pernah dipakai kakak atau abangnya, atau memakai buku bekas dari saudara atau tetangga. Selain itu sekolah juga menyediakan buku-buku (dulu istilahnya buku paket) yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Pusat, untuk bisa dipinjam oleh siswa-siswi sesuai kebutuhan selama tahun ajaran yang berlangsung.

Pada waktu itu anjuran ganti buku baru hanya apabila terjadi muatan materi baru yang berbeda, yang dianggap lebih berbobot dan aktual. Buku-buku yang bersinggungan dengan sosial politik biasanya sering berganti, misalnya buku sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila. Buku-buku ilmu pasti relatif jarang ganti karena muatannya masih dianggap memenuhi kebutuhan.

Tradisi lama tidak sering ganti buku pelajaran ini terbukti bukan tradisi yang buruk dan tidak bermutu. Buktinya para pengelola negeri ini saat ini, juga negarawan sekelas presiden Jokowi, adalah produk tradisi pendidikan tidak sering ganti buku baru.

Sudah saatnya tradisi buruk ganti buku baru yang isinya sama dengan buku lama dihapuskan. Perlu diterapkan lagi penggunaan buku paket yang disediakan oleh pemerintah untuk bisa dipinjamkan ke siswa-siswi. Penggunaan buku bekas pakai kakak kelas juga seperlunya diijinkan sebatas buku tersebut masih layak digunakan.

Penerapan tradisi tidak sering ganti buku pelajaran sangat banyak manfaatnya. Paling utama adalah memutus unsur pemaksaan yang didasari praktik bisnis, yang hanya menguntungkan penerbit dan para guru atau sekolah yang bertindak sebagai 'reseller' buku untuk memperoleh komisi.  Lebih lanjut yang tidak kalah pentingnya  dan mungkin tidak menjadi perhatian kita, adalah bahwa dengan menghemat pencetakan buku berarti kita turut melestarikan lingkungan hidup. Fakta tak terbantahkan bahwa  buku dicetak dengan bahan pulp kayu yang jumlahnya tidak sedikit.

Era digital juga sudah memungkinkan kita untuk menggunakan buku panduan pelajaran dalam bentuk e-book. E-book tentu saja sangat ramah lingkungan dan hemat karena bisa diperoleh dalam bentuk soft copy. Era paperless memang sudah selayaknya menjadi tradisi baru dalam pendidikan kita yang semakin maju.

Demikianlah sedikit sumbang saran untuk perbaikan teknis proses belajar mengajar khususnya terkait tradisi buruk tahunan ganti buku panduan baru untuk setiap mata pelajaran atau bidang studi. Semoga ulasan kecil  ini bisa menjadi bahan pemikiran dan perubahan demi kemajuan sistem pendidikan di negeri ini. Merdeka !!!

Salam damai penuh cinta.

***
Solo, Kamis, 19 Juli 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: Pustaka Digital 

0 comments:

Posting Komentar