Memasuki tahun ajaran baru selalu terjadi tradisi tahunan yang
berulang. Tradisi biasanya memuat perilaku berulang yang baik dan
penting untuk diteladani, tetapi tidak demikian halnya dengan tradisi
untuk ganti buku baru panduan mata pelajaran.
Wajib ganti buku
panduan mata pelajaran atau bidang studi sesungguhnya tidak perlu
terjadi apabila muatan materi serta kurikulumnya masih sama, dan yang
terjadi adalah hanya berganti penerbit saja. Inilah bukti nyata praktek
'pendidikan sebagai kapitalis yang licik' seperti kata Paulo Freire.
Tradisi
ganti buku baru seperti tersebut di atas mulai marak sekitar awal
90-an. Pada tahun-tahun sebelumnya masih sering terjadi siswa-siswi
menggunakan kembali buku-buku pelajaran yang pernah dipakai kakak atau
abangnya, atau memakai buku bekas dari saudara atau tetangga. Selain itu
sekolah juga menyediakan buku-buku (dulu istilahnya buku paket) yang
diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Pusat, untuk bisa dipinjam oleh
siswa-siswi sesuai kebutuhan selama tahun ajaran yang berlangsung.
Pada
waktu itu anjuran ganti buku baru hanya apabila terjadi muatan materi
baru yang berbeda, yang dianggap lebih berbobot dan aktual. Buku-buku
yang bersinggungan dengan sosial politik biasanya sering berganti,
misalnya buku sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila. Buku-buku ilmu
pasti relatif jarang ganti karena muatannya masih dianggap memenuhi
kebutuhan.
Tradisi lama tidak sering ganti buku pelajaran ini
terbukti bukan tradisi yang buruk dan tidak bermutu. Buktinya para
pengelola negeri ini saat ini, juga negarawan sekelas presiden Jokowi,
adalah produk tradisi pendidikan tidak sering ganti buku baru.
Sudah
saatnya tradisi buruk ganti buku baru yang isinya sama dengan buku lama
dihapuskan. Perlu diterapkan lagi penggunaan buku paket yang disediakan
oleh pemerintah untuk bisa dipinjamkan ke siswa-siswi. Penggunaan buku
bekas pakai kakak kelas juga seperlunya diijinkan sebatas buku tersebut
masih layak digunakan.
Penerapan tradisi tidak sering ganti buku
pelajaran sangat banyak manfaatnya. Paling utama adalah memutus unsur
pemaksaan yang didasari praktik bisnis, yang hanya menguntungkan
penerbit dan para guru atau sekolah yang bertindak sebagai 'reseller'
buku untuk memperoleh komisi. Lebih lanjut yang tidak kalah pentingnya
dan mungkin tidak menjadi perhatian kita, adalah bahwa dengan
menghemat pencetakan buku berarti kita turut melestarikan lingkungan
hidup. Fakta tak terbantahkan bahwa buku dicetak dengan bahan pulp kayu
yang jumlahnya tidak sedikit.
Era digital juga sudah memungkinkan kita untuk menggunakan buku panduan pelajaran dalam bentuk e-book. E-book tentu saja sangat ramah lingkungan dan hemat karena bisa diperoleh dalam bentuk soft copy. Era paperless memang sudah selayaknya menjadi tradisi baru dalam pendidikan kita yang semakin maju.
Demikianlah
sedikit sumbang saran untuk perbaikan teknis proses belajar mengajar
khususnya terkait tradisi buruk tahunan ganti buku panduan baru untuk
setiap mata pelajaran atau bidang studi. Semoga ulasan kecil ini bisa
menjadi bahan pemikiran dan perubahan demi kemajuan sistem pendidikan di
negeri ini. Merdeka !!!
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 19 Juli 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: Pustaka Digital
0 comments:
Posting Komentar