Kemampuan untuk mendengarkan suara hati dan untuk bertindak sesuai
dengannya tergantung pada apakah kita mampu membebaskan diri dari
penguasaan oleh berbagai macam perasaan dan dorongan irrasional
yang terus menerus merongrong kesatuan tekad kita. Tatkala misalnya
nafsu-nafsu condong untuk menguasai kita sehingga kita melakukan hal-hal
yang kemudian kita sadari sebagai rendah atau merendahkan.
Di antara dorongan-dorongan irrasional
itu termasuk perasaan takut terutama terhadap orang lain, yang membuat
kita tidak berani menentang bujukan busuk dari lingkungan dan tidak
sanggup untuk mengambil sikap secara mandiri. Kekhawatiran bahwa kita
akan dikritik, ditegur atau ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat
dengan kita. Nafsu untuk memiliki dan menguasai. Perasaan malas,
malu-malu, dendam, iri, dengki, benci, dan banyak perasaan lain lagi.
Semua
perasaan, kecondongan dan nafsu itu cenderung untuk mencegah kita dari
mendengarkan suara hati kita karena seakan-akan mengikat perhatian kita
sepenuhnya dan membuat kita tidak lagi terbuka bagi kesadaran-kesadaran
hati yang lebih halus, seperti kesadaran akan tanggung jawab kita
sebagai manusia. Dikuasai oleh perasaan-perasaan irrasional itu
adalah mirip dengan orang yang panik, yang sudah tidak dapat melihat
dan mendengarkan apa pun karena ia seluruhnya digenggam oleh naluri buta
untuk lari menyelamatkan diri.
Perasaan-perasaan dan
kecondongan-kecondongan itu tentu biasanya tidak sedemikian mutlak
mencekam kita, namun semua cenderung untuk semakin menguasai kita. Oleh
sebab itu, sebagaimana kita pernah mengalami, kebebasan eksistensial
kita semakin berkurang tatkala kita tidak mau bertanggungjawab, karena
itu berarti bahwa kita semakin membiarkan diri dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan irrasional itu.
Maka salah satu usaha
terpenting bagi perkembangan kekuatan batin kita ialah berusaha untuk
semakin membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri kita. Penguasaan oleh kekuatan-kekuatan itu dalam bahasa Jawa disebut pamrih. Manusia tidak mampu menjadi dirinya sendiri, dalam arti menguasai diri, kecuali ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih.
Manusia yang bebas dari pamrih
tidak lagi perlu gelisah dan prihatin tentang dirinya sendiri, ia
semakin bebas dari nafsu ingin memiliki, ia mengendalikan nafsu-nafsu
dan perasaannya. Karena ia sepi ing pamrih, ia dapat semakin rame ing gawe, artinya sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang menantangnya.
Dalam tradisi kerohanian barat pun apa yang di Jawa dimaksud dengan sikap sepi ing pamrih dikenal dan diungkapkan dengan tiga upaya, yaitu 'recta intentio' (maksud yang lurus) , 'ordinatio affectuum' (pengaturan perasaan) dan 'purificatio cordis' (pemurnian hati). Recta intentio membuat kita sanggup untuk mengejar apa yang memang kita rencanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan. Ordinatio affectum
berarti bahwa kita tidak membiarkan diri begitu saja digerakkan oleh
nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan
kita, melainkan semua dorongan itu dapat diatur sehingga mendukung dan
tidak mengacaukan sikap tanggung jawab kita. Purificatio cordis ialah pemurnian hati dari segala pamrih,
nafsu kotor dan kepalsuan. Tujuannya adalah kemurnian sikap dasar; agar
kita menjadi manusia baik tanpa kepalsuan sampai ke akar-akar
kepribadian, bagaikan air dalam yang jernih sampai ke dasar. Segala apa
yang jahat, miring, kotor, nafsu-nafsu seperti dendam dan iri hati tidak
dapat berkembang dalam kejernihan itu.
Orang yang murni tidak
dapat dikalahkan oleh apa pun, jadi ia menjadi kuat. Sekaligus daya
penilaiannya menjadi jernih sehingga ia sanggup untuk melihat kewajiban
dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat daripada orang yang mata
hatinya masih digelapkan oleh kepentingan diri dan nafsu.
Dengan
melatih sikap-sikap tersebut manusia meninggikan kemampuannya untuk
menentukan sendiri arah perkembangannya, dan untuk tidak
diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu, perasaan dangkal dan
sebagainya. Jadi pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian kita
menjadi lebih kuat, lebih otonom, lebih mampu untuk menjalankan tanggung
jawab kita.
Demikianlah tulisan sederhana ini bukan bermaksud
untuk menggurui namun sekadar berbagi. Semoga bisa bermanfaat untuk
pengembangan kepribadian kita.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 28 Juli 2018
Suko Waspodo
ilustr: galeriqta
0 comments:
Posting Komentar