Welcome...Selamat Datang...

Kamis, 02 Agustus 2018

Etos Kebenaran Pers dan Pewarta Warga


Media komunikasi dan informasi berkembang demikian pesatnya sehingga berdampak sangat dahsyat dalam peradaban masyarakat modern saat ini. Sarana informasi yang dimulai dengan sangat primitif lewat tulisan-tulisan di batu atau daun lontar telah berubah menjadi media informasi digital yang seolah tanpa batas. Disebabkan kemajuan tersebut informasi dalam berbagai bentuk begitu mudah diperoleh atau pun disebarkan. Informasi yang benar maupun hoax begitu massive membanjiri media informasi saat ini.

Hampir setiap individu yang telah mampu menguasai sarananya bisa menjadi "wartawan", dalam istilah media informasi modern disebut "citizen journalist" atau diterjemahkan "pewarta warga". Selanjutnya yang menjadi persoalan apakah para pewarta warga menyadari tanggungjawabnya manakala berperan sebagai wartawan atau insan pers. Meskipun para pewarta warga bukan insan pers yang sejati, karena bukan wartawan media mainstream, tak ada salahnya apabila mereka memahami dan melaksanakan 'etos kebenaran pers'. Hal ini penting, paling tidak agar masyarakat tidak semakin diracuni oleh informasi yang menyesatkan dan mengacaukan.

Fungsi utama pers dalam masyarakat adalah yang paling fundamental menyajikan informasi. Supaya semua anggota masyarakat dapat mengorientasikan diri, mereka memerlukan informasi yang lengkap, teliti dan tepat. Itulah informasi yang diharapkan dari pers dan demikian pula sebaiknya dari pewarta warga.

Harapan itu dapat kita rumuskan sebagai tuntutan dasar etika pers dalam kalimat: tanggung jawab pers yang paling fundamental adalah tanggung jawab terhadap kebenaran.

Rumusan ini barangkali kedengaran kolot atau kadaluwarsa. Manusia di zaman sekarang tidak begitu suka akan kata-kata luhur seperti 'kebenaran'. Namun jika apa yang pernah dituangkan dalam kata-kata luhur tersebut semakin digerogoti oleh segala macam kepentingan yang berkepentingan dengan apa saja kecuali dengan kebenaran, maka kita merasa perlu untuk merumuskan kembali pandangan itu dengan tegas.

Kita semua pasti sependapat bahwa tanggung jawab dasar pers adalah menyajikan kebenaran. Etos dasar pers tidak lain adalah etos kebenaran. Apa pun yang disajikan pers harus benar. Pers harus merasa terlibat terhadap kebenaran. Pers mempunyai dan boleh mempunyai bermacam tujuan dan harapan, namun tak pernah tujuan dan harapan itu boleh dikejar dengan menyampingkan kebenaran. Kebenaran adalah prasyarat etis bagi segala usaha pers.

Semua harapan dan tujuan lain seperti agar pers mendukung perkembangan masyarakat, menggelorakan semangat pengabdian, mempertebal rasa tanggung jawab masyarakat, menyebarluaskan kebudayaan nasional, dan sebagainya adalah baik dan penting serta sangat perlu ditegaskan kembali, tetapi hanya dapat mempertahankan martabat moralnya kalau dijalankan sesuai dengan etos dasar pers: pers wajib untuk menyajikan kebenaran, seluruh kebenaran, selalu, dengan sebenar-benarnya.

Tanpa didasari etos kebenaran segala maksud baik yang ingin dicapai melalui pers terkena kanker korupsi mental karena dirusak oleh kebodohan. Itulah sebabnya, kita sependapat, bahwa pers pertama-tama bertanggung jawab terhadap kebenaran.

Kebenaran berarti: memberitakan keadaan yang sebenarnya. Kebenaran, pengetahuan tentang keadaan yang sebenarnya, adalah salah satu nilai paling vital dan oleh sebab itu paling fundamental bagi manusia. Berhubung aparatur instingual manusia sangat lemah, maka ia harus mencari jalannya sendiri dalam dunia. Maka pengetahuan yang tepat tentang realitas daripadanya ia harus hidup, merupakan kebutuhan dasar manusia. Titik tolak segala usaha rasional manusia adalah pengetahuannya yang tepat tentang apa yang ada.

Hormat terhadap kebenaran berarti hormat terhadap manusia sendiri. Dan tidak menghormati kebenaran berarti menghina manusia. Seratus kalimat bagus tentang tanggung jawab pers tidak akan menghilangkan rasa jijik kalau dengan kata-kata itu ditutup dosa terhadap kebenaran. Siapa yang menggerogoti kebenaran berarti menggerogoti martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi.

Kesanggupan untuk memahami kebenaran merupakan mahkota manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Hormat terhadap kebenaran sekaligus menunjukkan suatu etos kebebasan. Karena dengan menyajikan kebenaran kita menghormati kesanggupan manusia untuk mengambil sikap sendiri terhadap realitas. Kita memperlakukan dia sebagai manusia yang dewasa.

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa menutup-nutupi kebenaran dengan kedok melindungi orang atau demi lepentingan dia itu sendiri, merupakan manipulasi terhadap martabat manusia sebagai makhluk yang oleh Sang Pencipta dikaruniai akal budi. Mengelak dari kebenaran, tidak menyajikan apa yang benar, melainkan dengan sengaja memberi gambaran yang miring, yang telah dipermak, juga tidak dihalalkan apabila dijalankan dengan tujuan yang baik. Tujuan tidak menghalalkan sarana. Maksud baik tidak menghalalkan kebohongan.

Sikap itu adalah semacam paternalisme, seakan-akan pers mempunyai hak untuk menentukan apa yang boleh diketahui oleh masyarakat dan apa yang tidak. Sikap "kami memilih untuk anda" dan we know best what's good for the people  bagi kita itu menunjukkan pandangan rendah terhadap pembaca, pandangan rendah mana juga merendahkan yang memandang demikian itu sendiri.

Masyarakat berhak untuk menentukan sendiri sikapnya terhadap realitas. Masyarakat berhak atas kebenaran yang enak dan yang tidak enak, yang sesuai dengan harapannya dan yang tidak, yang menunjang apa yang dianggap sebagai pendapat umum dan yang bertentangan dengannya.

Nah, dengan paparan sederhana di atas kiranya jelas harus bagaimanakah perilaku pers. Tak terkecuali dalam hal ini juga para pewarta warga. Kemajuan media informasi modern serta kebebasannya tidak dengan serta merta menyampingkan kebenaran. Semoga.

Salam damai penuh cinta.

***
Solo, Sabtu, 9 Juni 2018
Suko Waspodo
ilustrasi: PortalBerita 

0 comments:

Posting Komentar