Welcome...Selamat Datang...

Sabtu, 04 Agustus 2018

Politik ala 'Wong Jawa'


Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun inkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

Lalu bagaimanakah politik ala "wong Jawa"? Memang belum populer istilah ini. Namun apabila kita cermati manuver politisi Indonesia, khususnya presiden Joko Widodo dan para mantan presiden yang berasal dari suku Jawa (minus Habibie yang bukan orang Jawa), akan terasa kekhasannya.

Pengaruh perilaku orang  Jawa yang sedikit tertutup, kalau tidak mau mengatakan tidak ingin menyombongkan diri dan rendah hati, memang sangat spesifik. Cara orang jawa membawa Keris yang disisipkan di ikat pinggang tetapi di bagian punggung sehingga tidak terlihat dari depan menunjukkan kerendahhatian sikap. Senjata tidak perlu dipamerkan karena tidak ingin mengundang permusuhan atau perilaku kekerasan.

Diplomasi politik selalu dilakukan dengan prinsip persaudaraan. Kebijakan politik tidak perlu dilakukan secara pongah dan meledak-ledak. Menyikapi perbedaan pandangan politik dengan sabar, prinsip tidak adigang adigung adiguna.  Tidak memposisikan diri sebagai yang paling penting dan melecehkan orang lain. Kebaikan bersama harus diraih dengan kelemahlembutan, kerendahhatian dan kekeluargaan.

Bung Karno memang tidak terlalu kuat gaya Jawanya,masih banyak kena pengaruh perilaku politisi barat. Ini mungkin karena dia tumbuh dalam alam penjajahan barat. Selain itu juga pengaruh dari pendidikan ala barat serta pemikiran para tokoh besar dari banyak buku yang dia baca. Kita tahu Soekarno adalah seorang kutu buku. Namun demikian pendekatan kerakyatan dia sangat khas orang Jawa yang 'andhap asor' alias rendah hati.

Soeharto, meski berlatar belakang militer, namun memiliki karakter yang sedikit tertutup. Kebijakan-kebijakan politiknya tidak meledak-ledak. 'Keris', kekuasaan, baru digunakan pada saat yang tepat. Suka tidak suka Soeharto adalah contoh politisi Jawa yang hebat.

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga memiliki gaya politik wong Jawa. Walau pun berlatar belakang pesantren yang sangat kuat tetapi pendekatan politik dengan gaya bercandanya yang khas sungguh dicintai rakyat. Sayang dia hanya sebentar memimpin negeri ini, meskipun demikian banyak perubahan yang dilakukan sehingga mencerminkan terjadinya reformasi di pemerintahan negeri ini.

Megawati, sebagai presiden wanita pertama negeri ini memiliki pendekatan kerakyatan yang sangat khas orang Jawa. Semangat mahaenisme yang diwarisi dari bapaknya sampai saat ini sangat kental membekas. Gaya memimpin keibuan mewarnai kekhasan politik Jawa yang ada.

Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY juga memiliki manuver politik yang sangat khas jawa. Hanya sayangnya adalah perilaku orang jawa yang kurang positif, yakni 'adol welas'. Adol welas adalah perilaku minta dikasihani seolah-olah sedang dizolimi, padahal sesungguhnya adalah gerak-gerik untuk menutupi kebusukan.

Joko Widodo atau yang populer dipanggil Jokowi adalah contoh politisi dan bahkan negarawan yang hampir sepenuhnya khas wong Jawa. Dalam setiap kesempatan dia terkesan menghindari pembicaraan politik praktis, dia lebih senang berbicara tentang kerja, kerja dan kerja. Sikap sederhananya tercermin dari sikap politiknya yang tidak banyak gembar-gembor. Para pengamat politik menyebutnya gaya politik senyap.  Namun dibalik sikapnya yang tidak banyak kata tersimpan pemikiran yang waskita, cerdas dan starategis, yang selanjutnya terwujud dalam keputusan-keputusan serta pelaksanaan tugas kepemimpinannya yang sangat pro rakyat kecil.

Gaya kepemimpinan dan politik Jokowi adalah kombinasi sempurna para presiden wong Jawa pendahulunya. Joko Widodo merupakan seorang negarawan sejati yang lengkap. Sederhana, rendah hati, semangat bekerja serta mencintai dan dicintai rakyat.

Politik ala wong Jawa memang bukan yang terbaik, namun setidaknya sampai saat ini merupakan cara yang paling pas untuk  mengelola negeri yang multi etnis dan multi kultur ini. Merdeka !

Salam damai penuh cinta.

***
Solo, Senin, 23 Juli 2018
Suko Waspodo
ilustr: manaberita.com 

0 comments:

Posting Komentar