Welcome...Selamat Datang...

Selasa, 28 Agustus 2018

Saatnya Mengukir Sejarah Indah bukan Serakah


"Yen wis ora kudu mikir babagan jenang, ganti mikir babagan jeneng" itu petuah para sesepuh dalam bahasa Jawa yang sangat bermakna. Bila diterjemahkan artinya, jika sudah tidak bermasalah dengan apa yang bisa dimakan, saatnya berbuat untuk mengukir nama baik alias membuat sejarah yang berguna. Tentu sungguh sangat bermakna juga, meskipun masih berkutat dengan masalah kebutuhan makan tetapi juga terus berusaha menjaga nama baik dan bahkan membuat sejarah yang positif.

Petuah tersebut selalu mengiang di telinga dan menyentuh batin saya setiap kali mengetahui para pejabat yang tertangkap tangan KPK atau aparat terkait karena korupsi dan selanjutnya dipenjara. Apa yang sesungguhnya yang menjadi visi dan misi hidup mereka?

Sebagai seorang rakyat kecil yang hingga pensiun (guru swasta) masih terus 'mikir babagan jenang (bubur)', jujur kadang cemburu dengan para ASN, terlebih para pejabat, yang tak bisa disangkal pasti gaji, tunjangan serta fasilitasnya besar. Dengan keberadaannya seperti itu pasti mereka sudah tidak perlu 'mikir babagan jenang' alias tidak bermasalah dengan apa yang harus mereka makan setiap harinya.

Manakala sudah tidak bermasalah dengan urusan kebutuhan makan mestinya saatnya untuk 'mikir babagan jeneng (nama), tentunya yang baik dan bahkan harum. Apakah yang dicari selanjutnya dalam hidup? Apakah mengejar kekayaan (kalau tak mau disebut serakah) harus mengalahkan segalanya hingga harus tak perlu menjaga nama baik atau bahkan membuat sejarah indah? Harta memang menggiurkan dan siapa yang tak ingin kaya? Semua pasti menginginkan itu tetapi tentunya tak perlu harus melampaui batas kewajaran.

Harta kekayaan sampai tujuh turunan pastilah yang ada di pikiran para koruptor. Sebegitu picik kah pemikiran mereka? Keserakahan membutakan pikiran dan akal sehat. Materi duniawi telah membunuh nurani. Nama baik dan sejarah indah tak diberi ruang, yang ada di pikiran hanya uang, uang dan uang.

Sesungguhnya manusia memiliki ukuran kebutuhan hidup yang sudah ditakar oleh Sang Pencipta. Sebanyak apa pun makanan enak dan mewah yang tersaji di hadapan saya, toh saya tidak mungkin mampu makan seluruhnya, sepiring saja cukup dan bahkan kalau dipaksakan melebihi daya tampung perut malah sakit. 

Sebanyak apa pun pakaian indah dan mewah yang saya miliki, tidak mungkin juga saya mengenakan lebih dari satu stel pakaian dalam satu saat pemakaian. Sebanyak apa pun rumah atau kendaraan yang saya miliki, juga tidak mungkin saya menggunakan atau menempatinya dalam saat yang sama.

Apabila saya merenungkan lebih dalam pasti akan sampai pada bayangan tentang ujung kehidupan dimana saya hanya akan berkalang tanah di kuburan atau bahkan mungkin saja mayat saya hanya dibuang, toh saya tidak bisa memilih. Harta kekayaan juga tak mungkin bisa dibawa mati, malah ada kemungkinan bisa menjadi masalah diantara anak cucu. Banyak riwayat tragis yang sudah membuktikan itu.

Kemudian  saya sampai pada angan-angan atau lamunan yang melambung tinggi. Seandainya saya boleh mengalami kehidupan yang serba lebih dan bahkan mewah seperti para pejabat, saya membayangkan bisa membuat sejarah yang lebih besar serta bisa bermanfaat untuk banyak orang daripada sekadar sebagai guru. Tentu sebagai guru juga bukan sejarah yang kecil tetapi seandainya bisa lebih dari itu.

Pengin lebih banyak lagi berguna bagi orang lain pasti bukan keserakahan, kan?  Atau jangan-jangan kalau saya menjadi pejabat dengan berbagai fasilitas justru terjerat nafsu serakah? Tetapi sudahlah, ini kan hanya lamunan seorang rakyat jelata yang masih 'mikir babagan jenang', biarlah sejarah saya buat semampu saya dan seturut kehendak Sang Pencipta.

Inilah refleksi pribadi saya yang mungkin tak bermutu dan sekadar ingin tersalur lewat tulisan. Tak lebih dari itu.

***
Solo, Jumat, 24 Agustus 2018
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: Tiyok 

0 comments:

Posting Komentar