"Yen wis ora kudu mikir babagan jenang, ganti mikir babagan jeneng"
itu petuah para sesepuh dalam bahasa Jawa yang sangat bermakna. Bila
diterjemahkan artinya, jika sudah tidak bermasalah dengan apa yang bisa
dimakan, saatnya berbuat untuk mengukir nama baik alias membuat sejarah
yang berguna. Tentu sungguh sangat bermakna juga, meskipun masih
berkutat dengan masalah kebutuhan makan tetapi juga terus berusaha
menjaga nama baik dan bahkan membuat sejarah yang positif.
Petuah
tersebut selalu mengiang di telinga dan menyentuh batin saya setiap kali
mengetahui para pejabat yang tertangkap tangan KPK atau aparat terkait
karena korupsi dan selanjutnya dipenjara. Apa yang sesungguhnya yang
menjadi visi dan misi hidup mereka?
Sebagai seorang rakyat kecil
yang hingga pensiun (guru swasta) masih terus 'mikir babagan jenang
(bubur)', jujur kadang cemburu dengan para ASN, terlebih para pejabat,
yang tak bisa disangkal pasti gaji, tunjangan serta fasilitasnya besar.
Dengan keberadaannya seperti itu pasti mereka sudah tidak perlu 'mikir
babagan jenang' alias tidak bermasalah dengan apa yang harus mereka
makan setiap harinya.
Manakala sudah tidak bermasalah dengan
urusan kebutuhan makan mestinya saatnya untuk 'mikir babagan jeneng
(nama), tentunya yang baik dan bahkan harum. Apakah yang dicari
selanjutnya dalam hidup? Apakah mengejar kekayaan (kalau tak mau disebut
serakah) harus mengalahkan segalanya hingga harus tak perlu menjaga
nama baik atau bahkan membuat sejarah indah? Harta memang menggiurkan
dan siapa yang tak ingin kaya? Semua pasti menginginkan itu tetapi
tentunya tak perlu harus melampaui batas kewajaran.
Harta kekayaan
sampai tujuh turunan pastilah yang ada di pikiran para koruptor.
Sebegitu picik kah pemikiran mereka? Keserakahan membutakan pikiran dan
akal sehat. Materi duniawi telah membunuh nurani. Nama baik dan sejarah
indah tak diberi ruang, yang ada di pikiran hanya uang, uang dan uang.
Sesungguhnya
manusia memiliki ukuran kebutuhan hidup yang sudah ditakar oleh Sang
Pencipta. Sebanyak apa pun makanan enak dan mewah yang tersaji di
hadapan saya, toh saya tidak mungkin mampu makan seluruhnya, sepiring
saja cukup dan bahkan kalau dipaksakan melebihi daya tampung perut malah
sakit.
Sebanyak apa pun pakaian indah dan mewah yang saya
miliki, tidak mungkin juga saya mengenakan lebih dari satu stel pakaian
dalam satu saat pemakaian. Sebanyak apa pun rumah atau kendaraan yang
saya miliki, juga tidak mungkin saya menggunakan atau menempatinya dalam
saat yang sama.
Apabila saya merenungkan lebih dalam pasti akan
sampai pada bayangan tentang ujung kehidupan dimana saya hanya akan
berkalang tanah di kuburan atau bahkan mungkin saja mayat saya hanya
dibuang, toh saya tidak bisa memilih. Harta kekayaan juga tak mungkin
bisa dibawa mati, malah ada kemungkinan bisa menjadi masalah diantara
anak cucu. Banyak riwayat tragis yang sudah membuktikan itu.
Kemudian
saya sampai pada angan-angan atau lamunan yang melambung tinggi.
Seandainya saya boleh mengalami kehidupan yang serba lebih dan bahkan
mewah seperti para pejabat, saya membayangkan bisa membuat sejarah yang
lebih besar serta bisa bermanfaat untuk banyak orang daripada sekadar
sebagai guru. Tentu sebagai guru juga bukan sejarah yang kecil tetapi
seandainya bisa lebih dari itu.
Pengin lebih banyak lagi berguna
bagi orang lain pasti bukan keserakahan, kan? Atau jangan-jangan kalau
saya menjadi pejabat dengan berbagai fasilitas justru terjerat nafsu
serakah? Tetapi sudahlah, ini kan hanya lamunan seorang rakyat jelata
yang masih 'mikir babagan jenang', biarlah sejarah saya buat semampu
saya dan seturut kehendak Sang Pencipta.
Inilah refleksi pribadi saya yang mungkin tak bermutu dan sekadar ingin tersalur lewat tulisan. Tak lebih dari itu.
***
Solo, Jumat, 24 Agustus 2018
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: Tiyok
0 comments:
Posting Komentar