Karya tulisan memang media yang efektif untuk politik. Jauh sebelum
media audio visual ditemukan, propaganda politik selain disampaikan
lewat pamflet atau poster, juga banyak disampaikan lewat media karya
tulisan. Kita bisa mengambil contoh mulai dari yang tidak terkesan
politik "Habis Gelap Terbitlah Terang" tulisan R.A. Kartini, "Max
Havelaar" karya Multatuli hingga "Di Bawah Bendera Revolusi" serta buku
lainnya karya Bung Karno yang kuat nuansa politiknya.
Kemudian di
media tulisan sastra juga banyak sekali buku-buku yang bernuansa politik
yang kental. Contohnya novel "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli dan
"Salah Asuhan" karya Abdul Muis adalah karya yang menampilkan kritik
yang tajam terhadap adat istiadat yang kolot. Tentu saja yang paling
fenomenal adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer, sebut saja contohnya
"Bumi Manusia", "Panggil Aku Kartini Saja", "Perawan Remaja dalam
Cengkeraman Militer" dan masih banyak lagi. Pramoedya merupakan
sastrawan politik yang sangat penting.
Selanjutnya tentu saja
karya tulisan berbentuk puisi. Karya puisi sangat efektif untuk
menyampaikan kritik atau pesan-pesan politik. Chairil Anwar menciptakan
puisi bernuansa politik pada jamannya, misalnya "Aku", "Kepada Kawan",
"Persetujuan dengan Bung Karno" dan sebagainya. Si Burung Merak, nama
beken WS Rendra juga mempunyai banyak karya puisi kritik politik, 3
contoh puisinyanya yang populer adalah "Sajak Orang Kepanasan",
"Orang-Orang Miskin" dan "Sajak Sebatang Lisong". Di era Orde Baru juga
ada seorang penulis puisi yang sangat kritis, meskipun mungkin belum
dianggap satrawan, yakni Wiji Thukul. Karya puisi kritiknya yang
dianggap keras antara lain, "Puisi untuk Adik", Di Bawah Selimut
Kedamaian Palsu" dan "Peringatan".
Karya tulisan memang kadang
dianggap berbahaya pada zamannya, "Max Havelaar" kita tahu menjadi buku
yang sangat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, demikian pula
"Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku-buku tulisan Bung Karno dan
Pramoedya juga tak luput menjadi momok bagi rezim Orde Baru yang
otoriter dan anti kritik karena dianggap bisa membangkitkan semangat
perlawanan rakyat kepada penguasa waktu itu, sehingga dilarang terbit
lagi dan beredar bahkan ada ancaman hukuman bagi yang menyimpannya.
Wiji
Thukul juga menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru akibat puisi-puisi
kritisnya. Karya-karyanya tak boleh beredar serta dibaca dan bahkan dia
sendiri sejak reformasi 1998 sampai sekarang hilang tak tentu
rimbanya. Ada yang menduga Wiji Thukul sudah dibunuh oleh penguasa keji
waktu itu.
Karya tulisan fiksi maupun non fiksi tentu tak bisa
lepas dari realitas kehidupan. Karya fiksi memang dianggap paling
efektif untuk menyampaikan pesan kritik atau politik. Tokoh-tokohnya
yang meskipun fiktif bisa diidentikkan dengan tokoh-tokoh nyata di dalam
masyarakat, politisi atau penguasa.
Tulisan kritik dalam bentuk
karya fiksi memang lebih banyak dipilih karena dianggap lebih bebas dari
aturan penulisan ilmiah layaknya karya non-fiksi. Tidak harus
melibatkan penelitian dan pengumpulan secara ilmiah. Namun demikian
bukan berarti lalu karya fiksi bermuatan kritik lalu boleh ngawur, mengumbar
kritik tanpa berdasarkan fakta. Sebagai contoh karya-karya Pramoedya
atau Wiji Thukul meskipun itu fiksi tetapi pasti berdasarkan pengalaman
nyata atau pengamatan terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Kalau
tidak menyentuh realitas kehidupan pastilah tidak akan menarik
pembacanya.
Di era kebebasan berekspresi dan kemajuan media
informasi saat ini, sesungguhnya sangat memungkinkan bagi kita untuk
menggunakan karya tulisan sebagai sarana menyampaikan pandangan politik
atau kritik. Media sosial yang berkembang pesat merupakan arena yang
efektif untuk hal-hal tersebut. Namun kadang hanya digunakan dalam
bentuk-bentuk ekspresi sederhana di postingan Facebook atau Twitter,
padahal sebenarnya kita bisa menggunakan media blog rame-rame, seperti Kompasiana, atau blog pribadi untuk menulis dalam bentuk karya non fiksi atau fiksi yang lebih serius dan terkesan lebih formal.
Tatkala media mainstream begitu sulit untuk ditembus, mengapa tidak kita gunakan blog rame-rame atau blog pribadi serta media sosial sebagai sarana kita menyampaikan kritik dan pandangan politik kita. Sebagai citizen journalist
atau jurnalis warga juga merupakan aktifitas yang efektif dan
bermanfaat. Banyak teman-teman kita yang bermula hanya sebagai netizen
yang aktif sekarang telah menjadi jurnalis media mainstream. Selamat berkreasi dalam tulisan kritis di media sosial. Merdeka!
***
Solo, Minggu, 26 Agustus 2018
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
kompasiana
antologi puisi suko
ilustrasi: dictio community
0 comments:
Posting Komentar