Jelang Pemilu 2014 suasana politik di negeri ini semakin memanas. Demikian pula hal tersebut menghangatkan kancah pengamatan dan analisis para penulis Kompasiana. Dan yang paling menarik akhir-akhir ini terjadi fenomena aneh dan “pintar” di Kompasiana. Banyak akun-akun liar berkeliaran dan menyebar komentar beruntun yang asal dan hanya copy-paste. Hal itu bermula karena pemberitaan di media tentang partai yang korup dan kebetulan partai tersebut selama ini selalu mengatakan bahwa mereka partai yang mengatas namakan agama tertentu. Dan hal itu selama ini yang membuat penganut agama tersebut bangga dengan partai yang akhirnya terbukti korup tersebut.
Nah, di jagad penulisan Kompasiana yang super kritis dan cerdas bermunculanlah tulisan-tulisan yang bermutu dan akurat yang mengkritisi perilaku para petinggi partai korup yang menggunakan kendaraan agama tersebut. Selanjutnya yang terjadi adalah ketidaksiapan para lovers partai tersebut untuk menghadapi kenyataan kebusukan partai tersebut dan bermunculanlah akun-akun liar dengan terus membanjiri komentar tidak bermutu dan cenderung tidak santun terhadap tulisan kritis berkualitas tadi. Namun karena “kepintaran” lovers membabibuta itu, akhirnya terdeteksi siapa saja yang selama ini mengacau di Kompasiana dan akhirnya akun liar mereka diblockir oleh admin.
Namun yang menarik adalah mencermati beberapa komentar para lovers tadi, mereka mengatakan bahwa para penulis kritis Kompasiana bukan mengkritisi partai korup tersebut tapi menghina agama mereka. Inilah keanehannya, partai korup tersebut terang-terangan mengatakan berkendaraan agama dan kemudian saat dikritisi kelakuan partai tersebut para lovers yang sekaligus penganut agama tersebut tidak rela kalau agama mereka disangkut-pautkan dengan partai tersebut. Lucu dan tololnya kemarahan tersebut diarahkan kepada penulis dan analis kritis Kompasiana. Logika warasnya kan mestinya para lovers atau penganut agama yang tidak rela itu menghujat partai korup tersebut dengan menuntutnya untuk bubar atau menuntut partai tersebut untuk tidak menggunakan kendaraan agama.
Para lovers partai dan penganut agama tersebut mengatakan tidak rela agamanya dikritik. Padahal para penulis kritis tidak mengkritisi agama melainkan partai tersebut. Kalau para penganut agama tersebut tidak rela seolah-olah agamanya dikritisi tapi disisi lain mengapa merelakan agamanya dipakai untuk kendaraan partai yang korup. Sungguh aneh bin sulapan. Benar-benar fanatisme yang sempit. Sekali lagi mestinya para penganut agama tersebut menuntut partai tersebut untuk tidak menggunakan agamanya untuk kendaraan politik partai apalagi untuk bertindak korup.
Rakyat dan khususnya penganut agama tersebut sudah saatnya untuk semakin kritis. Bahwa seseorang maupun partai walaupun mengatasnamakan agama belum tentu perilaku mereka agamis. Seharusnya rakyat pemilih caleg mempertimbangkan rekam jejak mereka dan bukan sekedar agama yang dianutnya.
Demikianlah tulisan ini hanya sekedar ungkapan keprihatinan dan ketidakrelaan kalau agama dipakai untuk kendaraan politik. Mari kita menjadi pemilih yang cerdas dan memilih caleg yang berkualitas.
Salam damai penuh cinta.
Nah, di jagad penulisan Kompasiana yang super kritis dan cerdas bermunculanlah tulisan-tulisan yang bermutu dan akurat yang mengkritisi perilaku para petinggi partai korup yang menggunakan kendaraan agama tersebut. Selanjutnya yang terjadi adalah ketidaksiapan para lovers partai tersebut untuk menghadapi kenyataan kebusukan partai tersebut dan bermunculanlah akun-akun liar dengan terus membanjiri komentar tidak bermutu dan cenderung tidak santun terhadap tulisan kritis berkualitas tadi. Namun karena “kepintaran” lovers membabibuta itu, akhirnya terdeteksi siapa saja yang selama ini mengacau di Kompasiana dan akhirnya akun liar mereka diblockir oleh admin.
Namun yang menarik adalah mencermati beberapa komentar para lovers tadi, mereka mengatakan bahwa para penulis kritis Kompasiana bukan mengkritisi partai korup tersebut tapi menghina agama mereka. Inilah keanehannya, partai korup tersebut terang-terangan mengatakan berkendaraan agama dan kemudian saat dikritisi kelakuan partai tersebut para lovers yang sekaligus penganut agama tersebut tidak rela kalau agama mereka disangkut-pautkan dengan partai tersebut. Lucu dan tololnya kemarahan tersebut diarahkan kepada penulis dan analis kritis Kompasiana. Logika warasnya kan mestinya para lovers atau penganut agama yang tidak rela itu menghujat partai korup tersebut dengan menuntutnya untuk bubar atau menuntut partai tersebut untuk tidak menggunakan kendaraan agama.
Para lovers partai dan penganut agama tersebut mengatakan tidak rela agamanya dikritik. Padahal para penulis kritis tidak mengkritisi agama melainkan partai tersebut. Kalau para penganut agama tersebut tidak rela seolah-olah agamanya dikritisi tapi disisi lain mengapa merelakan agamanya dipakai untuk kendaraan partai yang korup. Sungguh aneh bin sulapan. Benar-benar fanatisme yang sempit. Sekali lagi mestinya para penganut agama tersebut menuntut partai tersebut untuk tidak menggunakan agamanya untuk kendaraan politik partai apalagi untuk bertindak korup.
Rakyat dan khususnya penganut agama tersebut sudah saatnya untuk semakin kritis. Bahwa seseorang maupun partai walaupun mengatasnamakan agama belum tentu perilaku mereka agamis. Seharusnya rakyat pemilih caleg mempertimbangkan rekam jejak mereka dan bukan sekedar agama yang dianutnya.
Demikianlah tulisan ini hanya sekedar ungkapan keprihatinan dan ketidakrelaan kalau agama dipakai untuk kendaraan politik. Mari kita menjadi pemilih yang cerdas dan memilih caleg yang berkualitas.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Rabu, 1 Mei 2013
Solo, Rabu, 1 Mei 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar