Sebagai warga negara yang tinggal di kota Solo yang banyak Supeltas untuk saat ini saya pasti menjawab lebih sayang Supeltas. Mengapa begitu? Saya akan paparkan fenomena menarik itu di tulisan saya kali ini.
Bagi anda yang tidak tinggal di kota Solo atau belum pernah ke Solo mungkin asing dengan istilah Supeltas. Supeltas merupakan kependekan dari Sukarelawan Pengatur Lalu-lintas, sebuah paguyuban para sukarelawan pengatur lalu-lintas yang awalnya adalah mereka yang melakukan aktifitas semacam yang dulu di Jakarta disebut “polisi cepek” atau “pak Ogah”.
Di kota Solo hampir di setiap perempatan yang padat arus lalu-lintasnya namun tak ber-traffic- light pasti ada Supeltas nya. Bagi saya, pengendara sepeda motor, jelas hal ini sangat terbantu kelancaran berkendara saya. Bagi para Supeltas sendiri juga merupakan suatu tindakan positif dan menghasilkan pendapatan karena tidak sedikit para pengguna jalan raya yang memberikan tips terhadap aktifitas mereka. Perlu diketahui mereka memang sebagian besar dilatih oleh Polantas dalam teknik pengaturan lalu-lintas dan bahkan mereka mengenakan seragam rompi hijau serta topi biru bertuliskan Supeltas. Namun pertanyaan saya dalam hati, lalu kemana para Polantas yang dibayar oleh uang rakyat?
Kemudian saya mencoba mengamati aktifitas mereka, Supeltas maupun Polantas. Supeltas sudah melakukan “tugas” mereka sejak pagi hari sejak arus lalulintas para pelajar ramai sampai sekitar pukul 20.00. Sementara para Polantas biasanya hanya melaksanakan tugas pada pagi hari antara pukul 7.30 sampai 08.00 dan antara pukul 16.00 sampai pukul 17.00, itu pun hanya di perempatan tertentu jalan utama kota Solo. Lebih menarik dan aneh bin ajaib lagi perempatan yang diawasi oleh Polantas justru perempatan yang ber-traffic-light. Sudah ada lampu pengatur tapi ditunggui sementara yang tidak ada lampu pengatur malahan diserahkan ke Supeltas.
Pernah suatu kali saya ungkapkan keheranan saya itu ke beberapa teman Polisi , mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena keterbatasan jumlah Polantas. Namun itu semua tidak seratus persen benar karena ternyata para Polantas lebih memilih sibuk tugas di belakang meja kantor Samsat atau urusan SIM. Bahkan ada yang menjalankan fungsi sebagai penjual jasa (calo) terselubung dalam urusan SIM maupun STNK. Maka tidak mengherankan kalau sekarang ini banyak para Polantas (maaf) yang perutnya buncit.
Padahal semestinya tugas administrasi urusan pajak STNK tidak perlu dikerjakan oleh Polisi. Hal itu pasti bisa dan seharusnya dikerjakan oleh mereka yang bukan Polisi Lalu-lintas. Polisi lalu-lintas seharusnya bertugas menegakkan peraturan berlalu-lintas dan menertibkan pelanggaran lalu-lintas. Urusan SIM pun mestinya hanya terbatas bagaimana menguji kelayakan para pencari SIM bahkan menurut saya itu juga mampu dilakukan oleh bukan Polantas karena peraturannya toh sudah dibuat.
Penegakkan peraturan lalu-lintas memang dilaksanakan tapi yang terjadi tidak dengan cara memberikan kesadaran melainkan lebih pada memberikan ketakutan pada sangsi hukum bagi para pengguna jalan. Polantas lebih menjadi pengintai pelanggaran dan memberi sangsi daripada menyadarkan dan menertibkan. Sering terjadi dalam kondisi arus lalu-lintas yang ramai para petugas Polantas malahan sibuk dengan handphone maupun smartphone nya. Mereka lebih asyik duduk-duduk di Pos Polantas. Pungli di jalan secara terselubung maupun terang-terangan juga masih sering terjadi.
Supeltas yang diorganisasikan ternyata hanya menjadi ajang kemalasan para petugas Polantas. Di beberapa daerah lain yang pernah saya amati, pengaturan arus lalu-lintas juga dilakukan oleh bukan Polantas melainkan oleh beberapa anak muda yang melengkapi diri dengan bendera atau police-torch. Kalau alasannya mereka merasa kurang suka dengan tugas mereka sebagai Polantas yang melelahkan dan gaji mereka rendah, saya rasa itu tidak benar. Gaji para PNS termasuk para Polisi sekarang ini jauh lebih baik.
Maka kembali dengan pernyataan awal saya di tulisan ini, saya merasa lebih sayang dengan Supeltas karena mereka kenyataannya lebih melaksanakan tugas dengan serius dan mereka juga tidak memaksa meminta tips alias tidak pungli yang berarti tidak menakutkan para pengguna jalan. Kenyataan pula, para pengguna jalan juga taat dengan cara mereka mengatur lalu-lintas yang tidak mengenal lelah.
Namun demikian lalu apa gunanya dibentuk satuan Polantas? Nah, untuk itulah tulisan ini saya tulis sebagai wujud kepedulian dan kecintaan saya pada pentingnya tugas Polantas yang benar. Citra Polisi yang baik dan melayani masyarakat hanya bisa terujud oleh perilaku mereka sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Supeltas hanyalah sukarelawan bukan malahan dijadikan pengganti tugas Polantas. Semoga Polantas kembali pada tugasnya yang semestinya sehingga saya berubah lebih sayang Polantas daripada Supeltas.
Bagi anda yang tidak tinggal di kota Solo atau belum pernah ke Solo mungkin asing dengan istilah Supeltas. Supeltas merupakan kependekan dari Sukarelawan Pengatur Lalu-lintas, sebuah paguyuban para sukarelawan pengatur lalu-lintas yang awalnya adalah mereka yang melakukan aktifitas semacam yang dulu di Jakarta disebut “polisi cepek” atau “pak Ogah”.
Di kota Solo hampir di setiap perempatan yang padat arus lalu-lintasnya namun tak ber-traffic- light pasti ada Supeltas nya. Bagi saya, pengendara sepeda motor, jelas hal ini sangat terbantu kelancaran berkendara saya. Bagi para Supeltas sendiri juga merupakan suatu tindakan positif dan menghasilkan pendapatan karena tidak sedikit para pengguna jalan raya yang memberikan tips terhadap aktifitas mereka. Perlu diketahui mereka memang sebagian besar dilatih oleh Polantas dalam teknik pengaturan lalu-lintas dan bahkan mereka mengenakan seragam rompi hijau serta topi biru bertuliskan Supeltas. Namun pertanyaan saya dalam hati, lalu kemana para Polantas yang dibayar oleh uang rakyat?
Kemudian saya mencoba mengamati aktifitas mereka, Supeltas maupun Polantas. Supeltas sudah melakukan “tugas” mereka sejak pagi hari sejak arus lalulintas para pelajar ramai sampai sekitar pukul 20.00. Sementara para Polantas biasanya hanya melaksanakan tugas pada pagi hari antara pukul 7.30 sampai 08.00 dan antara pukul 16.00 sampai pukul 17.00, itu pun hanya di perempatan tertentu jalan utama kota Solo. Lebih menarik dan aneh bin ajaib lagi perempatan yang diawasi oleh Polantas justru perempatan yang ber-traffic-light. Sudah ada lampu pengatur tapi ditunggui sementara yang tidak ada lampu pengatur malahan diserahkan ke Supeltas.
Pernah suatu kali saya ungkapkan keheranan saya itu ke beberapa teman Polisi , mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena keterbatasan jumlah Polantas. Namun itu semua tidak seratus persen benar karena ternyata para Polantas lebih memilih sibuk tugas di belakang meja kantor Samsat atau urusan SIM. Bahkan ada yang menjalankan fungsi sebagai penjual jasa (calo) terselubung dalam urusan SIM maupun STNK. Maka tidak mengherankan kalau sekarang ini banyak para Polantas (maaf) yang perutnya buncit.
Padahal semestinya tugas administrasi urusan pajak STNK tidak perlu dikerjakan oleh Polisi. Hal itu pasti bisa dan seharusnya dikerjakan oleh mereka yang bukan Polisi Lalu-lintas. Polisi lalu-lintas seharusnya bertugas menegakkan peraturan berlalu-lintas dan menertibkan pelanggaran lalu-lintas. Urusan SIM pun mestinya hanya terbatas bagaimana menguji kelayakan para pencari SIM bahkan menurut saya itu juga mampu dilakukan oleh bukan Polantas karena peraturannya toh sudah dibuat.
Penegakkan peraturan lalu-lintas memang dilaksanakan tapi yang terjadi tidak dengan cara memberikan kesadaran melainkan lebih pada memberikan ketakutan pada sangsi hukum bagi para pengguna jalan. Polantas lebih menjadi pengintai pelanggaran dan memberi sangsi daripada menyadarkan dan menertibkan. Sering terjadi dalam kondisi arus lalu-lintas yang ramai para petugas Polantas malahan sibuk dengan handphone maupun smartphone nya. Mereka lebih asyik duduk-duduk di Pos Polantas. Pungli di jalan secara terselubung maupun terang-terangan juga masih sering terjadi.
Supeltas yang diorganisasikan ternyata hanya menjadi ajang kemalasan para petugas Polantas. Di beberapa daerah lain yang pernah saya amati, pengaturan arus lalu-lintas juga dilakukan oleh bukan Polantas melainkan oleh beberapa anak muda yang melengkapi diri dengan bendera atau police-torch. Kalau alasannya mereka merasa kurang suka dengan tugas mereka sebagai Polantas yang melelahkan dan gaji mereka rendah, saya rasa itu tidak benar. Gaji para PNS termasuk para Polisi sekarang ini jauh lebih baik.
Maka kembali dengan pernyataan awal saya di tulisan ini, saya merasa lebih sayang dengan Supeltas karena mereka kenyataannya lebih melaksanakan tugas dengan serius dan mereka juga tidak memaksa meminta tips alias tidak pungli yang berarti tidak menakutkan para pengguna jalan. Kenyataan pula, para pengguna jalan juga taat dengan cara mereka mengatur lalu-lintas yang tidak mengenal lelah.
Namun demikian lalu apa gunanya dibentuk satuan Polantas? Nah, untuk itulah tulisan ini saya tulis sebagai wujud kepedulian dan kecintaan saya pada pentingnya tugas Polantas yang benar. Citra Polisi yang baik dan melayani masyarakat hanya bisa terujud oleh perilaku mereka sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Supeltas hanyalah sukarelawan bukan malahan dijadikan pengganti tugas Polantas. Semoga Polantas kembali pada tugasnya yang semestinya sehingga saya berubah lebih sayang Polantas daripada Supeltas.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 14 Februari 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar