Kemarin sore, Rabu 13 Februari 2013, masyarakat kota Solo mendapat hadiah untuk menyambut hari kasih sayang. Hadiah bukan berupa Cokelat atau bunga Mawar melainkan hujan deras disertai dengan angin ribut. Banyak sekali pohon di tengah kota yang tumbang dan beberapa baliho roboh serta sebagian berterbangan. Hujan disertai angin ribut hanya berlangsung sekitar setengah jam namun akibatnya sungguh dahsyat.
Inilah akibatnya kalau manusia tidak mau bersahabat dengan alam. Hutan Jati di kawasan sebelah utara Solo, tepatnya daerah Gundih sebagian besar sudah gundul, demikian pula hutan Jati di kawasan sebelah timur Sragen. Hutan Pinus di kawasan lereng gunung Lawu maupun lereng gunung Merapi, yang mengapit wilayah Solo, juga sudah sebagian besar berubah menjadi lahan perkebunan sayuran atau pemukiman untuk wisata. Maka tidak mengherankan kalau Solo dihajar oleh tiupan angin yang melenggang dahsyat.
Selain itu ada yang salah dalam kebijakan penanaman pohon penghijauan tepi jalan kota Solo di era Orde Baru. Pohon-pohon untuk jalur hijau sebagian besar adalah pohon semacam Akasia yang walaupun cepat besar dan daunnya rimbun sepanjang tahun namun ternyata akarnya tidak kuat dan dahannya cepat rapuh. Pohon-pohon semacam itu lah yang kemarin sebagian besar roboh diterjang angin ribut.
Penghijauan kota yang baru, di era Jokowi-Rudi, berbeda. Sebagian besar pohon yang ditanam merupakan pohon yang berakar kuat meskipun agak lebih lambat pertumbuhannya. Pohon Mangga, Sawo Manila, Tanjung dan beberapa jenis pohon yang berakar kuat bisa kita jumpai menjadi tanaman penghijauan tepi jalan raya kota Solo. Berdasarkan pengamatan tadi pagi ternyata jenis pohon penghijauan yang baru ini lebih tahan terhadap terjangan angin ribut.
Peristiwa yang dialami kota Solo kemarin dan juga beberapa kota di Indonesia selayaknya menjadi bahan pelajaran bagi kita. Menyayangi pohon juga hendaknya mempertimbangkan pemilihan jenis pohon yang tahan akarnya terhadap angin. Pemasangan baliho iklan dan bangunan yang tinggi seharusnya mempertimbangkan kekuatannya juga. Sayangi keselamatan semuanya.
Penataan kawasan kota harus bersinergi dengan wilayah sekelilingnya. Tidak ada kata terlambat untuk menghutankan kembali daerah yang gundul sehingga menjadi wilayah penyangga air dan penahan angin. Penghijauan kota dengan tanaman produktif sekaligus berakar kuat, semacam Mangga dan Sawo Manila tampaknya menjadi pilihan yang lebih baik daripada pohon semacam Akasia. Suatu saat nanti berbuah juga bisa dinikmati warga, seperti yang terjadi di beberapa wilayah di kota Solo.
Mari kita bersahabat dengan alam. Menyayangi pohon sekali gus menyayangi keselamatan kita dan alam sekeliling kita.
Inilah akibatnya kalau manusia tidak mau bersahabat dengan alam. Hutan Jati di kawasan sebelah utara Solo, tepatnya daerah Gundih sebagian besar sudah gundul, demikian pula hutan Jati di kawasan sebelah timur Sragen. Hutan Pinus di kawasan lereng gunung Lawu maupun lereng gunung Merapi, yang mengapit wilayah Solo, juga sudah sebagian besar berubah menjadi lahan perkebunan sayuran atau pemukiman untuk wisata. Maka tidak mengherankan kalau Solo dihajar oleh tiupan angin yang melenggang dahsyat.
Selain itu ada yang salah dalam kebijakan penanaman pohon penghijauan tepi jalan kota Solo di era Orde Baru. Pohon-pohon untuk jalur hijau sebagian besar adalah pohon semacam Akasia yang walaupun cepat besar dan daunnya rimbun sepanjang tahun namun ternyata akarnya tidak kuat dan dahannya cepat rapuh. Pohon-pohon semacam itu lah yang kemarin sebagian besar roboh diterjang angin ribut.
Penghijauan kota yang baru, di era Jokowi-Rudi, berbeda. Sebagian besar pohon yang ditanam merupakan pohon yang berakar kuat meskipun agak lebih lambat pertumbuhannya. Pohon Mangga, Sawo Manila, Tanjung dan beberapa jenis pohon yang berakar kuat bisa kita jumpai menjadi tanaman penghijauan tepi jalan raya kota Solo. Berdasarkan pengamatan tadi pagi ternyata jenis pohon penghijauan yang baru ini lebih tahan terhadap terjangan angin ribut.
Peristiwa yang dialami kota Solo kemarin dan juga beberapa kota di Indonesia selayaknya menjadi bahan pelajaran bagi kita. Menyayangi pohon juga hendaknya mempertimbangkan pemilihan jenis pohon yang tahan akarnya terhadap angin. Pemasangan baliho iklan dan bangunan yang tinggi seharusnya mempertimbangkan kekuatannya juga. Sayangi keselamatan semuanya.
Penataan kawasan kota harus bersinergi dengan wilayah sekelilingnya. Tidak ada kata terlambat untuk menghutankan kembali daerah yang gundul sehingga menjadi wilayah penyangga air dan penahan angin. Penghijauan kota dengan tanaman produktif sekaligus berakar kuat, semacam Mangga dan Sawo Manila tampaknya menjadi pilihan yang lebih baik daripada pohon semacam Akasia. Suatu saat nanti berbuah juga bisa dinikmati warga, seperti yang terjadi di beberapa wilayah di kota Solo.
Mari kita bersahabat dengan alam. Menyayangi pohon sekali gus menyayangi keselamatan kita dan alam sekeliling kita.
Salam hijau penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 14 Februari 2013
Solo, Kamis, 14 Februari 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar