Mencermati pemberitaan tentang Anas Urbaningrum (AU) dan Partai Demokrat (PD) memang selalu menarik. Saat ini mencuat lagi penggunaan pepatah Jawa Nabok Nyilih Tangan yang muncul di status AU di Fb maupun Bb nya. Pada kesempatan ini saya tidak akan membahas pepatah yang digunakan AU itu karena sudah banyak dibahas di media, cetak, elektronik maupun jejaring sosial.
Saya akan membahas peribahasa Jawa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang padanan peribahasa Indonesianya bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, terkait dengan situasi perpolitikan praktis maupun pengelolaan negeri ini. Demikian pula sepak terjang partai politiknya.
Dalam konteks PD terlihat itulah yang terjadi. Pertikaian, crah, di tubuhnya membuat partai SBY ini sekarang jadi partai yang porak poranda, bubrah. Perpecahan karena berebut kekuasaan dan pembagian kue hasil korupsi membuat PD terlihat boroknya dan sekaligus tercium bangkai yang ia bawa. Satu demi satu terkuak betapa busuknya perilaku para punggawa partai ini.
Kasus impor Sapi, yang saya yakin juga karena ada pembagian kue yang tidak adil, juga membuat PKS kacau balau. Partai yang selalu gembar-gembor sebagai partai yang bersih dan agamis ternyata sami mawon, sama saja. Koruptif dan bahkan vulgar. Para punggawanya hanya mementingkan kesejahteraannya sendiri. Ironis.
Hampir semua partai yang saat ini mendominasi sebagai wakil rakyat, koruptif. Demikian juga yang terjadi di era Orde Baru dan Orde Lama. Power tends to corrupt, kekuasaan memang cenderung membuat korup. Di era Orde Baru bahkan berlangsung massive , korupsi dilakukan dengan solid (rukun) karena Golkar (Partai Golkar) sebagai partai yang sangat menguasai negeri ini. Korupsi mulai dari tingkat punggawa desa sampai dengan Presiden beserta kroninya.
Dari contoh-contoh tadi terlihatlah relevansinya, peribahasa Jawa tersebut dengan apa yang dialami oleh partai-partai politik serta aktifitas politik praktis negeri ini. Namun dalam konteks politik yang bersih dan praktek bernegara yang demokratis mungkin bisa kita analisis penggunaan peribahasa tersebut secara berbeda. Rukun agawe bubrah, crah agawe santosa. Mengapa demikian?
Di negera ini sejak berdirinya, seperti saya paparkan di atas, korupsi bisa berlangsung lama dan aman kalau para pelakunya rukun dan akibatnya sudah dirasakan negara ini menjadi negara yang bubrah. Korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa di semua lini. Tak terbantahkan semua kementerian korup, bahkan kementerian yang mestinya menjadi penjaga moralitas bangsa terbukti sebagai kementerian yang paling korup. Rukun menjadi perilaku yang tidak baik manakala digunakan untuk melanggar keadilan. Melanggar hak-hak rakyat yang merupakan pemilik negeri ini. Rakyat kecil menjadi semakin miskin dan tertindas oleh para koruptor yang rukun. Tatanan kehidupan bernegara menjadi bubrah.
Crah agawe santosa bisa dimaknai bahwa rakyat layak dan bahkan harus kritis terhadap tatakelola negara ini. Pertikaian untuk mencapai tujuan yang lebih baik tentu suatu keniscayaan. Mengkritisi tatakelola bernegara yang dijalankan oleh partai yang sedang berkuasa tentu suatu keharusan kalau negera ini ingin menjadi negara yang semakin beradab dan kuat (santosa). Kuat artinya didukung oleh rakyat yang merasa aman dan dimanusiakan oleh pengelolanya. Kritik dan masukan dari rakyat, entah secara langsung ataupun melewati wakilnya haruslah diperlakukan sebagai kepentingan seluruh bangsa dan negara. Rakyat harus tetap sebagai subyek bukan obyek.
Paparan tulisan ini bukan bermaksud mengatakan bahwa rukun itu tidak penting. Pasti sangat penting. Bangsa Indonesia tentu tidak akan mampu memperoleh kemerdekaanya dan mendirikan negeri ini sampai sekarang kalau tidak punya sikap rukun. Negara terbentuk oleh hasil mufakat rakyatnya.
Demokrasi dalam konteks Indonesia sesungguhnya sudah dinyatakan dalam sila ke 4 Pancasila. Pada era sebelum reformasi penerapan asas musyawarah untuk mufakat, pengamalan sila ke 4, sangat kuat dan itu bagus namun dalam perjalanannya menyimpang karena Golkar yang sangat mendominasi. Mufakatnya menjadi mufakatnya versi Golkar, bukan lagi mufakat murni kepentingan rakyat yang diwakilinya melainkan mufakat untuk melanggengkan kekuasaan. Maka menjadi rukun yang bubrah.
Pada era reformasi ini yang terjadi adalah demokrasi yang hanya berorientasi suara tebanyak. Voting menjadi segala-galanya, sering mengabaikan musyawarah untuk mufakat. Terjadilah praktik money politic. Kepentingan rakyat diabaikan, kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau partai dinomorsatukan. Terbukti lagi bahwa kerukunan digunakan untuk menindas rakyat.
Rukun agawe santosa crah agawe bubrah masih tetap relevan asal dalam konteks kepentingan rakyat kecil yang tertindas. Sebaliknya lebih baik tidak rukun, crah, asal demi mencapai santosa (kepentingan rakyat yang tertindas) daripada rukun tapi bubrah (rakyat semakin tertindas). Semoga kepentingan rakyat kecil yang tertindas lebih didahulukan.
Salam damai penuh cinta.
Saya akan membahas peribahasa Jawa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang padanan peribahasa Indonesianya bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, terkait dengan situasi perpolitikan praktis maupun pengelolaan negeri ini. Demikian pula sepak terjang partai politiknya.
Dalam konteks PD terlihat itulah yang terjadi. Pertikaian, crah, di tubuhnya membuat partai SBY ini sekarang jadi partai yang porak poranda, bubrah. Perpecahan karena berebut kekuasaan dan pembagian kue hasil korupsi membuat PD terlihat boroknya dan sekaligus tercium bangkai yang ia bawa. Satu demi satu terkuak betapa busuknya perilaku para punggawa partai ini.
Kasus impor Sapi, yang saya yakin juga karena ada pembagian kue yang tidak adil, juga membuat PKS kacau balau. Partai yang selalu gembar-gembor sebagai partai yang bersih dan agamis ternyata sami mawon, sama saja. Koruptif dan bahkan vulgar. Para punggawanya hanya mementingkan kesejahteraannya sendiri. Ironis.
Hampir semua partai yang saat ini mendominasi sebagai wakil rakyat, koruptif. Demikian juga yang terjadi di era Orde Baru dan Orde Lama. Power tends to corrupt, kekuasaan memang cenderung membuat korup. Di era Orde Baru bahkan berlangsung massive , korupsi dilakukan dengan solid (rukun) karena Golkar (Partai Golkar) sebagai partai yang sangat menguasai negeri ini. Korupsi mulai dari tingkat punggawa desa sampai dengan Presiden beserta kroninya.
Dari contoh-contoh tadi terlihatlah relevansinya, peribahasa Jawa tersebut dengan apa yang dialami oleh partai-partai politik serta aktifitas politik praktis negeri ini. Namun dalam konteks politik yang bersih dan praktek bernegara yang demokratis mungkin bisa kita analisis penggunaan peribahasa tersebut secara berbeda. Rukun agawe bubrah, crah agawe santosa. Mengapa demikian?
Di negera ini sejak berdirinya, seperti saya paparkan di atas, korupsi bisa berlangsung lama dan aman kalau para pelakunya rukun dan akibatnya sudah dirasakan negara ini menjadi negara yang bubrah. Korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa di semua lini. Tak terbantahkan semua kementerian korup, bahkan kementerian yang mestinya menjadi penjaga moralitas bangsa terbukti sebagai kementerian yang paling korup. Rukun menjadi perilaku yang tidak baik manakala digunakan untuk melanggar keadilan. Melanggar hak-hak rakyat yang merupakan pemilik negeri ini. Rakyat kecil menjadi semakin miskin dan tertindas oleh para koruptor yang rukun. Tatanan kehidupan bernegara menjadi bubrah.
Crah agawe santosa bisa dimaknai bahwa rakyat layak dan bahkan harus kritis terhadap tatakelola negara ini. Pertikaian untuk mencapai tujuan yang lebih baik tentu suatu keniscayaan. Mengkritisi tatakelola bernegara yang dijalankan oleh partai yang sedang berkuasa tentu suatu keharusan kalau negera ini ingin menjadi negara yang semakin beradab dan kuat (santosa). Kuat artinya didukung oleh rakyat yang merasa aman dan dimanusiakan oleh pengelolanya. Kritik dan masukan dari rakyat, entah secara langsung ataupun melewati wakilnya haruslah diperlakukan sebagai kepentingan seluruh bangsa dan negara. Rakyat harus tetap sebagai subyek bukan obyek.
Paparan tulisan ini bukan bermaksud mengatakan bahwa rukun itu tidak penting. Pasti sangat penting. Bangsa Indonesia tentu tidak akan mampu memperoleh kemerdekaanya dan mendirikan negeri ini sampai sekarang kalau tidak punya sikap rukun. Negara terbentuk oleh hasil mufakat rakyatnya.
Demokrasi dalam konteks Indonesia sesungguhnya sudah dinyatakan dalam sila ke 4 Pancasila. Pada era sebelum reformasi penerapan asas musyawarah untuk mufakat, pengamalan sila ke 4, sangat kuat dan itu bagus namun dalam perjalanannya menyimpang karena Golkar yang sangat mendominasi. Mufakatnya menjadi mufakatnya versi Golkar, bukan lagi mufakat murni kepentingan rakyat yang diwakilinya melainkan mufakat untuk melanggengkan kekuasaan. Maka menjadi rukun yang bubrah.
Pada era reformasi ini yang terjadi adalah demokrasi yang hanya berorientasi suara tebanyak. Voting menjadi segala-galanya, sering mengabaikan musyawarah untuk mufakat. Terjadilah praktik money politic. Kepentingan rakyat diabaikan, kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau partai dinomorsatukan. Terbukti lagi bahwa kerukunan digunakan untuk menindas rakyat.
Rukun agawe santosa crah agawe bubrah masih tetap relevan asal dalam konteks kepentingan rakyat kecil yang tertindas. Sebaliknya lebih baik tidak rukun, crah, asal demi mencapai santosa (kepentingan rakyat yang tertindas) daripada rukun tapi bubrah (rakyat semakin tertindas). Semoga kepentingan rakyat kecil yang tertindas lebih didahulukan.
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Sabtu, 23 Februari 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar