Saya belum pernah membaca buku Andrea Hirata dan juga baru tahu ada bukunya Laskar Pelangi gara-gara dibuat film itupun juga karena saya menyukai Nidji yang menyanyikan soundtrack filmnya. Jadi saya menyukai lagunya bukan cerita filmnya apalagi penulis ceritanya.
Namun saat ini saya tergerak untuk menulis tentang Andrea Hirata gara-gara keinginan dia untuk menuntut Damar Juniarto atas penilaian terhadap novelnya. Sungguh aneh bin sulapan kalau Andrea Hirata (AH), yang merasa sudah jadi penulis hebat dan berlatar pendidikan tinggi, sampai begitu marahnya terhadap Damar Juniarto (DJ). Sedangkan kalau saya bandingkan dengan apa yang dialami oleh SBY yang dikritik dimanapun ataupun Jokowi yang diremehkan dengan low profile nya tentu apa yang dialami oleh AH ini hanyalah seujung kuku, tidak ada artinya.
Saya yakin untuk penulis seperti dia pada era ini pasti tahu tentang Pramoedia Ananta Toer yang pernah dijebloskan ke penjara pada jaman Orde Baru. Saya yakin AH pasti membela tulisan Pramoedia dan menyalahkan penguasa Orde Baru karena saya yakin dia tahu bahwa karya sastra (hasil pemikiran) tidak bisa dilawan dengan kekerasan tapi harus dilawan dengan tulisan (pemikiran) juga. Saya yakin AH tahu tentang hal seperti ini.
Andrea Hirata semestinya juga tahu bahwa penilaian baik buruk itu adalah hak pihak yang menilai bukan yang dinilai. Baik atau buruk tidak bisa dipaksakan oleh yang dinilai. Menilai baik buruk pemikiran seseorang sepanjang itu bukan untuk membunuh karakter adalah hak yang menilai. Penilaian DJ terhadap novel AH adalah penilaian tentang tulisan. Lain masalahnya kalau DJ membuat tulisan pemberitaan fitnah misalnya DJ mengatakan bahwa AH seorang pecandu narkoba padahal kenyataannya tidak, maka AH berhak untuk menuntut pemberitaan fitnah atau pencemaran nama baik itu. Namun kalau AH seorang yang lapang dada pasti bisa membandingkan apa yang dia alami dengan apa yang dialami oleh SBY atau Jokowi. Dua tokoh ini tentu tidak bisa disangkal pasti lebih hebat dari AH, tapi mereka tidak pernah sampai mengajukan tuntutan hukum terhadap pemberitaan atau pernyataan yang sering menyudutkan mereka.
Seperti saya katakan diatas, saya tidak kenal AH dan tidak tahu karya-karyanya, yang katanya novelis kelas dunia. Mungkin dia memang hebat tapi pola pikirnya terhadap penilaian DJ sungguh kekanak-kanakan. Saya justru salut dengan DJ. DJ tidak perlu takut, kalau para penegak hukum di negeri ini masih waras pasti tidak akan memenangkan AH. Para penulis sejati dan para penikmat sastra serta tulisan negeri ini pasti berpihak ke DJ.
Maka, kalau AH terus melanjutkan tuntutan hukumnya pastilah akan menjadi peristiwa yang paling menggelikan dan terbodoh di dunia kepenulisan. Sekaligus menunjukkan betapa cethek pemahaman AH tentang penulisan dan terlihatlah yang nyata bagaimana pribadi AH. Pribadi yang emosional tidak humanis tidak seperti novelnya yang katanya sangat menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. Saya berharap AH menghentikan tuntutannya dan kedua belah pihak, Andrea Hirata dan Damar Juniarto , saling berdamai. Tunjukkanlah bahwa sebagai penulis kita bisa menjadi contoh pribadi yang membawa kesejukan bukan malah memanaskan suasana.
Namun saat ini saya tergerak untuk menulis tentang Andrea Hirata gara-gara keinginan dia untuk menuntut Damar Juniarto atas penilaian terhadap novelnya. Sungguh aneh bin sulapan kalau Andrea Hirata (AH), yang merasa sudah jadi penulis hebat dan berlatar pendidikan tinggi, sampai begitu marahnya terhadap Damar Juniarto (DJ). Sedangkan kalau saya bandingkan dengan apa yang dialami oleh SBY yang dikritik dimanapun ataupun Jokowi yang diremehkan dengan low profile nya tentu apa yang dialami oleh AH ini hanyalah seujung kuku, tidak ada artinya.
Saya yakin untuk penulis seperti dia pada era ini pasti tahu tentang Pramoedia Ananta Toer yang pernah dijebloskan ke penjara pada jaman Orde Baru. Saya yakin AH pasti membela tulisan Pramoedia dan menyalahkan penguasa Orde Baru karena saya yakin dia tahu bahwa karya sastra (hasil pemikiran) tidak bisa dilawan dengan kekerasan tapi harus dilawan dengan tulisan (pemikiran) juga. Saya yakin AH tahu tentang hal seperti ini.
Andrea Hirata semestinya juga tahu bahwa penilaian baik buruk itu adalah hak pihak yang menilai bukan yang dinilai. Baik atau buruk tidak bisa dipaksakan oleh yang dinilai. Menilai baik buruk pemikiran seseorang sepanjang itu bukan untuk membunuh karakter adalah hak yang menilai. Penilaian DJ terhadap novel AH adalah penilaian tentang tulisan. Lain masalahnya kalau DJ membuat tulisan pemberitaan fitnah misalnya DJ mengatakan bahwa AH seorang pecandu narkoba padahal kenyataannya tidak, maka AH berhak untuk menuntut pemberitaan fitnah atau pencemaran nama baik itu. Namun kalau AH seorang yang lapang dada pasti bisa membandingkan apa yang dia alami dengan apa yang dialami oleh SBY atau Jokowi. Dua tokoh ini tentu tidak bisa disangkal pasti lebih hebat dari AH, tapi mereka tidak pernah sampai mengajukan tuntutan hukum terhadap pemberitaan atau pernyataan yang sering menyudutkan mereka.
Seperti saya katakan diatas, saya tidak kenal AH dan tidak tahu karya-karyanya, yang katanya novelis kelas dunia. Mungkin dia memang hebat tapi pola pikirnya terhadap penilaian DJ sungguh kekanak-kanakan. Saya justru salut dengan DJ. DJ tidak perlu takut, kalau para penegak hukum di negeri ini masih waras pasti tidak akan memenangkan AH. Para penulis sejati dan para penikmat sastra serta tulisan negeri ini pasti berpihak ke DJ.
Maka, kalau AH terus melanjutkan tuntutan hukumnya pastilah akan menjadi peristiwa yang paling menggelikan dan terbodoh di dunia kepenulisan. Sekaligus menunjukkan betapa cethek pemahaman AH tentang penulisan dan terlihatlah yang nyata bagaimana pribadi AH. Pribadi yang emosional tidak humanis tidak seperti novelnya yang katanya sangat menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. Saya berharap AH menghentikan tuntutannya dan kedua belah pihak, Andrea Hirata dan Damar Juniarto , saling berdamai. Tunjukkanlah bahwa sebagai penulis kita bisa menjadi contoh pribadi yang membawa kesejukan bukan malah memanaskan suasana.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Kamis, 21 Februari 2013
***
Solo, Kamis, 21 Februari 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar