Kurikulum baru untuk pendidikan formal di Indonesia akan segera diberlakukan dan harus dimulai pada tahun ajaran 2013 ini. Persoalan klasik pasti akan muncul, terjadi pro dan kontra. Disinyalir bahwa kurikulum baru ini hanya meletakkan guru sebagai obyek saja dan bukan subyek. Para guru tinggal melaksanakannya saja tidak boleh protes. Bukankah memang selalu begitu setiap berganti kurikulum? Lalu apa tujuan tema artikel ini yang mungkin terkesan provokatif ini?
Sudah banyak para pakar pendidikan yang menganalisis kurikulum pendidikan dari berbagai sudut pandang beserta pro serta kontranya. Dalam kesempatan ini penulis sebagai bukan pakar pendidikan akan mencoba untuk mencermati pada sisi guru dalam perannya sebagai pendidik sekaligus pengajar. Bukan sekedar sebagai pengajar saja. Guru sebagai pendidik dan pengajar yang utuh, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Sejak jaman Orde Baru hingga Era Reformasi, sejak mulai saya mengenyam pendidikan formal berlanjut puluhan tahun saya sebagai ‘buruh pendidikan’, sangat kentara penurunan kualitas guru di negeri ini. Guru yang tulus sangat langka. Guru yang mencintai profesi, tugas, kewajiban dan haknya.
Sejak Era Reformasi perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan memang semakin besar. Anggaran negara semakin banyak digunakan untuk sektor ini. Sarana dan prasarana pendidikan formal khususnya yang dibiayai negara semakin berkualitas. Gaji para guru negeri semakin baik dan menurut penulis, sudah layak. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, baik kependidikan maupun non kependidikan yang tertarik memasuki profesi guru dan berharap diangkat menjadi guru negeri. Semestinya situasi dan kondisi ini membuat para guru (negeri) semakin profesional namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin banyak guru namun semakin banyak guru juga yang hanya mencintai imbalan materinya. Menjadi guru tapi tidak memahami bagaimana seharusnya menjadi guru.
Guru yang memahami tugasnya seharusnya sadar bahwa seluruh aktifitas pendidikan adalah proses membebaskan manusia. Manusia; guru, murid dan semua komponen yang terlibat adalah subyek. Apapun bentuk kurikulumnya, entah orientasinya menjadikan manusia sebagai obyek maupun subyek, peran guru khususnya tetap harus mengarahkan seluruh aktifitas pendikan dengan memerankan manusia sebagai subyek. Subyek yang bebas dan berhak atas kebebasan itu.
Kewajiban para guru tidak sekedar mentransfer ilmu namun juga membentuk kepribadian serta perilaku dalam proses pendidikan. Untuk inilah maka diperlukan kecintaan terhadap tugas ini. Bukan sekedar cinta pada gajinya. Dibutuhkan para guru yang mencintai tugasnya sampai mendarah daging.
Para guru seharusnya juga menyadari haknya bukan sekedar hak atas imbalan gaji terhadap jerih payahnya namun hak untuk tidak mau diperlakukan sebagai obyek kurikulum, undang-undang pendidikan, kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik serta kepentinag kelompok tertentu. Hak guru tetap sebagai subyek memanusiakan manusia.
Perkembangan peradaban dan norma semakin menuntut peran guru. Para guru dituntut senantiasa mengaktualisasi diri. Aktualisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam perkembangan ideologi, politik, ekonomi , sosial dan budaya serta pertahanan keamanan nasional.
Paparan singkat saya di atas mungkin terkesan begitu berat dan besarnya peran guru. Sejatinya memang demikian, sehingga seharusnya peran ini jangan dianggap enteng. Maka kalau paparan singkat saya itu oleh para guru atau siapapun yang ingin menjadi guru dianggap sebagai suatu kewajiban yang menarik dan mulia, silahkan berlanjut menjadi guru. Namun kalau itu semua dianggap beban yang terlalu berat maka lebih baik tidak perlu menjadi guru. Apalagi kalau hanya berorientasi materi alias gaji tinggi.
Akhirnya paparan artikel ini bukan bermaksud untuk meremehkan peran guru di negeri ini, karena penulis sendiri pasti terbentuk seperti hari ini juga oleh peran para guru yang tulus. Bahkan karena peran merekalah membuat penulis semakin cinta menjadi ‘buruh pendidikan’. Bukan pula bermaksud mengharuskan guru seperti malaikat yang serba bisa dan tanpa salah, namun sekedar ungkapan kecintaan saya kepada para guru, teristimewa mereka yang tulus.
Salam kritis penuh cinta.
Sudah banyak para pakar pendidikan yang menganalisis kurikulum pendidikan dari berbagai sudut pandang beserta pro serta kontranya. Dalam kesempatan ini penulis sebagai bukan pakar pendidikan akan mencoba untuk mencermati pada sisi guru dalam perannya sebagai pendidik sekaligus pengajar. Bukan sekedar sebagai pengajar saja. Guru sebagai pendidik dan pengajar yang utuh, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Sejak jaman Orde Baru hingga Era Reformasi, sejak mulai saya mengenyam pendidikan formal berlanjut puluhan tahun saya sebagai ‘buruh pendidikan’, sangat kentara penurunan kualitas guru di negeri ini. Guru yang tulus sangat langka. Guru yang mencintai profesi, tugas, kewajiban dan haknya.
Sejak Era Reformasi perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan memang semakin besar. Anggaran negara semakin banyak digunakan untuk sektor ini. Sarana dan prasarana pendidikan formal khususnya yang dibiayai negara semakin berkualitas. Gaji para guru negeri semakin baik dan menurut penulis, sudah layak. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, baik kependidikan maupun non kependidikan yang tertarik memasuki profesi guru dan berharap diangkat menjadi guru negeri. Semestinya situasi dan kondisi ini membuat para guru (negeri) semakin profesional namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin banyak guru namun semakin banyak guru juga yang hanya mencintai imbalan materinya. Menjadi guru tapi tidak memahami bagaimana seharusnya menjadi guru.
Guru yang memahami tugasnya seharusnya sadar bahwa seluruh aktifitas pendidikan adalah proses membebaskan manusia. Manusia; guru, murid dan semua komponen yang terlibat adalah subyek. Apapun bentuk kurikulumnya, entah orientasinya menjadikan manusia sebagai obyek maupun subyek, peran guru khususnya tetap harus mengarahkan seluruh aktifitas pendikan dengan memerankan manusia sebagai subyek. Subyek yang bebas dan berhak atas kebebasan itu.
Kewajiban para guru tidak sekedar mentransfer ilmu namun juga membentuk kepribadian serta perilaku dalam proses pendidikan. Untuk inilah maka diperlukan kecintaan terhadap tugas ini. Bukan sekedar cinta pada gajinya. Dibutuhkan para guru yang mencintai tugasnya sampai mendarah daging.
Para guru seharusnya juga menyadari haknya bukan sekedar hak atas imbalan gaji terhadap jerih payahnya namun hak untuk tidak mau diperlakukan sebagai obyek kurikulum, undang-undang pendidikan, kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik serta kepentinag kelompok tertentu. Hak guru tetap sebagai subyek memanusiakan manusia.
Perkembangan peradaban dan norma semakin menuntut peran guru. Para guru dituntut senantiasa mengaktualisasi diri. Aktualisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam perkembangan ideologi, politik, ekonomi , sosial dan budaya serta pertahanan keamanan nasional.
Paparan singkat saya di atas mungkin terkesan begitu berat dan besarnya peran guru. Sejatinya memang demikian, sehingga seharusnya peran ini jangan dianggap enteng. Maka kalau paparan singkat saya itu oleh para guru atau siapapun yang ingin menjadi guru dianggap sebagai suatu kewajiban yang menarik dan mulia, silahkan berlanjut menjadi guru. Namun kalau itu semua dianggap beban yang terlalu berat maka lebih baik tidak perlu menjadi guru. Apalagi kalau hanya berorientasi materi alias gaji tinggi.
Akhirnya paparan artikel ini bukan bermaksud untuk meremehkan peran guru di negeri ini, karena penulis sendiri pasti terbentuk seperti hari ini juga oleh peran para guru yang tulus. Bahkan karena peran merekalah membuat penulis semakin cinta menjadi ‘buruh pendidikan’. Bukan pula bermaksud mengharuskan guru seperti malaikat yang serba bisa dan tanpa salah, namun sekedar ungkapan kecintaan saya kepada para guru, teristimewa mereka yang tulus.
Salam kritis penuh cinta.
***
Solo, Jumat, 1 Maret 2013
Solo, Jumat, 1 Maret 2013
Suko Waspodo
0 comments:
Posting Komentar